Majalah Farmasetika, 10 (6) 2025, 459-469
https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i6.66879
Artikel Penelitian
Suzan Astyamalia*, Mir-a Kemila
Program Studi D3 Farmasi, Universitas Tidar, Jawa Tengah, Indonesia
*E-mail : suzanasty@gmail.com
(Submit 19/09/2025, Revisi 02/10/2025, Diterima 02/12/2025, Terbit 04/12/2025)
Penyakit saraf seperti skizofrenia bersifat progresif, kronis, dan membutuhkan biaya terapi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau terapi antipsikotik yang paling tepat dari segi manfaat dan biaya (cost-effective) pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Soerojo Magelang. Penelitian dilakukan secara retrospektif menggunakan data rekam medis pasien periode Januari–Maret 2024. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan metode Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER), sedangkan efektivitas terapi diukur berdasarkan penurunan skor Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS). Hasil menunjukkan bahwa pasien skizofrenia laki-laki (62%) lebih banyak dibanding perempuan (38%), dengan kelompok usia terbanyak 26–45 tahun (82%). Penggunaan antipsikotik tunggal terbanyak meliputi olanzapin (37,7%), klozapin (29,5%), risperidon (13,1%), dan haloperidol (8,2%). Berdasarkan hasil analisis, risperidone memiliki nilai ACER terendah sebesar Rp 3.874,59 dengan penurunan skor PANSS 24,2% dan menunjukkan terapi ini paling cost-effective dibandingkan haloperidol yang memiliki nilai ACER Rp 6.639,04 dan penurunan PANSS 14,6%. Risperidon sebagai antipsikotik atipikal dinilai lebih efektif dan efisien dalam menurunkan gejala skizofrenia serta lebih menguntungkan dari segi manfaat dan ekonomi pasien.
Penyakit saraf semakin meningkat beberapa tahun terakhir ini. Skizofrenia merupakan gangguan mental yang bersifat cenderung lama, terkadang kambuh serta progresif, sehingga pengobatan skizofrenia harus dilakukan secara berkala (1). Skizofrenia terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi sekitar 1%. Angka kejadian ini berkisar antara 1,5 per 10.000 orang. Usia khas onset antara 18- 25 tahun untuk laki-laki dan 25-35 tahun untuk perempuan. Di sisi lain, dalam tinjauan terbaru, yang termasuk data dari 33 negara menyimpulkan bahwa kejadian skizofrenia bervariasi tergantung dengan lokasi Geografis (2).
Skizofrenia dikenal dengan penyakit jiwa yang cukup parah. Biasanya ditandai dengan distorsi pikiran, persepsi, emosi, bahasa, perilaku, halusinasi penglihatan, pendengaran, atau merasakan sesuatu yang tidak ada dan pasien seringkali menginterpretasikan realitas secara abnormal. Gejala skizofrenia lainnya dapat berupa delusi, perilaku tidak normal seperti penampilan aneh, tertawa atau berbicara sendiri serta bicara tidak koheren (3,4).
Patofisologi dari skizofrenia masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa teori mengungkapkan skizofrenia terjadi karena terganggunya keseimbangan sistem kimiawi di bagian otak (5). Teori dopamin menyatakan bahwa pada kondisi skizofrenia terjadi karena hiperaktivitas dopamin di otak (jalur mesolimbik). Selain dopamin, neurotransmitter seperti glutamat, serotonin (5- HT) dan norepinefrin juga terlibat dalam patofisiologi skizofrenia (6).
Antipsikotik merupakan pilihan terapi yang paling utama untuk mengobati skizofrenia. Pemilihan terapi skizofrenia perlu diperhatikan demi mencapai efektivitas terapi dan menunjang kualitas hidup pasien menjadi lebih baik. Namun, faktanya banyak pasien skizofrenia tidak memperolah efektivitas pengobatan yang memuaskan dengan terapi antipsikotik tunggal saja, sehingga diperlukan terapi kombinasi antipsikotik. Terapi kombinasi tersebut menjadi salah satu faktor tingginya biaya pengobatan untuk pasien skizofrenia (7).
Skizofrenia termasuk dalam salah satu penyakit yang membutuhkan biaya terapi yang cukup tinggi. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk biaya layanan penyakit mental dengan 3 juta kasus mencapai angka 1,25 triliun rupiah di tahun 2018. Selain itu, prevalensi skizofrenia pada usia >15 tahun mencapai 7% pada tahun 2018 (8).
Biaya terapi ini juga dikaitkan dengan tatalaksana terapi skizofrenia yaitu pasien bisa mendapatkan obat tipikal atau atipikal, tergantung pengobatan yang diberikan dokter dan efek samping yang ditimbulkan (9). Maka dari itu, permasalahan skizofrenia tidak hanya sebatas pengobatan, tetapi juga berpengaruh pada ekonomi pasien. Biaya yang harus dikeluarkan pasien selama dirawat inap sangat banyak, hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa beban ekonomi yang harus ditanggung oleh penderita skizofrenia dan keluarganya ternyata relatif tinggi. Biaya medik yang paling banyak yaitu biaya tindakan medis, bahkan biaya rawat inapnya bisa mencapai 9 juta Rupiah (10). Hal ini disebabkan oleh sebagian besar penderita skizofrenia tidak dapat bekerja, biaya pengobatan dan perawatan yang membutuhkan waktu cukup lama, serta waktu anggota keluarga yang habis untuk merawat penderita skizofrenia ternyata mempengaruhi beban ekonomi keluarga. Faktor ekonomi pun menjadi kekhawatiran khusus terhadap biaya pengobatan dan menjadi faktor pendukung untuk mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Maka dari itu, tujuan utama dari pengobatan tidak hanya terfokus pada pengurangan gejala, tetapi peningkatan kualitas hidup pasien (11). Pasien skizofrenia juga cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan penyakit fisik yang lain (12). Gangguan jiwa terutama pasien yang terdiagnosa skizofrenia ini memiliki kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan populasi umum (11).
Adanya dampak ekonomi terkait biaya terapi skizofrenia tersebut mendasari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas biaya antipsikotik tunggal pada pasien skizofrenia rawat jalan di Magelang tahun 2024. Diketahui pula belum adanya penelitian terkait pada tahun ini, sehingga dilakukan penelitian mengenai efektivitas biaya terapi antipsikotik pasien skizofrenia di Rumah Sakit Soerojo Magelang dengan harapan dapat dijadikan acuan untuk terapi yang lebih efektif dan ekonomis.
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data secara retrospektif. Pengambilan data sekunder ini diperoleh dari rekam medik atau SIMRS Rumah Sakit Soerojo, dan instalasi farmasi RS Soerojo Magelang. Data yang digunakan meliputi data karakteristik pasien, data biaya medik langsung (biaya obat, tindakan medik serta administrasi) dan skor Positive and Negative Scala Score (PANSS).
Penelitian diawali dengan proses perizinan atau ethical clearance (EC), lalu apersespsi bersama tim dokter, apoteker, serta rekam medik di Rumah Sakit Soerojo Magelang. Peneliti memaparkan latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian, serta menyamakan persepsi terkait alur penelitian ke depannya. Dari hasil kajian didapatkan bahwa penelitian ini mendapatkan Persetujuan Etik yang diperoleh dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Rumah Sakit Soerojo Magelang dengan Nomor DP.04.03./D.XXXVI.12/12/2024. Setelah mendapatkan EC, penelitian berjalan selama kurang lebih 1 bulan yaitu mendapatkan data pengobatan biaya pasien skizofrenia periode 1 Januari -31 Maret 2024.
Perhitungan biaya berdasarkan sudut pandang rumah sakit terhadap biaya langsung meliputi pelayanan dokter, pelayanan rumah sakit, serta terapi obat antipsikotik dan obat penunjang lain. Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien rawat jalan yang menderita skizofrenia baik laki-laki maupun perempuan yang mendapatkan pola terapi antipsikotik dan post-rawat inap di RS Soerojo Magelang periode Januari-Maret 2025. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi data pasien skizofrenia yang mendapat terapi injeksi, memiliki penyakit penyerta dan pasien dengan data tidak lengkap.
Skor PANSS digunakan untuk menilai keefektivitasan terapi berdasarkan penurunan skor PANSS untuk pasien yang mendapatkan terapi antipsikotik tunggal. Penilaian skor PANSS ini dilakukan oleh dokter spesialis kejiwaan atau perawat RS Soerojo. Efektivitas pengobatan tersebut diperoleh dari wawancara klinis yang terstruktur menggunakan instrumen PANSS yang berfungsi untuk menilai gejala pada skizofrenia. PANSS merupakan instrumen yang terdiri dari 7 item gejala positif, 7 item gejala negatif, dan 16 item gejala psikopatologi, dengan setiap item diberi skor dari 1 hingga 7, di mana skor tertinggi menunjukkan gejala yang lebih berat. Total skor PANSS didapatkan dengan menjumlahkan nilai dari setiap item (12).
Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, usia, dan gambaran pola pengobatan berdasarkan golongan antipsikotik yang digunakan, serta dilakukan analisis bivariant menggunakan Independent Sample T-Test. Analisis efektivitas biaya dilakukan secara farmakoekonomi menggunakan parameter Average Cost-effectiveness Ratio (ACER). ACER dihitung berdasarkan total biaya pengobatan langsung pada pasien yang diberikan terapi tunggal antipsikotik dengan efektivitas terapi berdasarkan penurunan skor PANSS dengan rumus sebagai berikut:
Pasien skizofrenia yang melakukan rawat jalan di RS Soerojo Magelang pada bulan Januari hingga Maret 2024 sejumlah 4030 orang. Namun, pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimana menggunakan antipsikotik tunggal sejumlah 61 orang. Ada sekitar 1823 orang yang menggunakan kombinasi dua antipsikotik, sedangkan selebihnya menggunakan kombinasi tiga antipsikotik atau lebih. Selain itu, sebanyak 1364 pasien yang tidak masuk kriteria dikarenakan adanya komplikasi atau penyakit penyerta lain seperti hipertensi (277 orang), diabetes (20 orang) dan selebihnya penyakit lain.
Tabel 1. Jenis pengobatan pasien skizofrenia rawat jalan di RS Soerojo
Karakteristik pasien skizofrenia dengan pengobatan antipsikotik tunggal dapat dilihat berdasarkan tabel 2 dimana jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita skizofrenia dengan jumlah 38 pasien (62%) daripada perempuan dengan jumlah 23 pasien (38%).
Tabel 2. Karakterisik pasien skizofrenia
Sedangkan untuk penggunaan antipsikotik tunggal dapat dilihat di tabel berikut. Penggunaan antipsikotik tunggal terbanyak adalah olanzapin yaitu sebanyak 23 pasien.
Tabel 3. Antipsikotik tunggal yang paling banyak diresepkan pada pasien skizofrenia
Table 4 menunjukkan rerata biaya obat dan total biaya medik langsung (biaya obat dan biaya medik .lainnya) pada pasien pengobatan antipsikotik tunggal.
Tabel 4. Perbedaan biaya terapi tunggal pasien skizofrenia
Hasil penelitian menyatakan bahwa biaya rata-rata obat antipsikotik yang paling murah adalah risperidon yaitu Rp 3.874,59 dari pola terapi tunggal atipikal. Kemudian diikuti oleh kelompok pengobatan haloperidol yang memiliki rata-rata biaya Rp 6.639,04. Sedangkan biaya rata-rata antipsikotik tunggal yang paling tinggi adalah quetiapine yaitu Rp 121.440.
Tabel 5. Perbandingan ACER biaya medik langsung pada pengobatan antipsikotik Tunggal
*Total biaya medik langsung termasuk biaya obat, biaya pemeriksaan dan administrasi.
Efektivitas biaya terapi suatu kelompok antipsikotik dapat dinyatakan cost-effective apabila kelompok obat tersebut memiliki nilai ACER lebih rendah daripada kelompok antipsikotik lainnya. Analisis efektivitas ini merupakan analisis yang sederhana untuk menetapkan biaya paling rendah ketika membandingkan dua atau lebih jenis alternatif pengobatan. Efektivitas pengobatan diambil bedasarkan penilaian PANSS, yaitu persentase penurunan skor PANSS. Presentase penurunan skor PANSS tertinggi pada kelompok Quetiapine (27,3%). Diikuti oleh Aripiprazole, risperidone, olanzapine, haloperidol dan klozapin secara berturut-turut.
Namun, cost-effectiveness tidak hanya dinilai dari penurunan skor PANSS, tetapi juga nilai ACER. Nilai ACER menunjukkan setiap peningkatan 1% efektivitas dibutuhkan biaya sebesar ACER. Kelompok monoterapi paling cost-effective sesuai tabel 5 adalah risperidon dengan nilai ACER paling kecil yaitu Rp 3.874,59 untuk setiap % penurunan gejala. Diikuti dengan haloperidol dengan nilai ACER Rp 6.639,04. Dikarenakan keduanya memiliki nilai ACER terendah, dan masing-masing mewakili golongan atipikal (risperidon) dan tipikal (haloperidol), maka antara risperidon dan haloperidol dibandingkan lebih lanjut dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6. Perbandingan risperidon dan haloperidol
Hasil uji statistika menunjukkan hasil yang berbeda signifikan antara risperidone dan haloperidol (p=0,0002). Risperidone dinilai lebih cost-effective dibanding haloperidol dan kelompok antipsikotik atipikal lainnya sebagai pengobatan Tunggal skizofrenia. Tabel efektivitas berikut digunakan untuk memperjelas perbandingan manfaat dan biaya dari kedua terapi melalui ACER dan rekomendasi terapi yang lebih efektif.
Tabel 7. Tabel efektivitas biaya
Karakteristik pasien skizofrenia dapat dilihat berdasarkan tabel 3 dimana jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita skizofrenia dengan jumlah 38 pasien (62%) daripada perempuan dengan jumlah 23 pasien (38%). Menurut Yulianty (2017) jumlah pasien skizofrenia pria lebih banyak daripada wanita dikarenakan adanya pengaruh antidopaminergik estrogen pada wanita. Estrogen mempengaruhi aktivitas dopamin di nukleus dengan menghambat pelepasannya (13). Efek perlindungan atau neuroprotektif dari hormon estrogen secara tidak langsung berkontribusi pada keterlambatan onset dan perjalanan skizofrenia yang lebih baik pada wanita. Kelompok usia terbanyak dari pasien skizofrenia adalah kategori dewasa (26-45 tahun) sebanyak 50 pasien (82,0%). Kelompok usia terbanyak kedua adalah kelompok usia 46-65 tahun sebanyak 5 pasien (8,2%). Sedangkan kelompok usia terbanyak ketiga adalah usia kategori remaja (17-25 tahun) sebanyak 4 pasien (6,6%). Onset gejala skizofrenia mulai muncul pada usia dewasa muda dengan kemungkinan risiko 1,8 kali lebih besar daripada usia remaja (14). Penanganan pasien skizofrenia dengan mempertahankan remisi gejala atau meminimalisasi risiko kekambuhan gejala yang berupa halusinasi akustik atau pendengaran selama 8-10 minggu (15). Diketahui perbaikan gejala pada bulan ke-0 dan bulan ke-1 di mana munculnya gejala halusinasi akustik pada awal pemeriksaan mulai menurun.
Risperidon diketahui sebagai salah satu antipsikotik atipikal yang memiliki efek samping lebih ringan dibandingkan dengan antipsikotik tipikal, dengan afinitas kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT2 dan aktivitas sedang pada reseptor dopamin D2 (16). Kombinasi risperidon dan klozapin juga berpengaruh signifikan terhadap penurunan gejala positif dan negatif pada pasien skizofrenia jika dibandingkan dengan pengobatan monoterapi masing-masing (17).
Menurut penelitian Aryani dan Sari (2016), kombinasi antipsikotik bertujuan untuk meningkatkan efektivitas antipsikotik dan efek sedatifnya. Klozapin memiliki efek antipsikotik yang kuat, tetapi efek sedatifnya rendah, sedangkan risperidon memiliki efek antipsikotik yang lebih lemah tetapi efek sedatifnya lebih kuat. Selain antipsikotik, obat dari golongan antimuskarinik seperti triheksilfenidil (THP) juga digunakan dengan persentase peresepan sebanyak 88,6%. Tujuan pemberian triheksilpenidil tersebut untuk mencegah ataupun mengobati efek samping yang muncul berupa sindrom ekstrapiramidal seperti tremor, dari penggunaan obat antipsikotik konvensional jangka pendek maupun panjang (18,19).
Sedangkan untuk penggunaan antipsikotik tunggal dapat dilihat di tabel 3. Penggunaan antipsikotik tunggal terbanyak adalah olanzapin yaitu sebanyak 23 pasien. Penggunaan terbanyak kedua adalah klozapin, yaitu 18 pasien. Diikuti dengan penggunaan risperidone sebanyak 8, haloperidol sebanyak 5 pasien, aripiprazole sebanyak 4 pasien dan quetiapine 3 pasien.
Hasil penelitian menyatakan bahwa biaya rata-rata obat antipsikotik yang paling murah adalah risperidon yaitu Rp 3.765 dari pola terapi tunggal atipikal. Kemudian diikuti oleh kelompok pengobatan haloperidol yang memiliki rata-rata biaya Rp 6.930. Sedangkan biaya rata-rata antipsikotik tunggal yang paling tinggi adalah quetiapine yaitu Rp 121.440. Golongan tipikal memiliki harga yang relatif lebih murah, tetapi memiliki efek sedasi lebih rendah sehingga frekuensi pemakaiannya lebih banyak daripada golongan atipikal hal tersebut mempengaruhi biaya rata-rata obat antipsikotik (20). Terhitung bahwa biaya rata-rata keseluruhan yang dikeluarkan pasien untuk pengobatan antipsikotik sebesar Rp 128.535. Biaya periksa dokter adalah biaya yang dikeluarkan pasien untuk melakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter spesialis. Biaya pendaftaran dan periksa dokter spesialis kejiwaan untuk pasien di RS Soerojo sebesar Rp 90.000,00 dengan asumsi pasien melakukan pemeriksaan sekali dalam satu bulan.
Untuk rata-rata total biaya medik langsung yang paling rendah adalah risperidon yaitu Rp 93.765,00. Biaya rata-rata antipsikotik tunggal yang paling tinggi adalah quetiapine yaitu Rp Rp211.440 yang juga merupakan antipsikotik atipikal. Menurut Tjay dan Rahardja (2015) risperidon merupakan derivat benzisoksazil berkhasiat sebagai antipsikotik dan antiserotonin kuat serta blockade-α1-nya cukup baik. Namun, efek samping berupa sindrom ekstrapiramidal yang muncul pada quetiapine lebih kecil daripada risperidone (21).
Efektifitas biaya diukur pada tiap kelompok pengobatan antipsikotik tunggal. Kelompok antipsikotik risperidon (atipikal) dan kelompok haloperidol (tipikal) memiliki nilai ACER terendah, sehingga dilakukan perbandingan lebih lanjut pada risperidon dan haloperidol. Analisis statistik menunjukkan bahwa baik dari variabel rata-rata total biaya medik maupun presentase penurunan skor PANSS memiliki perbedaan signifikan pada kedua kelompok antipsikotik tersebut (p < 0,05).
Sesuai dengan nilai ACER yang diperoleh, kelompok monoterapi paling cost-effective adalah risperidon dengan nilai ACER paling kecil yaitu Rp 3.874,59 untuk setiap % penurunan gejala. Penelitian oleh Karaeng, Makhmud dan Liaury (2018) juga menyatakan bahwa kelompok terapi risperidon lebih cost-effectiveness daripada kelompok antipsikotik lain (2). Menurut Aryani dan Sari (2016), antipsikotik tipikal seharusnya lebih murah dibandingkan dengan kelompok antipsikotik atipikal, namun karena kelompok antipsikotik tipikal membutuhkan penambahan obat untuk mengatasi efek samping yaitu sindrom ekstrapiramidal sehingga menyebabkan kelompok antipsikotik tipikal memiliki total biaya yang lebih tinggi (22).
Ada beberapa kemungkinan dalam perhitungan cost-effectiveness, yaitu biaya lebih rendah dengan efektivitas rendah (A), biaya lebih tinggi dengan efektivitas tinggi (sel I) atau biaya dan efektivitas sama antar obat (sel E). Untuk sel A dan sel I tambahan biaya untuk setiap unit outcome ditentukan dengan perhitungan perbandingan biaya tambahan, sedangkan untuk unit E diperlukan faktor lain untuk mempertimbangkan terapi mana yang lebih cost-effective (23). Sesuai tabel di atas, letak efektivitas biaya dari terapi haloperidol terhadap risperidon berada di kelompok C, sehingga tidak perlu menggunakan perhitungan lain. Letak efektivitas biaya dari terapi risperidon terhadap haloperidol berada di kelompok G, sehingga efektivitas biaya terapi risperidon lebih baik dibandingkan dengan terapi haloperidol. Hasil penentuan posisi alternatif terapi skizofrenia pada tabel 7 untuk penggunaan antipsikotik tunggal, menunjukkan bahwa risperidon berada pada posisi G atau posisi dominan dengan rerata total biaya lebih rendah dengan efektivitas lebih tinggi dibandingkan haloperidol sehingga tidak diperlukan perhitungan lain.
Dibandingkan risperidon, haloperidol dilaporkan memiliki efek samping yang merugikan dalam penurunan emosi. Namun, jika dibandingkan haloperidol, risperidon memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam penurunan respon emosi pasien skizofrenia, termasuk dalam pola pikir pasien. Hal ini dapat dilihat dari penurunan laporan subjektif pengalaman yang tidak menyenangkan dan peningkatan pengalaman yang menyenangkan (24). Sehingga pola pengobatan yang paling cost-effective pada penggunaan antipsikotik tunggal adalah risperidon dengan nilai ACER sebesar Rp 3.874,59 dengan penurunan PANSS sebesar 24,2%.
Pola pengobatan pasien skizofrenia rawat jalan di RS Soerojo yang paling cost-effective pada penggunaan antipsikotik oral tunggal adalah risperidon dengan nilai ACER sebesar Rp 3.874,58. Risperidon dinilai lebih efektif dari segi biaya dan penurunan skor PANSS dibandingkan haloperidol tunggal, sehingga risperidon menjadi pilihan terapi tunggal yang dominan pada pengobatan skizofrenia di RS Soerojo Magelang.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Tidar dan RS Soerojo Magelang yang telah berkontribusi dalam penelitian ini.
1.Fitriani, A. Psikoterapi Suportif pada Penderita Skizofrenia Hebefrenik. Proyeksi. 2018;13: 123.
2.Karaeng ND, Makhmud AI, Liaury K. Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Risperidone Kombinasi dan Haloperidol Kombinasi pada Pasien Skizofrenia di RSJ. Dr. V. L. Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara. Maj Farm dan Farmakol. 2019;22:69–72.
3.Ikawati, Z. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu; 2014.
4.WHO. Mental Disorders. 2019 [cited 2024 Oct 2]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders
5.Sadock BJ dan Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC; 2017.
6.Nugroho AE. Farmakologi Obat obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Edisi Kedua, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2018.
7.Bimantara, W, Lolo WA, Jayanto I. Cost Minimization Analysis of Using Risperidone and Haloperidol in Schizoprenic Patients in a Mental Hospital Dr. V. L. Ratumbuysang, Pharmacon. 2021;10(4):1190–1198.
8.Puspitasari IM, Sinuraya RK, Rahayu C, Witriani W, Zannah U, et al. Medication profile and treatment cost estimation among outpatients with schizophrenia, bipolar disorder, depression, and anxiety disorders in Indonesia, Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2020;16:815–828.
9.Dipiro JT, Talbert RL, Yess GC, Matzke GR, Wells BG, et al. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. New York: The McGraw-Hill; 2015.
10.Adisaputra AD, Tandah MR, Aruanlebok R, Diana K. Analisis Biaya Pasien Skizofrenia Menggunakan Terapi Antipsikotik di RSUD Madani Sulawesi Tengah, Jurnal IImiah Farmasi Farmasyifa. 2024;7(1):13-25.
11.Isjanovski V, Naumovska A, Bonevski D, Novotni A. Validation of the Schizophrenia Quality of Life Scale Revision 4 (SQLS-R4) Among Patients with Schizophrenia, Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2016;4(1):65-90.
12.Weinberger DR, dan Harrison P. Schizophrenia, 3rd Edition. USA: National Institute of Health; 2011.
13.Yulianty MD, Cahaya N, Srikartika VM. Studi Penggunaan Antipsikotik dan Efek Samping pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Kalimantan Selatan. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 2017;3:153.
14. Afitriyani N, Dwinta E, Putri IRR, Astuti WS. Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) Penggunaan Antipsikotik Monoterapi Atipikal dengan Kombinasi Atipikal dan Tipikal Pada Pasien Rawat Inap Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina (JIIS). 2024;8(3):46–56.
15. Kemenkes. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta; 2018.
16. Utami IK, Barliana MI, Halimah E. Cost Analysis of Antipsychotics Schizophrenia of Inpatients in Mental Hospital West Java Province, Galenika Journal of Pharmacy, 2022;8:143–153.
17. Hariyanto IH, Putri RA, Untari EK. Perbedaan Jenis Terapi Antipsikotik terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia Fase Akut di RSJD Sungai Bangkong Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 2016;5(2):115-122.
18. Abdulah R, Siregar RF, Alfian SD. Cost-effectiveness Analysis of Antipsychotic Combination Therapy in Schizophrenia Inpatients. Indonesia J Clin Pharm. 2017;6:61–66.
19. Aryani F, Sari O. Gambaran pola penggunaan antipsikotik pada pasen skizofrenia di ruang rawat inap rumah sakit jiwa. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management and Pharmacy Practice). 2016; 6(1):35-40.
20. Azani E. Analisis Biaya dan Outcome Terapi Penggunaan Antipsikotika Pada Pasien Rawat Inap Skizofrenia Rsjd Surakarta Tahun 2017. Universitas Setiabudi Surakarta; 2017.
21. Tjay TH, Rahardja K. Obat Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke 7. Jakarta: Kompas Gramedia; 2015.
22. Ratnasari ID. Analisis Drug Related Problems Penggunaan Antipsikotik pada Penderita Schizophrenia Dewasa di Rumah Sakit Jiwa X Surabaya. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2018;7(1):721-735.
23. Andayani TM. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Edisi 1, Yogyakarta: Bursa Ilmu; 2013.
24. Amr M, Lakhan SE, Sanhan S, Al-Rhaddad, D, Hassan M, et al. Efficacy and tolerability of quetiapine versus haloperidol in first-episode schizophrenia: a randomized clinical trial. Int Arch Med. 2013;6:47.
https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/66879/0
Majalah Farmasetika, 10 (6) 2025, 446-458 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i6.66942 Artikel Penelitian Siti Mahyuni*, Fitria Dewi Sulistiyono, Almashuri,…
Majalah Farmasetika, 10 (6) 2025, 432-445 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i6.65646 Artikel Penelitian Ariani Insyirah1*, Taofik Rusdiana2, Ikhsan Rambia2…
Majalah Farmasetika, 10 (6) 2025, 414-431 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i6.66570 Artikel Penelitian Benni Iskandar*1,2,3, Aufa Zalfa Desion1, Deni…
Majalah Farmasetika, 10 (5) 2025, 400-413 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i5.66711 Artikel Penelitian Ananda Putri Aulia Mulyadi1*, Aliya Nur…
Majalah Farmasetika, 10 (5) 2025, 384-389 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i5.66146 Artikel Penelitian Nor Istiqomah*, Muh. Taufiqurrahman, Risny Oklyan…
Majalah Farmasetika, 10 (5) 2025, 372-393 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i5.66544 Artikel Pennelitian Maria Elvina Tresia Butar-Butar1,*, Adhe Septa…
This website uses cookies.