Vol 7, No. 5

Analisis Kualifikasi Pemasok Obat di Salah Satu Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Kota Bandung

Majalah Farmasetika, 7 (5) 2022, 469-477 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v7i5.39510

Artikel Penelitian

Download PDF

Oktavia Sabetta Sigalingging*1, Ida Musfiroh2

1Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 45363
2Departemen Analisis Farmasi dan Kimia Medisinal, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 45363

*Email: oktavia17001@mail.unpad.ac.id

(Submit 31/05/2022, Revisi 02/06/2022, Diterima 27/06/2022, Terbit 21/07/2022)

Abstrak

Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Untuk memastikan bahwa mutu obat terjaga dari awal proses pembuatan hingga sampai ke tangan pasien, maka diperlukan suatu jaminan mutu dalam distribusi obat. Di Indonesia, jaminan mutu dalam distribusi obat berpedoman pada Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Dalam melakukan pendistribusian obat dari produsen ke konsumen dibutuhkan suatu distributor yaitu, pedagang besar farmasi (PBF). PBF dalam melaksanakan tugasnya berpedoman CDOB. Obat yang disalurkan harus memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu. Oleh karena itu, diperlukan adanya kualifikasi khususnya kualifikasi pemasok. Kualifikasi pemasok bertujuan untuk memastikan bahwa calon pemasok sesuai, kompeten, dan dapat dipercaya untuk memasok obat. Penelitian mengenai kualifikasi pemasok dilakukan dengan menggunakan metode observasional dan metode wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat 6 dari 20 pemasok yang memenuhi syarat kualifikasi, sehingga aktivitas pembelian obat dari pemasok yang lain ditunda hingga syarat yang belum terpenuhi dilengkapi.

Kata Kunci

CDOB, kualifikasi pemasok, PBF

Pendahuluan

Kesehatan merupakan keadaan dimana sehat baik secara fisik, mental, dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (1). Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik membutuhkan obat dalam penanganannya, oleh karena itu diperlukan obat yang memenuhi kriteria yaitu, efektif, aman, dan berkualitas. Kriteria tersebut harus terpenuhi dimulai dari proses pembuatan, penyimpanan, pendistribusian hingga penyerahan obat ke konsumen dan harus tetap terjaga hingga obat tersebut dikonsumsi oleh pasien (2,3,4). Dalam pendistribusian sediaan farmasi terdapat standar yang perlu diperhatikan seperti, kelayakan armada transportasi yang digunakan, memiliki tempat penyimpanan sediaan farmasi pada suhu tertentu, serta pengetahuan tentang perlakukan khusus terhadap sediaan farmasi (5,6,7).

Untuk memastikan bahwa mutu obat terjaga dari awal proses pembuatan hingga sampai ke tangan pasien, maka diperlukan suatu jaminan mutu dalam distribusi obat (8). Di Indonesia, jaminan mutu dalam distribusi obat berpedoman pada Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) yang diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020. Ketentuan CDOB merupakan standar acuan dalam proses distribusi dan implementasinya sangat penting untuk memastikan mutu obat tetap terjaga sepanjang jalur distribusi sesuai dengan persyaratan dan juga tujuan penggunaannya (9,10).

Dalam melakukan pendistribusian obat dari produsen ke konsumen dibutuhkan suatu distributor yaitu, pedagang besar farmasi (PBF). PBF dilarang untuk melayani resep dokter dan melakukan praktik distribusi secara eceran (11). PBF merupakan perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (12). PBF dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Obat yang disalurkan harus memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam distribusi obat bertanggung jawab untuk memastikan mutu obat serta mempertahankan integritas rantai distribusi selama proses distribusi berlangsung sesuai dengan standar CDOB (13,14,15). Selain itu, diperlukan adanya kualifikasi khususnya kualifikasi pemasok. Kualifikasi pemasok bertujuan untuk memastikan bahwa calon pemasok sesuai, kompeten, dan dapat dipercaya untuk memasok obat (16). Kualifikasi harus dilakukan sebelum pengadaan dilaksanakan dan harus dikendalikan dengan prosedur tertulis, hasilnya didokumentasikan serta diperiksa ulang secara berkala (17,18,19). Kualifikasi sangat berperan penting dalam produktivitas, daya saing, dan juga keamanan perusahaan. Oleh karena itu, kualifikasi harus dilakukan dengan benar dan tepat (20,21). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis pemasok yang sesuai kualifikasi. Penelitian ini perlu dilakukan karena menurut PerBPOM Nomor 6 Tahun 2020, kualifikasi pemasok harus diperiksa ulang secara berkala minimal satu tahun sekali.

Metode

Penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan data internal yang berasal dari salah satu PBF di kota Bandung dan diolah berdasarkan standar operasional yang berlaku di PBF terkait dan disesuaikan dengan pedoman CDOB yang berlaku di Indonesia serta menggunakan metode wawancara kepada Apoteker Penanggung Jawab PBF untuk melakukan konfirmasi terhadap kualifikasi 20 pemasok. Penelitian ini dilakukan selama praktik kerja profesi apoteker di bulan Februari 2022.

Hasil dan Pembahasan

Kualifikasi Pemasok

Suatu fasilitas distribusi harus memperoleh pasokan obat dari pemasok yang mempunyai izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017, PBF hanya dapat melakukan pengadaan obat dari sesama PBF dan atau industri farmasi. Apabila obat diperoleh dari fasilitas distribusi lain, maka harus dipastikan bahwa pemasok memiliki izin dan menerapkan CDOB yang dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat CDOB. Apabila obat diperoleh dari industri farmasi, maka harus dipastikan bahwa industri tersebut memiliki izin serta menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat CPOB (16, 22).

Adanya izin bertujuan untuk memastikan bahwa pemasok memiliki legalitas untuk memasok obat serta adanya sertifikat CDOB dan CPOB untuk memastikan bahwa produk bermutu, aman, serta berkhasiat untuk menghindari adanya kejadian penarikan produk, efek samping yang tidak diinginkan pada pasien akibat dari mutu produk yang rendah (23, 24).

Berdasarkan CDOB, sebelum melakukan kerja sama dengan pemasok PBF melakukan pengkajian terlebih dahulu melalui pendekatan berbasis risiko dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

-reputasi atau tingkat keandalan serta keabsahan operasionalnya

-obat tertentu yang rawan terhadap pemalsuan

-penawaran obat dalam jumlah besar yang biasanya hanya tersedia dalam jumlah terbatas

-harga yang tidak wajar (16, 25).

Berdasarkan hasil literature review yang dilakukan oleh Stevic et al, kriteria pada saat seleksi pemasok mempertimbangkan aspek seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut (26).

Tabel 1. Kriteria pada saat seleksi pemasok

Proses kualifikasi di PBF yang diobservasi disesuaikan dengan ketentuan di CDOB dan literatur lain serta kebijakan dari PBF itu sendiri. Proses kualifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Pemasok memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti memiliki sertifikat CPOB atau sertifikat CDOB.
  2. Perusahaan pemasok memiliki profil manajemen dan struktur organisasi yang jelas, sistem komunikasi yang baik, serta personil yang kompeten. Informasi ini dapat diperoleh dari berbagai sumber baik dari data primer (misalnya, melalui interaksi langsung dengan kandidat pemasok, survey, dll) maupun sekunder (misalnya melalui internet, berita, dll).
  3. Memiliki NPWP dan atau sudah terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak yang dapat dibuktikan dengan adanya Surat Pengukuhan Perusahaan Kena Pajak/SP-PKP.
  4. Memiliki produk yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi, jumlah, harga, diskon serta persyaratan lain yang dibutuhkan oleh pemesan.
  5. Dapat melakukan pengiriman barang sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
  6. Memberi jangka waktu pembayaran minimal > 30 hari.

Apabila poin 1-5 atau salah satunya ada yang tidak terpenuhi, maka pemasok masih tetap dapat diseleksi dengan ketentuan memenuhi poin 1,3, dan 6. Apabila sudah ditetapkan pemasok obat yang dipilih, maka selanjutnya dilakukan proses penawaran kerjasama dengan pemasok terpilih (27,28,29).

Proses Seleksi Pemasok

Pemasok yang akan dikualifikasi berjumlah 20 pemasok dan diberi kode dari 1 sampai dengan 20. Proses seleksi pemasok dilakukan dengan memasukkan data pemasok ke dalam sheet Microsoft Excel. Data pemasok meliputi, kode pemasok, jenis pemasok (PBF/pabrik), masa berlaku surat izin sarana, masa berlaku Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan masa berlaku sertifikat CPOB/CDOB.

Hasil Seleksi Pemasok

Karena pemasok berikut telah dikualifikasi pada tahun sebelumnya, maka hal yang paling penting untuk diperiksa secara berkala adalah surat izin dan sertifikat CPOB/CDOB karena masa berlaku yang terbatas (maksimal 5 tahun) serta untuk mengetahui apakah terdapat berkas yang belum dilengkapi oleh pemasok. Apabila pemasok tidak memiliki izin serta tidak memiliki sertifikat CPOB/CDOB maka pemasok tersebut tidak lolos kualifikasi karena kedua syarat tersebut berkaitan dengan legalitas dan keamanan produk yang dipasok. 

Berdasarkan hasil seleksi pada Tabel 2, hanya 6 pemasok yang memenuhi semua syarat, yaitu, pemasok 1, pemasok 5, pemasok 17, pemasok 18, pemasok 19, dan pemasok 20. Sementara pemasok lainnya tidak lulus seleksi dikarenakan izin sarana serta SIPA yang sudah tidak berlaku atau tidak ada.

Tabel 2. Hasil Seleksi Pemasok

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hanya pemasok 20 (pabrik) yang melampirkan SIPA masing-masing apoteker penanggung jawab pada bagian produksi, pemastian mutu, dan pengawasan mutu sementara yang lain hanya mencantumkan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang terdapat pada surat izin sarana yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Berdasarkan Permenkes No. 31 Tahun 2016 pasal 17 yaitu, setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin yang dimaksud berupa SIPA bagi apoteker atau SIPTTK bagi tenaga teknis kefarmasian (30). SIPA atau SIPTTK diperlukan untuk memastikan bahwa personel yang terlibat kompeten dan terkualifikasi untuk melakukan praktik kefarmasian sehingga keamanan, mutu, dan khasiat obat tetap terjaga. Oleh karena itu, setiap pabrik wajib untuk melampirkan SIPA dari setiap apoteker penanggung jawabnya.

Produk-produk dari pemasok di atas sudah dipastikan aman karena belum pernah ada laporan dari pelanggan ataupun konsumen mengenai produk yang telah didistribusikan. Namun memang pada tahun 2019 BPOM pernah memerintahkan semua produsen ranitidin untuk melakukan penarikan produk dari pasaran karena terdapat beberapa produk yang terbukti mengandung N-nitrosodimethylamine (NDMA) yang dapat memicu kanker. Pemasok 3 merupakan salah satu produsen ranitidin. Namun, setelah dilakukan pengujian produk dari pemasok 3 terbukti aman dan dapat diedarkan kembali.

PBF terkait selalu melakukan pemeriksaan kesesuaian pesanan dengan faktur dan surat pesanan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi nama dan kekuatan produk, jumlah, kondisi fisik, nomor bets, tanggal kedaluwarsa, dan harga dari produk yang diterima. Apabila terdapat ketidaksesuaian, produk akan langsung diretur ke pemasok. Oleh karena itu, kemungkinan produk yang direject kecil kecuali setelah produk diterima dan ternyata produk tidak terjual dalam waktu tiga bulan berturut-turut (deadstock) dan sudah mendekati masa kedaluwarsa/sudah kedaluwarsa maka produk akan direject untuk selanjutnya dikembalikan ke pemasok atau dimusnahkan oleh PBF terkait.

Kesimpulan

Dari 20 pemasok untuk PBF yang diobservasi, hanya 6 pemasok yang memenuhi semua persyaratan. Pemasok-pemasok tersebut antara lain, pemasok 1, pemasok 5, pemasok 17, pemasok 18, pemasok 19, dan pemasok 20. PBF terkait dapat membeli obat dari pemasok tersebut. Sementara, untuk pemasok yang belum memenuhi persyaratan, aktivitas pembelian obat ditunda hingga syarat yang belum terpenuhi dilengkapi. Penulis berharap artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan sebagai referensi untuk melakukan kualifikasi pemasok.

Ucapan Terimakasih

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada PBF terkait yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) serta kemudahan akses data yang diperlukan.

Daftar Pustaka

  1. Notoadmojo.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
  2. Cloud S. Cold Storage monitoring of Pharmaceutical Products using Near Field. :435–7.
  3. Shafaat K, Hussain A, Kumar B, Ul Hasan R, Prabhat P, Yadav VK, et al. An overview: storage of pharmaceutical products. World J Pharm Pharm Sci [Internet]. 2013;2(5):2499–515.
  4. Sinen Y, Lolo WA, Supriati HS. Evaluasi Penyimpanan Dan Pendistribusian Obat Di Pt. Unggul Jaya Cipta Usaha Manado. Pharmacon. 2017;6(3):137–46.
  5. Badurina G, Majić Z, Pavlin S. Evaluation of Air Transportation Under Controlled Room Temperature for Pharmaceuticals. PROMET – Traffic & Transportation. 2012;23(2):121–30.
  6. Sykes C. Time- and temperature-controlled transport: Supply chain challenges and solutions. P T. 2018;43(3):154–8.
  7. Kristanti MW, Ramadhania ZM. Evaluasi Kesesuaian Sistem Penyimpanan Obat, Suplemen, dan Kosmetik Eceran pada Salah Satu Gudang Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Jakarta Pusat. Maj Farmasetika. 2020;5(2):49.
  8. Ganguly A, Kumar C, Chatterjee D. A Decision-making Model for Supplier Selection in Indian Pharmaceutical Organizations. J Health Manag. 2019;21(3):351–71.
  9. Van Assche K, Giralt AN, Caudron JM, Schiavetti B, Pouget C, Tsoumanis A, et al. Pharmaceutical quality assurance of local private distributors: A secondary analysis in 13 low-income and middle income countries. BMJ Glob Heal. 2018;3(3):1–10.
  10. Cvetanovski F, Kocev N, Tonic-Ribarska J, Trajkovic-Jolevska S. Good Distribution Practice in preserving the integrity and safety of the supply chain of pharmaceuticals. Maced Pharm Bull. 2020;66(03):193–4.
  11. Agustyani V, Wahyu U, Wahono S, Umi A, Abdul R. Evaluasi Penerapan CDOB sebagai Sistem Penjaminan Mutu pada Sejumlah PBF di Surabaya. J Ilmu Kefarmasian. 2017;15(1):70–6.
  12. Hukum K, Hak DAN, Menteri P, Dan H, Asasi HAK, Indonesia R, et al. Berita Negara. 2011;(217).
  13. Bhaskaran J, Venkatesh M P. Good Storage and Distribution practices for Pharmaceuticals in European Union. J Pharm Sci Research. 2019;11(8):2992–7.
  14. Ferrario A, Sautenkova N, Bezverhni Z, Seicas R, Habicht J, Kanavos P, et al. An in-depth analysis of pharmaceutical regulation in the Republic of Moldova. J Pharm Policy Pract. 2014;7(1):1–11.
  15. Kumar N, Jha A. Quality Perspective of “Good Distribution Practices” in Indian Pharmaceutical Industry. IOSR J Bus Manag I. 2015;17(11):2319–7668.
  16. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik. Bpom Ri. 2020;1–69.
  17. Mudin N. Penjaminan Mutu dalam Pendistribusian Sediaan Farmasi. Farmasetika.com (Online). 2018;3(1):1.
  18. Vamsi B, Hemanth Kumar S, Patel PR, Gowrav MP. Vendor qualification and evaluation in pharmaceutical industry. Int J Res Pharm Sci. 2020;11(2):1987–94.
  19. Aditya WA, Febrina Amelia Saputri. Analisis Kesesuaian Sistem Kegiatan Operasional Pada Salah Satu Gudang Pedagang Besar Farmasi (PBF) Di Bandung. Farmaka. 2020;18(3):1–15.
  20. Kadir MF, Sopyan I. Kualifikasi Pemasok Bahan Baku yang Digunakan pada Industri Farmasi. Maj Farmasetika. 2020;5(2):73–81.
  21. Miah SJ, Ahsan K, Msimangira KAB. An Approach of Purchasing Decision Support in Healthcare Supply Chain Management. Oper Supply Chain Manag An Int J. 2014;6(2):43–53.
  22. BPOM. Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Formulir Registrasi Obat Dan Produk Biologi. BPOM No 13 tahun 2018. 2018;43–7.
  23. Yusuf B, Avanti C. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan Implementasinya oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Kota Banjarmasin-Banjarbaru Tahun 2019. J Pharmascience. 2020;7(2):58.
  24. Asamoah D, Annan J, Nyarko S. AHP Approach for Supplier Evaluation and Selection in a Pharmaceutical Manufacturing Firm in Ghana. Int J Bus Manag. 2012;7(10).
  25. Bohner C, Minner S. Supplier selection under failure risk, quantity and business volume discounts. Comput Ind Eng. 2017;104:145–55. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cie.2016.11.028
  26. Sarangi SK. International Journal of Engineering , Business and Enterprise Applications ( IJEBEA ). 2013;140–5.
  27. Du B, Guo S, Huang X, Li Y, Guo J. A Pareto supplier selection algorithm for minimum the life cycle cost of complex product system. Expert Syst Appl. 2015;42(9):4253–64.
  28. Khan A, Siddiqui DA. Information Sharing and Strategic Supplier Partnership in Supply Chain Management: A Study on Pharmaceutical Companies of Pakistan. Asian Bus Rev. 2018;8(3):117–24.
  29. Rao C, Xiao X, Goh M, Zheng J, Wen J. Compound mechanism design of supplier selection based on multi-attribute auction and risk management of supply chain. Comput Ind Eng. 2017;105:63–75.
  30. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. J Chem Inf Model. 2016;53(9):1689–99.

Cara mengutip artikel ini

Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Recent Posts

Optimasi Konsentrasi Lemak Tengkawang Dalam Sistem Nanostructured Lipid Carriers

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…

1 bulan ago

Formulasi Dan Uji Stabilitas Gel Tabir Surya Mengandung Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Salam (SyzygiumPolyanthum (Wight.) Walp.) Dan EkstrakEtanolDaunKelor (Moringa Oleifera L.)

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…

1 bulan ago

Uji Aktivitas Antioksidan Nano Spray Gel Ekstrak Daun Singkong (Manihot esculenta)

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…

1 bulan ago

Review: Formulasi dan Evaluasi Tablet Pelepasan Tertunda dan Pelepasan Terkontrol

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…

1 bulan ago

Formulasi dan Uji Karakteristik Shampo Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine bulbosa (Mill).Urb. Menggunakan Karbopol 940 Sebagai Pengental.

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…

1 bulan ago

Formulasi dan Uji Sediaan Sampo Bunga Tembelekan terhadap Malassezia furfur dan Candida albicans

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…

1 bulan ago

This website uses cookies.