Sulitnya Menemukan Obat Baru di Indonesia

Majalah Farmasetika, 4 (1) 2019, 16-21 DOI: https://doi.org/10.24198/farmasetika.v4i1.22517

Download PDF

Hairunnisa Hairunnisa
Program Studi Magister Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Sumedang 45363

email: syahrunazzami@gmail.com

(Submit 24/3/2019, Revisi 14/7/2019, Diterima 15/7/2019)

Abstrak

Penemuan dan pengembangan obat terus menerus dilakukan untuk terus menghasilkan produk-produk yang bermanfaat di dunia kesehatan. Target obat biasanya berupa sel, protein, gen, ataupun biofarmasetik. Uji pra klinis dan uji klinis merupakan tahapan yang penting dalam penemuan dan pengembangan obat. Dalam artikel komentar ini dibahas terkait kemungkinan pengembangan obat baru di Indonesia dari berbagai aspek seperti sumber bahan baku, target obat, penelitian, dan biaya.

Kata kunci : obat baru, penemuan, uji praklinis, uji klinis

Pendahuluan

Sejarah penisilin menceritakan sesuatu ketidaksengajaan yang bermanfaat, meskipun harus melalui tahapan proses yang panjang dan  tidak mudah. Menurut definisinya obat adalah bahan atau  paduan bahan, termasuk produk biologi yang  digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki  sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam  rangka penetapan diagnosis, pencegahan,  penyembuhan, pemulihan, peningkatan  kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.1

Proses penemuan obat baru

Penemuan dan pengembangan obat terus menerus dilakukan untuk terus menghasilkan  produk produk yang bermanfaat di dunia kesehatan.

Gambar 1. Proses Penemuan Obat Baru di Amerika Serikat

Tahapan yang dilakukan dalam penemuan dan pengembangan obat yaitu penseleksian  target kerja obat, dilanjutkan dengan penentuan senyawa kemudian memprediksi  kinerja senyawa berdasarkan struktur kimia (in silico), lalu dilanjutkan dengan pengujian  pra klinis (in vitro dan in vivo) dan uji klinis untuk melihat respon obat terhadap tubuh  manusia. Jika tahapan pengujian telah dilalui tahapan registrasi merupakan tahapan akhir untuk mendapatkan ijin edar dari pihak yang berwenang demi memperkuat  pernyataan keamanan obat.

Penentuan target atau sasaran tempat kerja obat

Target obat biasanya berupa sel, protein, gen, ataupun biofarmasetik. Suatu target obat  yang baik adalah target yang dapat menyeleksi beberapa kandidat molekul obat yang  secara aktif dapat berinteraksi dengan target sehingga dapat digunakan sebagai obat  yang efektif.2

Target obat untuk sediaan inhalasi umumnya adalah sistem pernapasan. Asma, PPOK,  dan infeksi seperti tuberkulosis merupakan penyakit yang biasanya diberikan obat dalam  bentuk inhalasi.

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium  tuberculosis sistemis di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal,  tulang, dan nodus limfe. Mycobacterium tuberculosis merupakan prokariotik dengan  benteng pertahanan yang kuat berupa dinding sel yang terdiri dari empat lapisan, yaitu  phospholipid bilayer, peptidoglikan, arabinogalaktin, dan asam mikolat (mycolic acids).

Skrining senyawa obat

Skrining dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa yang akan bekerja di target yang  akan diobati. Penentuan senyawa ini dapat dilakukan dengan melakukan sintesis  ataupun isolasi dari senyawa yang dimaksud. Hasil dari prosedur skrining ini disebut  sebagai senyawa utama, yaitu merupakan kandidat utama untuk obat baru.3

Optimasi senyawa secara komputasi

Selanjutnya dilakukan pendekatan senyawa secara komputasi (in silico). Salah satunya  yaitu penambatan molekul secara kimiawi.4 Pendekatan secara kimiawi komputasi dapat  digunakan untuk memprediksi aktivitas struktur, interaksi yang terjadi antara struktur  dengan molekul target atau antara sesama molekul obat.

Formulasi senyawa obat

Setelah mendapatkan senyawa obat yang sesuai, dibuat rancangan formula agar obat  dapat dihantarkan dengan baik pada target obat. Sediaan tablet merupakan sediaan  yang paling populer karena mudah dalam penanganannya dan cenderung lebih  ekonomis.

Namun kini mulai bermunculan teknologi penghantaran obat tertarget dalam bentuk  inhalasi khususnya untuk gangguan saluran pernapasan. Contohnya rifampin. Dari awal  ditemukan, rifampin diformulasikan menjadi tablet. Kemudian seiring dengan  perkembangan teknologi, rifampin kini telah mulai diformulasikan menjadi bentuk  inhalasi. Berdasarkan penelitian Mizoe dkk bahwa sediaan rifampin-mannitol efektif  dalam menghantarkan obat ke paru-paru.5

Uji pra klinis dan uji klinis

Uji pra klinis dan uji klinis merupakan tahapan yang penting dalam penemuan dan  pengembangan obat. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk kandidat obat, dari  uji ini diperoleh informasi tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik dan toksisitas  dari kandidat obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian  ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi (in vitro),  selanjutnya pengujian praklinis dilakukan pada hewan utuh (in vivo).6

Hewan yang biasa digunakan adalah hewan dengan galur tertentu dari mencit, tikus,  kelinci, marmot, hamster, anjing, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan  obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat  menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau obat tersebut aman digunakan.

Untuk itu pengujian secara in vitro dilakukan untuk menentukan khasiat obat Pada  pengujian in vitro kita dapat memprediksi afinitas dan selektifitas dari zat yang  dimaksudkan untuk bekerja dengan reseptor target, dapat juga terlihat mekanisme aksi  dari senyawa tersebut. Selanjutnya pengujian In vivo dilakukan menggunakan hewan uji.

Tujuan utama dari eksperimen in vivo adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang  sistem biologis dilihat dari perilaku hewan uji. Uji toksisitas juga dapat terlihat pada saat  pengujian menggunakan hewan uji, untuk melihat adanya gambaran reaksi biokimia,  fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji.

Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan  suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya  toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada  manusia.

Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat dipercaya adalah  pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan, cara pemberian sediaan uji,  pemilihan dosis uji, efek samping sediaan uji, teknik dan prosedur pengujian termasuk  cara penanganan hewan selama percobaan.7

Setelah kandidat obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan  percobaan maka selanjutnya dilakukan uji klinik (diuji pada manusia). Uji pada manusia  harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

  1. Fase I , kandidat obat diuji pada sukarelawan sehat 25-50 orang untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada  fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil  farmakokinetik obat pada manusia.
  2. Fase II, kandidat obat diuji pada pasien tertentu 100-200 orang, diamati efikasi  pada penyakit yang diobati. obat memiliki efek yang potensial dengan efek  samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan  dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
  3. Fase III melibatkan kelompok besar pasien sekitar ribuan orang, di sini obat yang  dikembangkan dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding  yang sudah diketahui. Keputusan diberikan oleh badan pengatur nasional, di  Indonesia keputusan hasil pengujian dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan  Makanan, dengam melampirkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai  dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan  dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan  produk melalui kontrol kualitas.7
  4. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran ( post  marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai  usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai  terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah  hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan  jika membahayakan.

Sebagai gambaran, dari 10 ribu senyawa kandidat obat yang diteliti, hanya 1 senyawa  obat yang berhasil dipasarkan dan sampai ke pasien.

Gambar 2. Dari 10 ribu kandidat obat, hanya 1 yang sukses

Izin edar obat baru

Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki Izin Edar.8 Setelah  melakukan serangkaian pengujian penemuan dan pengembangan obat. Selanjutnya  dilakukan registrasi demi mendukung keamanan obat yang akan dikembangkan dengan  mendapatkan nomor registrasi sehingga keamanan konsumen lebih terjaga.

Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan  bahwa Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat  izin edar. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus  memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

Industri farmasi sebagai pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus mempunyai  kewajiban Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan  jaminan dari obat yang di produksi serta memberi penjelasan penggunaan, Menjamin  mutu obat yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu  yang berlaku. Nah semua proses ini semata mata demi menjamin keamanan produk  yang akan digunakan oleh masyarakat.9

Dari sisi biaya, dengan proses yang panjang, menemukan suatu obat baru sangatlah  mahal dan perlu investasi jangka panjang, tidak heran umumnya industri farmasi di  Indonesia jarang melakukan riset sampai ditemukan obat baru hingga dipasarkan, tidak  heran impor bahan baku farmasi masih diatas angka 90%.

Kesimpulan

Penemuan dan pengembangan obat terus menerus dilakukan untuk terus menghasilkan  produk produk yang bermanfaat di dunia kesehatan. Tahapan yang dilakukan dalam penemuan dan pengembangan obat cukup panjang hingga diedarkan di tingkat konsumen. Selain itu, faktor biaya menjadi kendala industri farmasi di  Indonesia melakukan riset sampai ditemukan obat baru hingga dipasarkan, tidak  heran impor bahan baku farmasi masih diatas angka 90%.

Daftar Pustaka

Supardi S, Sasanti HR, Raharni. Kajian Peraturan Perundang-Undangan Tentang  Pemberian Informasi Obat dan Obat Tradisional di Indonesia. J Kefarmasian  Indones. 2012;2:20-27.

Radji M. Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat Baru. Pharm Sci  Res. 2017;2(1):1-11. doi:10.7454/psr.v2i1.3379

Bertram G. Katzung, MD P. Basic & Clinical Pharmacology. Twelfth Ed. (Susan B.  Masters P, Anthony J. Trevor P, eds.).; 2012.

Ruswanto. MOLECULAR DOCKING EMPAT TURUNAN ISONICOTINOHYDRAZIDE  PADA MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS ENOYL-ACYL CARRIER PROTEIN  REDUCTASE (InhA). J Kesehat Bakti Tunas Husada. 2015;13:213-227.

Ruswanto R, Nofianti T, Mardianingrum R, Lestari T. Desain dan Studi In Silico  Senyawa Turunan Kuwanon-H sebagai Kandidat Obat Anti-HIV. J Kim Val.  2018;4(1):57-66. doi:10.15408/jkv.v4i1.6867

Wulansari AN. ALTERNATIF CANTIGI UNGU (Vaccinium varingiaefolium) SEBAGAI  ANTIOKSIDAN ALAMI : REVIEW. 2018;16:222-230.

BPOM R. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK  INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI TOKSISITA NONKLINIK SECARA IN VIVO. In: ; 2014:561-565.

BPOM. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia  Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat. Bpom.  2017:1-16. doi:10.1017/CBO9781107415324.004

Wulansari C, Firdaus, Nuryanti A. Tanggung Jawab Instansi Terkait Terhadap  Peredaran Obat Impor Tradisional Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen.  2014;3(5):1-35.

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Pengawasan Mutu Ternyata Dimulai dari Tingkat Sel

Majalah Farmasetika, 4 (1) 2019, 22-24 DOI: https://doi.org/10.24198/farmasetika.v4i1.22519 Download PDF Fajar Ramadhitya PuteraKementrian Kesehatan Republik Indonesia, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *