Majalah Farmasetika, 6 (5) 2021, 398-408 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v6i5.36080
Artikel Penelitian
Download PDF
Eneng Elda Ernawati*, Yunahara Farida , Shelly Taurhesia
Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila. Jl. Srengseng sawah, Jagakarsa, Jakarta, Indonesia
*E-mail: eldaernawati090291@gmail.com
(Submit 11/10/2021, Revisi 01/11/2021, Diterima 26/11/2021, Terbit 10/12/2021)
Buah ceremai (Phyllantus acidus) mengandung, kuarcetin, mirisetin, pylantusol A, pylantusol B, asam sitrat, asam askorbat dan asam galat, sedangkan kulit buah semangka (Citrullus lanatus) mengandung retinol, tiamin, niacin, dan asam askorbat. Keduanya mengandung senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah membuat formula serum wajah dari kombinasi ekstrak buah ceremai dan kulit buah semangka serta menguji aktivitas antioksidannya. Buah ceremai dan kulit buah semangka dimaserasi dengan etanol 70%, pelarut diuapkan dengan evaporator. Masing-masing ekstrak diuji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Ekstrak buah ceremai (EBC) dan kulit buah semangka (EKBS) dikombinasi ratio 1:1, 2:1 dan 1:2 dan dikembangkan formula serum wajah berdasarkan hasil kombinasi dengan aktivitas antioksidan terbaik. Ratio EBC dan EKBS (2:1) memberikan nilai IC50 terbaik yaitu sebesar 75,44 ppm. Serum F1 mengandung 0,76 g EBC dan 0,5 g EKBS sedangkan F2 adalah dua kali dari F1, komponen formula terdiri dari Xhantan Gum, Buthilen Glikol, Methylparaben dan Aquadest. Aktivitas antioksidan serum F2 memilki aktivitas terbaik dibandingkan serum F1 dengan nilai IC50 sebesar 326,71 ppm lebih baik dibandingkan dengan kontrol positif yaitu produk serum Vitamin C yang memiliki nilai IC50 816,65 ppm. Serum wajah F1 dan F2 berwarna coklat transparan, dengan aroma khas, pH serum F1dan F2 belum memenuhi standar SNI masing-masing sebesar 3,9 dan 3,7. Kedua formula serum memiliki kestabilan penyimpanan selama 3 bulan pada suhu 25oC dan 4o C. F2 menunjukkan adanya iritasi ringan pada kulit kelinci hal ini dipengaruhi oleh pH formula serum yang asam.
Citrrulus lanatus, DPPH, Serum, Phyllantus acidus
Kulit merupakan perlindungan paling luar dari tubuh dan jaringan kulit menjadi peran utama dalam pertahanan radiasi ultraviolet (1). Paparan radiasi UV merupakan penyebab utama stres oksidatif pada kulit sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya masalah kulit seperti pembentukan keriput dan kanker (2). Salah satu cara pencegahan kerusakan kulit akibat stres oksidatif yaitu dengan melakukan perawatan kulit melalui penggunaan kosmetik yang mengandung antioksidan seperti lotion dan serum.
Serum merupakan sediaan kosmetik yang memiliki konsentrat tinggi dengan kemampuan penetrasi lebih dalam untuk menghantarkan bahan aktif ke dalam kulit (3). Senyawa fenolik dan flavonoid adalah golongan metabolit sekunder yang populer digunakan sebagai antioksidan(4). Buah ceremai (Phyllantus acidus) diidentifikasi mengandung senyawa, kuarcetin, pylantusol A, pylantusol B, asam sinamat, asam sitrat, asam askorbat dan asam galat (5). Buah Phyllantus acidus memiliki total fenolik sebesar 204,75 mg/g dan kandungan asam askorbat sebesar 102,58 mg/g (6). Ekstrak metanol buah Phyllantus acidus menunjukkan aktivitas antioksidan tinggi dengan nilai IC50 sebesar 16 ppm (7). Buah Phyllantus acidus diidentifikasi mengandung senyawa asam glikolat sebesar 27,77% dan asam sitrat sebesar 39,81% (8). Jus kulit Citrullus lanatus mengandung fenolat sebesar 18,702 mg/g dan antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 214,369 ppm(9). Kulit buah Citrullus lanatus mengandung retinol, tiamin, niacin dan asam askorbat (10). Pada penelitian ini dilakukan pengembangan formula serum wajah antioksidan dari kombinasi ekstrak buah ceremai dan kulit buah semangka.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas laboratorium (Pyrex, Indonesia) spektrofotometer UV-vis (Shimadzu), viscometer (Brookfiled, USA), vaccum rotary evaporator (IKA RV 10, Germany), stirrer (Thermo, Korea), dehidrator (Kris).
Buah cermai (Phyllantus acidus) dan kulit buah semangka (Citrullus lanatus) diperoleh dari kabupaten Pandeglang, Banten. DPPH (Sigma aldrich), xhantan gum (PT. Sheva Mutiara Jaya, Bandung), buthylen glikol (PT. Sheva Mutiara Jaya, Bandung) methylparaben (PT. Sheva Mutiara Jaya Bandung), aquades, etanol (PT. Palapa Muda Perkasa, Jakarta), metanol (PT. Palapa Muda Perkasa, Jakarta), kelinci albino newzealand (PT.Dunia Kaca, Tawamangu)
Tabel 1. Formula serum wajah antioksidan (13)
5. Pengujian Formula Serum
a. Uji Organoleptis Uji organoleptik sediaan serum dilakukan dengan mengamati warna, bau, dan bentuk (14)
b. Uji viskositas Sediaan dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian spindel diturunkan hingga batas spindel tercelup ke dalam sediaan. Angka viskositas yang ditunjukkan oleh jarum merah dicatat, kemudian dikalikan dengan faktor koreksi pada tabel (15).
c. Uji pH Pengukuran pH formula diukur menggunakan pH meter dengan cara sampel disiapkan sebanyak 50 mL ke dalam gelas kimia. Elektroda pH meter dicelupkan pada serum dan hasil dibaca pada monitor (14)
d. Uji Daya Sebar Masing-masing formula serum sebanyak 1 mL diletakan di atas cawan petri dan dibiarkan 1 menit, kemudian diberikan beba sebesar 50 g dan didiamkan kembali 1 menit hasil pengamatan diukur diameter sebarnya (12)
e. Uji Homogenitas Masing-masing formula serum dioleskan pada sekeping kaca transparan, diratakan dan diamati apakah ada partikel atau tidak (16)
f. Uji Stabilitas Stabilitas sediaan dievaluasi pada suhu 4oC ± 2oC, dan 25o ± 2oC selama 3 bulan. Stabilitas yang diamati meliputi organoleptis (warna, bau dan bentuk) visikositas, homogenitas, daya sebar dan pH (15)
g. Uji Iritasi (17) Kelinci albino jantan New Zealand berat sekitar 2 kg. Hewan uji diaklimatisasi selama 7 hari, bulu kelinci daerah punggung dicukur seluas 10%. Formula serum yang terdiri dari F0, F1 dan F2 dioleskan pada bagian punggung kelinci dan diamati setelah pengolesan pada durasi 24,48 dan 72 jam. Kaji etik untuk uji iritasi diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (KEPK-UHAMKA) nomor persetujuan etik No:02/22.03/0936.
Berdasarkan hasil determinasi dengan Nomor B-1194/IPH.3./KS/X/2020 menyatakan spesies yang digunakan pada penelitian ini adalah Phyllanthus acidus dan Citrullus lanatus.
Hasil ekstraksi buah ceremai dan kulit buah semangka dapat dilihat pada (Tabel 2)
Gelatin pada tulang ikan diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Berdasarkan literatur yang diperoleh analisis parameter fisikokimia gelatin tulang ikan. Parameter-parameter fisikokimia tersebut kemudian dibandingkan dengan standar SNI atau GMIA untuk memperoleh gelatin yang sesuai persyaratan cangkang kapsul. Berikut adalah beberapa hasil penelitian gelatin dari tulang ikan patin, tuna, dan nila.
Tabel 2. Hasil Penelitian dari Gelatin Ikan Patin, Tuna, dan Nila berdasarkan Sifat Fisikokimianya dan Perbandingan dengan Standar Gelatin (GMIA dan SNI)
Parameter fisikokimia yang mempengaruhi kualitas gelatin diantaranya parameter pH, kadar air, kadar abu, kadar protein, kekuatan gel, dan viskositas. Parameter-parameter tersebut juga perlu dibandingkan dengan standar gelatin farmasi kapsul berdasarkan SNI 06- 3735-1995 atau standar internasional gelatin GMIA.
Gelatin memiliki sifat asam (karboksil) dan basa (amino dan guanidin). Gugus asam amino pada gelatin memberikan karakteristik amfoter karena gugus fungsi asam amino, amino terminal dan gugus karboksil dibentuk selama hidrolisis larutan asam kuat, gelatin bermuatan positif dan bermigrasi sebagai kation di medan listrik. Dengan larutan alkali kuat, gelatin menjadi bermuatan negatif dan bermigrasi sebagai anion. Tidak ada migrasi yang terjadi di titik tengah ketika titik isoelektrik adalah nol.19
Pengukuran nilai pH gelatin penting dilakukan karena pH gelatin mempengaruhi sifat lainnya seperti viskositas dan kekuatan gel.20 Nilai kekuatan gel maksimal sedangkan viskositas minimal pada pH 5 yang menandakan pentingnya pH untuk sifat reologi. pH 5 dan pH 8 dipilih karena peleburan dan pembentuk gel suhu gel gelatin lebih stabil dalam kisaran pH 5–9 karena struktur yang lebih kuat. Gel harus harus memiliki struktur yang lebih kuat ketika pH jauh dari isoelektrik, sedangkan bila mendekati titik isoelektrik struktur lebih lemah.19 pH memengaruhi viskositas, semakin tinggi konsentrasi asam, semakin banyak maka kation asam yang terperangkap dalam ossein, sehingga pH akan rendah atau bersifat asam. Selanjutnnya, proses hidrolisis kolagen dilanjutkan dengan proses penguraian polimer kolagen.21 Ikatan hidrogen dengan air molekul dan gugus asam amino bebas penting untuk kekuatan gelatin. Perubahan pH juga dapat menaikkan dan menurunkan viskositas gelatin pada kisaran pH 6-8.22
Berdasarkan literatur hasil, gelatin ikan patin diperoleh pH gelatin 4,46, gelatin ikan tuna diperoleh 3,73-5,33, serta pH gelatin ikan nila adalah 5,83. Standar GMIA untuk gelatin farmasi adalah 4,5-6,5, sedangkan standar SNI sebesar 3,8-6,0. Pada ketiga penelitian gelatin ikan patin, tuna, dan nila dihasilkan pH yang memenuhi standar GMIA dan SNI.
Kadar air didefinisikan sebagai jumlah kandungan air pada suatu bahan yang dapat dinyatakan dengan bobot basah dan bobot kering. Kadar air adalah parameter penting karena dapat menentukan penerimaan, kesegaran, pemerian, tekstur, rasa, mutu bahan, dan daya tahan bahan. Air terdapat dalam komponen intrasel atau ekstrasel suatu produk.23 Pengukuran kadar air bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam gelatin tulang ikan. Parameter kadar air penting untuk suatu produk karena kadar air dapat menentukan waktu simpan gelatin, hal ini karena air dapat menjadi media atau tempat pertumbuhan mikroba yang berperan dalam reaksi pembusukan atau penguraian bahan.12
Kadar air pada gelatin juga dipengaruhi oleh viskositas. Nilai viskositas atau kekentalan larutan gelatin memengaruhi kadar air dalam bentuk gelatin kering. Semakin kecil kadar air pada gelatin kering, maka akan semakin tinggi daya ikat air gelatin untuk membentuk gel. Semakin banyak jumlah air dalam bentuk terikat dengan gelatin, larutan akan semakin kental, sehingga nilai viskositas akan semakin tinggi.24
Berdasarkan tabel 1 nilai kadar air ikan patin, tuna dan nilai memenuhi persyaratan. Kadar air gelatin ikan patin 7,72±0,01%, kadar air gelatin tulang ikan tuna sebesar 11,85%, dan kadar air tulang ikan nila sebesar 9,30±0,33%. Nilai kadar air gelatin pada tiga tulang ikan memenuhi standar gelatin untuk sediaan cangkang kapsul berdasarkan SNI yaitu tidak melebihi 16%, sedangkan GMIA tidak mencantumkan persyaratan kadar air untuk cangkang kapsul.
Dalam suatu bahan baku selalu ada komponen organik dan anorganik.25 Komponen organik dapat hilang pada saat proses pembakaran, sedangkan komponen akan tersisa sebagai kadar abu.12,26 Penentuan kadar abu akan menunjukkan kemurnian suatu bahan.27 Kadar abu yang tinggi pada suatu bahan menggambarkan semakin banyak kandungan anorganik atau mineral yang terkandung pada bahan tersebut. Rendahnya kadar abu menunjukkan kualitas gelatin yang baik.25 Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh teknik dan alat penyaringan yang tidak sesuai, sebagaimana penelitian yang dilakukan sebelumnya.28,29 Pada saat pembentukan gelatin, tahap pre-treatment merupakan tahap yang berpengaruh terhadap kandungan mineral dari gelatin yang terbentuk. Karena pada tahap inilah terjadi proses demineralisasi untuk menghilangkan mineral sehingga didapat ossein.30
Lama perendaman, konsentrasi, dan jenis zat asam atau basa yang digunakan pada tahap pre-treatment ini pun dapat berpengaruh kepada proses pelepasan mineral yang terkandung dalam sampel.31 Kadar abu gelatin dapat diindikasikan sebagai kalsium. Tulang ikan pada umumnya memiliki kandungan kalsium yang cukup besar, kalsium akan bereaksi dengan asam atau basa dan membentuk ion kalsium yang larut. Tingginya kadar kalsium dalam gelatin akan mengurangi kejernihan sehingga gelatin yang dihasilkan cenderung keruh. Begitupun jika gelatin dijadikan bahan baku cangkang kapsul, maka kapsul yang dihasilkan tidak akan jernih.32
Kadar abu ketiga gelatin yang dihasilkan dari penelitian tersebut menunjukkan nilai yang bervariasi. Gelatin ikan patin dan ikan nila menunjukkan nilai masing-masing 0,38±0,08% dan 2,09% yang sudah sesuai dengan standar SNI, yaitu tidak melebihi 3,25%. Sedangkan untuk gelatin ikan tuna dengan kadar abu sebesar 8,12%, masih memiliki nilai kadar abu yang tidak sesuai dengan standar. Kadar abu melebihi batas standar SNI. Hal tersebut bisa terjadi karena proses ekstraksi yang kurang optimal, tahap demineralisasi, proses pencucian, penyaringan, atau kondisi bahan baku.13,32,33
Gelatin merupakan produk penguraian rantai panjang protein yang disebut kolagen. Gelatin yang dihasilkan dari hidrolisis kolagen memiliki kandungan protein yang tinggi.34 Kadar protein menunjukkan jumlah protein yang terkandung pada bahan baku.12 Kadar protein gelatin dapat dipengaruhi oleh konsentrasi penggunaan asam atau basa saat proses demineralisasi dan perendaman.30,35 Semakin besar konsentrasi asam, semakin lama waktu perendaman, dan tingginya suhu yang digunakan akan menurunkan kadar protein, karena semakin banyak protein dalam bahan baku yang terhidrolisis. Karena rantai polipeptida penyusun protein akan rusak dengan adanya perubahan pH dan suhu yang ekstrim.36,37 Kadar protein pun dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan, bagian tubuh yang digunakan, usia, habitat, dan pakan yang diberikan.2,30,38
Berdasarkan hasil literatur dari penelitian (Tabel 1), didapatkan dua penelitian gelatin ikan tuna dan nila yang memenuhi syarat SNI dengan nilai masing-masing 80,90% dan 79,73–87,3%. Sedangkan, penelitian kandungan protein tulang ikan patin yang dilakukan oleh Pertiwi et al., (2018) dengan nilai 58,70±0,01%, tidak memenuhi standar yang ditetapkan SNI dengan rentang nilai 84-90%.
Kekuatan gel merupakan parameter fisikokimia dari gelatin yang dapat menentukan karakteristik dari gelatin, terutama mengingat fungsi gelatin adalah sebagai pengemulsi dan agen pembentuk gel.27 Konsentrasi gelatin 6,67% digunakan untuk melihat kekuatan gel dari suatu bahan baku gelatin. Bloom adalah satuan dari kekuatan gel. Bloom menunjukkan besarnya beban yang dibutuhkan sebagai sumber tekanan di daerah tertentu pada bagian muka sampel sejauh 4mm.1 Kekuatan gel gelatin atau bloom gel strength adalah salah satu karakteristik tekstur sebuah wujud benda dan merupakan gaya yang dibutuhkan dalam merubah bentuk tertentu.30
Faktor – faktor yang mempengaruhi kekuatan gel diantaranya bahan baku, perlakuan pertama, keadaan ekstraksi, panjang asam amino, pH, berat molekul, asam amino pembentuk gel dan suhu. Kekuatan gel akan semakin besar dan meningkat apabila gugus asam amino penyusunnya semakin panjang. Rantai asam amino akan semakin panjang serta padat apabila jumlah kolagen terhidrolisa banyak dan kemampuan penyerapan air yang dilakukan gelatin semakin besar.39 Apabila nilai pH sangat rendah maka kekuatan gel semakin kecil, karena terjadi hidrolisis lanjutan pada untai protein yang digunakan.24
Penguraian untai polipeptida semakin banyak terjadi pada suhu tinggi. Keadaan ini terjadi karena rantai peptida menjadi pendek akibat dari hidrolisis gelatin yang menyebabkan menurunnya kekuatan gel. Selain itu suhu yang tinggi (>75oC) akan menyebabkan gel rusak terdenaturasi dan akibatnya kekuatan gel rusak.40 Berat molekul yang besar menunjukkan asam amino penyusun rantai peptida berjumlah banyak dan berukuran besar sehingga penyusun rantai peptida akan menjadi lebih panjang. Semakin besar berat molekul gelatin maka kekuatan gel akan semakin besar. Glisin, prolin dan hidroksiprolin adalah asam amino penting yang mempengaruhi terbentuknya gel. Gelatin adalah polimer linier tersusun atas susunan 19 asam amino penting yang saling terikat dengan ikatan peptida. Susunan dari asam amino penting tersebut dapat berupa glisin-prolin, glisin-prolin-hidroksiprolin yang akan terus berulang.24
Berdasarkan hasil literatur dari ketiga penelitian (Tabel 1), didapatkan dua penelitian yaitu Masrukan et.al., (2018), dan Otto et al., (2015) yang memenuhi syarat SNI dengan nilai viskositas masing-masing 120,37±0,9 dan 78,12 – 86,47. Sedangkan pada penelitian Pertiwi et al., (2018) didapatkan kekuatan gel sebesar 364,19±0,04 gBloom. Nilai kekuatan gel pada penelitian Pertiwi et al., (2018) terbilang tinggi hal ini dikarenakan sampel diuji setelah melalui rangkaian prosedur pemekatan gel.
Persyaratan SNI untuk rentang nilai viskositas adalah 75 – 250 gBloom sedangkan persyaratan GMIA dengan rentang nilai 150 – 300 gBloom. Dari ketiga penelitian tersebut hanya penelitian dari Otto et al., (2015) saja yang memenuhi persyaratan dari GMIA.
Viskositas sangat berkorelasi dengan parameter yang dijelaskan sebelumnya yaitu kekuatan gel dan memiliki peran yang penting.38 Viskositas atau dapat disebut juga kekentalan didefinisikan sebagai kekuatan suatu cairan untuk berusaha tidak mengalir. Viskositas mempengaruhi terjadinya proses aliran suatu zat cair dibantu dengan adanya adsorbsi.27 Tujuan dilakukannya viskositas adalah untuk melihat kekentalan gelatin dalam bentuk larutan pada suhu dan konsentrasi yang ditentukan.39
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai viskositas adalah suhu, pH dan konsentrasi gelatin. Pada suhu yang tinggi sekitar lebih dari 40°C akan menyebabkan nilai viskositas menurun.10 Rantai asam amino akan terputus beriringan dengan konsentrasi gelatin yang meningkat, hal ini akan menyebabkan viskositas menurun.41 Asam akan berpenetrasi kuat pada saat konsentrasi asam yang digunakan tinggi dan menyebabkan ikatan kovalen antar asam amino terputus. Hal ini menghasilkan BM yang lebih rendah dengan rantai pendek sehingga viskositasnya bernilai rendah.42
Waktu perendaman yang semakin lama menyebabkan rendahnya nilai viskositas yang didapatkan, hal ini disebabkan putusnya rantai asam amino dari gelatin dan menyebabkan rantai menjadi lebih pendek. Nilai viskositas yang kurang baik dipengaruhi oleh struktur gelatin yang dimiliki oleh tulang ikan. Struktur gelatin mudah terdegradasi oleh panas sehingga semakin lama proses pemanasan maka struktur rantai gelatin yang dihasilkan akan semakin pendek. Rantai asam amino yang semakin pendek akan menyebabkan nilai viskositas semakin rendah.41
Viskositas bergantung juga kepada metode ekstraksi dan bahan yang digunakan untuk menghidrolisis gelatin tersebut. Contohnya adalah dari metode ekstraksi dengan menggunakan microwave didapatkan nilai viskositas yang rendah. Hal ini dikarenakan prinsip kerja dari microwave itu sendiri yang menyebabkan terjadinya pergerakan acak dari partikel yang menghasilkan panas. Akibat panas tersebut menyebabkan ikatan antar atom berubah menjadi tidak kuat dan terjadilah penurunan viskositas.43 Berat molekul (BM) suatu gelatin dipengaruhi juga oleh konsentrasi larutan asam.10
Berdasarkan hasil literatur dari penelitian (Tabel 1), didapatkan bahwa tiga penelitian tersebut yaitu penelitian dari Pertiwi et al., (2018), Masrukan et.al., (2018) dan Gugun et al., (2016) semuanya memenuhi syarat SNI serta GMIA dengan nilai masing-masing 3,83±0,08 cP, 4,75±0,06 cP dan 4,13±3,95 cP. Persyaratan SNI untuk rentang nilai viskositas adalah 2,5-5,5 cP sedangkan persyaratan GMIA dengan rentang nilai 2,5 – 4,5 cP.
Berdasarkan peninjauan pustaka, gelatin ikan berpotensi sebagai bahan dalam formulasi cangkang kapsul ditinjaukan dari sifat fisikokimianya. Gelatin ikan patin memenuhi persyaratan standar gelatin GMIA dan SNI berdasarkan pH, kadar air, kadar abu, dan viskositas. Namun, kekuatan gel dan kadar protein gelatin tulang ikan melebihi persyaratan. Sedangkan, gelatin ikan tuna dan nila memenuhi semua parameter fisikokimia gelatin GMIA dan SNI yaitu pH, kadar air, kadar abu, kadar protein, viskositas, dan kekuatan gel gelatin. Dengan demikian, gelatin ikan tuna dan nila memenuhi persyaratan fisikokimia untuk dijadikan bahan dalam pembuatan cangkang kapsul untuk sediaan farmasi.
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.