Majalah Farmasetika, 8 (3) 2023, 224-234
https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v8i3.44089
Artikel Penelitian
Melisa Fuji Faujiah Dwi Putri1*, Keri Lestari Dandan2
1Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Bandung
2Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran,
Bandung
*E-mail: melisa17001@mail.unpad.ac.id
(Submit 30/12/2022, Revisi 03/01/2023, Diterima 14/02/2023, Terbit 21/03/2023)
Penggunaan psikotropika dan obat mengandung prekursor farmasi (OMPF) tanpa petunjuk atau resep dokter merupakan tindakan di luar indikasi medis yang dapat menyebabkan pengguna mengalami ketergantungan dan menimbulkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari akibat pemakaian yang bersifat patologik (menimbulkan kelainan). Oleh karena itu, diperlukan pengawasan terhadap penangan dan penyaluran produk khusus psikotropika dan OMPF salah satunya oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF merupakan suatu perusahaan berbadan hukum yang memperoleh izin dalam proses pengadaan, pelaksanaan penyimpanan, hingga proses penyaluran obat dan/atau bahan obat dengan jumlah yang besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) merupakan pedoman dalam melaksanakan proses penyaluran dan pendistribusian obat atau bahan obat sehingga mutu poduk dapat terjamin sepanjang jalur distribusi. Tujuan: untuk mengetahui kepatuhan pelaksanaan CDOB berdasarkan regulasi pemerintah dan regulasi internal terkait penanganan dan penyaluran produk khusus psikotropika dan OMPF di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya. Metode: Penelitian ini dilakukan secara observasional deskriptif yaitu menggunakan metode observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan daftar ceklis kuisioner. Hasil: Perolehan kepatuhan penerapan CDOB terkait produk khusus Psikotropika dan OMPF dari kuisioner yang berjumlah 19 pertanyaan, PBF PT “X” telah memenuhi semua aspek CDOB. Kesimpulan: Berdasarkan hasil observasi, dan wawancara langsung didapatkan kesimpulan penerapan Cara Distribusi Obat yang Baik di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya telah terlaksana dengan sangat baik.
Kasus penyalahgunaan psikotropika dan obat mengandung prekursor farmasi (OMPF) masih menjadi permasalahan di Indonesia. Dampak penyalahgunaan psikotropika dan OMPF dapat menyebabkan pengguna menjadi ketergantungan, hal ini dikarenakan tubuh pengguna mentoleransi penggunaan zat sehingga dosis yang digunakan akan semakin tinggi dan dapat menimbulkan keinginan yang tak tertahankan untuk terus menambah dosis. Adanya ketergantungan fisik dan psikologis inilah yang membahayakan pengguna (1). Selain itu, penyalahgunaan ini diperparah dengan belum adanya kepastian hukum terkait penjualan psikotropika dan prekursor di pasar bebas tanpa adanya resep dokter (2).
Psikotropika merupakan zat aktif yang memiliki khasiat psikoaktif bukan narkotika. Psikotropika bekerja dengan cara mempengaruhi dan merangsang susunan saraf pusat sehingga dapat menimbulkan suatu perubahan yang khas pada perilaku dan mental penggunanya. Sedangkan OMPF merupakan obat yang mengandung zat-zat berikut antara lain norephedrine/phenylpropanolamine, ephedrine, ergometrine, ergotamine pseudoephedrine, atau potassium permanganat (3).
Prekursor berperan dalam pembuatan narkotika maupun psikotropika, oleh karena itu penyalahgunaan lebih sering berasal dari prekursor karena lebih mudah didapatkan masyarakat (4). Dampak negatif penyalahgunaan OMPF terhadap fisik dapat meliputi gangguan pada neurologis seperti mengalami halusinasi, kejang, dan/atau kerusakan syaraf tepi, gangguan kardiovaskuler, gangguan pada paru-paru seperti kesulitan bernafas, gangguan pada kulit seperti eksim, dan gangguan pada sistem reproduksi seperti penurunan hormon estrogen, progesteron, testosteron, serta disfungsi seksual (5).
Banyak obat psikotropika yang umum digunakan, terutama antipsikotik, penstabil mood, dan beberapa antidepresan. Penggunaan psikotropika dalam jangka panjang dapat menyebabkan faktor risiko kardiometabolik seperti resistensi insulin, obesitas, dan dislipidemia (6). Stimulan, antidepresan yang menghambat pengambilan kembali norepinefrin, beberapa antipsikotik, dan turunan asam valproat juga dapat meningkatkan tekanan darah (7).
Saat ini, perlu dilakukan pengawasan terhadap penyaluran psikotropika dan prekursor secara masif di masyarakat, hal ini dikarenakan banyak sekali ditemukan OMPF yang tersedia dalam sediaan sirup dijual secara bebas di berbagai supermarket atau minimarket (8). Hal tersebut bertentangan dengan regulasi yang berlaku, dimana psikotropika maupun OMPF harus diberikan dengan pengawasan, arahan, serta resep dari para tenaga medis, khususnya dokter dan apoteker. Pengelolaan psikotropika dan OMPF tanpa pengawasan dokter maupun apoteker dapat merugikan kesehatan masyarakat (9). Selain itu juga, penyelundupan prekursor untuk memproduksi obat-obatan terlarang masih marak terjadi di Indonesia (11).
Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan suatu perusahaan berbadan hukum yang memperoleh izin dalam proses pengadaan, pelaksanaan penyimpanan, hingga proses penyaluran obat dan/atau bahan obat dengan jumlah yang besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan PBF cabang adalah bagian dari perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan oleh PBF pusat dalam menjalankan kegiatan pengadaan, penyimpanan, hingga proses penyaluran obat dan/atau bahan
obat dalam jumlah besar yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (12).
PBF Pusat maupun PBF Cabang hanya dapat melakukan penyaluran obat psikotropika dan OMPF berdasarkan dari surat pesanan yang dibuat dan ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab, Apoteker pemegang SIA, atau tenaga teknis kefarmasian (TTK) sebagai penanggung jawab dari toko obat. Ketentuan untuk surat pesanan psikotropika dan OMPF harus berdasarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Surat pesanan yang dibuat harus mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK (13). Pemesanan oleh lembaga ilmu pengetahuan dapat dikecualikan yaitu surat pesanan hanya perlu ditandatangani oleh pimpinan lembaga ilmu pengetahuan. PBF Cabang hanya boleh menyalurkan psikotropika dan OMPF di wilayah provinsi sesuai izinnya (13,14).
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) merupakan pedoman dalam melaksanakan proses penyaluran dan pendistribusian obat atau bahan obat sehingga mutu poduk dapat terjamin sepanjang jalur distribusi (13). Penerapan CDOB ini bersifat sukarela akan tetapi PBF Farmasi harus mampu menerapkannya agar produk yang didapatkan oleh pasien memiliki mutu yang sama dengan yang dikeluarkan dari industri farmasi (15).
Berdasarkan hal di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan pelaksanaan CDOB penanganan dan penyaluran produk khusus psikotropika dan OMPF di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya berjalan sesuai dengan regulasi internal dan regulasi pemerintah sehingga dapat dijadikan monitoring dan evaluasi berkala untuk mempertahankan dan memastikan mutu obat yang akan disalurkan tetap terjaga dengan baik.
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian observasional deskriptif dengan metode survei dengan melakukan daftar cek (ceklis) berdasarkan kesesuaian aspek-aspek pada CDOB terkait produk khusus Psikotropika dan OMPF, regulasi internal yaitu SOP No XX/XX-XX/PSI/SOP perihal Penanganan Barang Psikotropika dan SOP No XX/XX-XX/PRE/SOP perihal Penanganan Obat Mengandung Prekursor Farmasi, serta wawancara langsung kepada Apoteker Penanggung Jawab (APJ). Kemudian dilakukan pengolahan data dengan ceklis telah dilakukan. Kemudian dilakukan pengumpulan berupa informasi tentang aspek CDOB pada penanganan produk khusus psikotropika dan OMPF berdasarkan PerBPOM Nomor 6 Tahun 2020 terkait Cara Distribusi Obat yang Baik pada Bab XII terkait dengan Ketentuan Khusus Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Dalam pengolahan data digunakan informasi aspek CDOB penanganan Psikotropika dan OMPF yang meliputi pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan dokumentasi. Analsis data dilakukan menyusun dan menyajikan data dalam bentuk tabel dan kalimat. Penelitian dilakukan di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya pada bulan Mei 2022.
Penanganan produk khusus psikotropika dan OMPF di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya dilaksanakan berdasarkan regulasi internal yaitu SOP No 2 SOP No XX/XX-XX/PSI/SOP perihal Penanganan Barang Psikotropika dan SOP No XX/XX-XX/PRE/SOP perihal Penanganan Obat Mengandung Prekursor Farmasi, serta pedoman CDOB Bab XII tentang Ketentuan Khusus Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Berikut merupakan tabel 1 hasil observasi penanganan produk khusus psikotropika dan OMPF di PBF “X” di Kota Tasikmalaya berdasarkan kedua pedoman tersebut.
Tabel 1. Hasil observasi penanganan produk khusus psikotropika dan OMPF
Pengadaan
PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya memiliki Prosedur Operasional Baku (POB) terkait pengadaan. Pengadaan produk khusus psikotropika dan OMPF telah sesuai yaitu dengan menggunakan format khusus surat pesanan yang telah ditetapkan. Prosedur pengadaan ini bertujuan untuk memastikan produk farmasi berasal dari pemasok yang telah terkualifikasi (16).
Kegiatan pengadaan psikotropika dan OMPF yang dilaksanakan di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya merupakan pengadaan tidak langsung kepada Principal melalui kantor pusat. Dokumen permintaan pembelian yang dibuat cabang terdiri atas Surat Pesanan (SP) dan Purchase Request (PR). Adapun dokumen PR merupakan bentuk permintaan pembelian yang diajukan Cabang ke Departemen Logistik Kantor Pusat untuk diteruskan ke Principal. Dokumen PR juga dibuat terpisah untuk pemesanan psikotropika dan prekursor. Berdasarkan POB internal PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya, penanganan barang psikotropika dan OMPF dikelompokkan berdasarkan: 1). Permintaan Pembelian oleh Kantor Cabang; 2) Pemesanan Barang ke Principal. 3) Penerimaan Barang Psikotropika di Gudang Cabang.
Penyimpanan
Berdasarkan regulasi pemerintah dalam PMK No. 3 Tahun 2015 dan CDOB tahun 2020, penyimpanan psikotropika harus memiliki gudang, ruangan, atau lemari khusus yang memiliki akses terbatas dengan sistem penguasaan oleh Apoteker Penanggung Jawab dan memiliki pemegang dua anak kunci oleh personil yang berbeda. Sedangkan pada penyimpanan OMPF dapat dilakukan dengan menyimpan barang pada area terlokalisir, aman, dan mudah diawasi oleh penanggung jawab, yang tidak harus disimpan dengan pengaturan seperti psikotropika (3,13). Personel yang bertugas harus dapat memahami peran dan bertanggung jawab dalam penerapan CDOB di fasilitas distribusi (17). Produk psikotropika dan prekursor sangat memerlukan perhatian khusus dalam penyimpanannya (18).
PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya memiliki POB terkait penyimpanan psikotropika dan OMPF. Pada POB tersebut dijelaskan dalam proses pengelolaan ruang penyimpanan, personil gudang harus memastikan kondisi ruangan bersih, rapi, terkunci dan disimpan pada suhu yang seharusnya, serta memeriksa stok secara akurat (19). Penyimpanan
yang dilakukan menggunakan sistem first expired first out (FEFO) dimana pada sistem
ini produk yang memiliki waktu kadaluwarsa lebih awal harus dikeluarkan lebih dulu dari
stok (20), hal ini bertujuan agar menjamin tidak ada produk kadaluwarsa di gudang
penyimpanan (21). Selain itu, dalam upaya pengendalian stok PBF PT “X” rutin
melaksanakan stock opname setiap sebulan dan triwulan. Stock opname merupakan
kegiatan untuk mencocokkan data barang pada sistem dengan fisik barang yang
tersedia. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kehilangan, kekosongan, atau
kelebihan barang (22).
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya
dapat diketahui sistem penyimpanan psikotropika dan OMPF sebagai berikut:
a) Terdapat ruang khusus penyimpanan psikotropika dan ruang khusus
penyimpanan OMPF.
b) Akses masuk ke ruangan psikotropika dan OMPF dibatasi. Terdapat dua anak
kunci dengan penguasaan oleh Apoteker Penanggung Jawab dan Kepala
Gudang.
c) Terdapat personil Tenaga Teknis Kefarmasian yang diberikan delegasi untuk
memegang kunci oleh Apoteker Penanggung Jawab yang dapat dibuktikan
dengan surat delegasi beserta keterangan tanggal efektif pendelegasian
yang terletak di depan pintu ruangan.
d) Terdapat lemari khusus bad stock yang berikan penanda.
e) Terdapat kartu stock untuk masing-masing bets barang good stock
f) Terdapat jadwal stock opname yang dilakukan setiap minggu
g) Terdapat jadwal pemeriksaan suhu sebanyak tiga kali sehari oleh personil
gudang yang diberikan delegasi.
h) Terdapat fasilitas alat penunjang lainnya seperti APAR, pest control, dan alat
kebersihan, serta dilakukan monitoring kondisi APAR dan pest control. Selain
itu, dilakukan juga ceklis kebersihan oleh personil gudang yang diberikan
delegasi.
Penanganan terkait suhu di ruang penyimpanan psikotropika dan OMPF juga telah
diatur dalam PerBPOM No. 6 Tahun 2020 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik.
Berdasarkan regulasi produk khusus psikotropika dan OMPF harus disimpan sesuai
suhu penyimpanan yang dipersyaratkan oleh principal. Pengecekan suhu harus
dilakukan secara berkala minimal 3 kali dalam sehari dan dilakukan evaluasi terhadap
hasil pemantauan suhu (23). Berdasarkan hasil observasi, PBF PT “X” di Kota
Tasikmalaya telah mengimplementasikan peraturan tersebut melalui POB yaitu dengan
melakukan pemeriksaan suhu dilakukan minimal tiga kali sehari pada pukul 08.00,
12.00, dan 15.00 WIB oleh personil gudang yang telah diberikan delegasi. Kondisi
penyimpanan yang dipersyaratkan untuk produk khusus Psikotropika maupun OMPF
adalah di suhu 15-30°C, sehingga untuk menjaga kondisi barang tetap baik, personil
gudang memastikan suhu ruangan tetap berada dalam rentang 20°C hingga 25°C.
Selain itu, penyimpanan harus dapat melindungi produk dari paparan cahaya matahari
langsung (24,25).
Ketentuan penanganan produk reject telah sesuai dengan regulasi pada CDOB yaitu
sistem penyimpanan dibuat terpisah dan diberikanstatus, sehingga dapat
mencegah ketercampuran antara barang bad stock dan good stok, serta menjaga keamanan barang agar tidak hilang (24). Berdasarkan hasil observasi di Gudang PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya, penyimpanan barang bad stock produk psikotropika dan OMPF dilakukan dengan cara disimpan dalam lemari terpisah yang dilengkapi kartu stok. Lemari bad stock ditempatkan di dalam ruang psikotropika sehingga penyimpanannya masih dalam pengawasan Apoteker Penanggung Jawab, Kepala Gudang, dan Personil yang diberikan delegasi (26).
Barang dengan status recall, kadaluarsa, rusak, maupun kembalian disimpan dan diberikan label yang jelas hingga adanya keputusan untuk retur ke principal. PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya tidak melakukan pemusnahan terhadap barang bad stock melainkan retur ke principal secara berkala minimal satu bulan sekali.
Penyaluran
Terdapat POB terkait penyaluran produk khusus psikotropika dan OMPF. Dilakukan analisis kesesuaian penanganan penyaluran dengan pemeriksaan arsip surat pesanan, surat penolakan pesanan, dan faktur penjualan untuk produk psikotropika dan OMPF. Adanya POB yang dibuat serta diperbaharui secara berkala sesuai dengan perkembangan IPTEK farmasi dan ketentuan perundang-undangan merupakan langkah konkrit penerapan CDOB di suatu PBF (27)
Dokumen penyaluran psikotropika dan OMPF meliputi surat pesanan, surat penolakan pesanan, faktur penjualan. Dokumen tersebut diarsipkan terpisah dari dokumen produk lain dan telah disusun berdasarkan nomor urut atau tanggal penyaluran, serta diberi cap khusus produk psikotropika (cap PSI) dam produk OMPF (cap PRE OOT).
PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya bertanggung jawab terhadap pengiriman psikotropika atau OMPF hingga diterima oleh pemesan. Bukti pengiriman psikotropika dan OMPF terdokumentasi melaui surat pengantar pengiriman barang yang telah dilengkapi nama, nomor SIPA, tanggal penerimaan, tanda tangan penanggung jawab, dan stempel sarana (3).
Penanggung jawab sarana dapat merupakan apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau fasilitas distribusi. Pada pelaksanaan di lapangan terdapat penerimaan psikotropika atau OMPF oleh pihak yang didelegasikan yaitu bisa diterima oleh apoteker lain yang memiliki SIPA di fasilitas tersebut atau tenaga teknis kefarmasian (TTK) yang memiliki SIPTTK di sarana tersebut. Berdasarkan regulasi hal ini diperbolehkan dengan syarat pendelegasian tersebut dapat dibuktikan oleh dokumen pendelegasian yang disertai dengan spesimen, dokumen tersebut dipegang oleh APJ dan tim ekspedisi sehingga dapat meminimalisir terjadinya ketidaksesuaian penerima (3,28).
Analisis kewajaran pesanan psikotropika dan OMPF dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
Dalam upaya utuk melakukan analisis kewajaran pesanan psikotropika dan OMPF dari outlet, PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya mengeluarkan surat edaran yang mengatur terkait konfirmasi pesanan psikotropika dan OMPF. Dalam surat edaran ini dinyatakaan konfirmasi wajib dilakukan untuk kriteria pesanan sebagai berikut:
Setiap konfirmasi yang dilakukan ditulis di logbook konfirmasi oleh Apoteker Penanggung jawab. Konfirmasi yang dilakukan meliputi untuk memastikan produk tidak disalahgunakan. Jika dirasa hasil konfirmasi tidak cukup maka APJ fasilitas distribusi berhak untuk menolak pesanan, ataupun hanya memberikan sebagian. Selain itu, untuk menyakinkan keputusan yang diambil, APJ PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya sesekali melakukan visit bersama tim PBF PT “X” ke outlet yang melakukan pemesanan di atas batas wajar. Selain itu, selama proses distribusi berlangsung harus dapat menjamin mutu terjamin, oleh sebab itu personalia yang melakukan ekspedisi harus memiliki pengetahuan yang baik dan telah mendapatkan pelatihan sebelumnya (30).
Dokumentasi
Terdapat POB yang mengatur terkait proses dokumentasi di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya, meliputi dokumentasi pengelolaan surat pesanan yang tidak dapat digunakan, kartu stock, surat pesanan, faktur pembelian, dan faktur penjualan psikotropika dan OMPF yang harus disimpan terpisah dari dokumen obat lain serta diarsipkan selama minimal sepuluh (10) tahun. Setelah habis masa simpannya, dokumen tersebut harus dimusnahkan. Kegiatan dokumentasi yang dilakukan telah sesuai dengan regulasi yang berlaku yaitu dokumen minimal disimpan selama tiga (3) tahun dan mudah ditelusuri sehingga dapat memastikan mutu obat tetap terjaga sepanjang kegaiatan distribusi (13,31). PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya juga memiliki POB pencatatan dan pelaporan, yaitu meliputi pencatatan terkait psikotropika dan OMPF yang dilakukan secara tertib dalam kartu stok dan pelaporan yang terdiri dari pelaporan internal pengadaan dan penyaluran psikotropika dan OMPF setiap bulan dan pelaporan eksternal penyaluran psikotropika OMPF setiap bulan dan triwulan kepada Kemenkes dan BPOM.
Sarana Transportasi
Kendaraan digunakan dalam kegiatan distribusi dan penyaluran obat telah dilaporkan oleh PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya ke Balai Besar/Balai POM setempat. Transportasi yang digunakan harus dapat menjamin mutu produk. Beberapa standar yang harus diperhatikan adalah kelayakan dari armada yang diguanakan, tempat penyimpanan sediaan khusus, dan personil yang memahami prosedur pengelolaan produk (32). Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjamin mutu produk dalam armada adalah dengan mengisi ruang kosong dalam kardus, sistem penataan obat dalam
kendaraan dengan menggunakan first in last out sehingga memudahkan dalam pengeluaran barang, adanya sistem keamanan pada kendaraan berupa kunci agar mencegah kehilangan barang, serta terdapat pelindung kendaraan berupa cover mobil atau box motor yang dapat diguanakan pada saat hujan atau cuaca sangat terik (33).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil implementasi kepatuhan pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) produk khusus Psikotropika dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi (OMPF) di PBF PT “X” di Kota Tasikmalaya telah terlaksana dengan sangat baik sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.
1. Azmiyati SR. Gambaran penggunaan napza pada anak jalanan di Kota Semarang. J Kesehat Masy. 2014;9(2):137–43.
2. Masruri Muchtar, Romadhoni & KAA. Tantangan dan Strategi Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Di Masa Pandemi Covid19. J Perspekt BEA DAN CUKAI. 2020;4(2):111–122.
3. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.
4. Alfath TP, Anita K. Rejuvenasi Peraturan Pengelolaan Prekursor : Ratio Legis dan Efektivitas. 2022;(January):107–32.
5. Ida Bagus Gede Bawa Mahaputra AASLD dan LPS. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. J Analog Huk. 2022;4(3):311–5.
6. Abosi O, Lopes S, Schmitz S, Fiedorowicz G, City I, City I, et al. HHS Public Access. 2019;36(1):1–27.
7. Zuo S, Fries BE, Szafara K, Regal R. Valproic Acid as a potentiator of metabolic syndrome in institutionalized residents on concomitant antipsychotics: fat chance, or slim to none? Vol. 40, P & T : a peer-reviewed journal for formulary management. United States; 2015. p. 126–32.
8. Bryant Nicholas Joshua Kotambunan IS& FJMMK. Tindak Pidana Prekursor Narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia. Lex Crim. 2021;10(3):247–56.
9. Kaferin E, Pakereng MAI. Analisis Penyaluran Produk Prekursor di PT Tri Sapta Jaya Palangka Raya pada Wilayah Kalimantan Tengah. 2022;6(September):702–10.
10. Romadhoni MM& KAA. Tantangan dan Strategi Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Di Masa Pandemi Covid19. J Perspekt BEA DAN CUKAI. 2020;4(2):111–122.
11. Haksama S, Farid Dimjati Lusno M, Setyowati A, Wulandari A, Nugroho B, Roesli M, et al. Criminal liability by the pharmaceutical industry on the use of precursors for illicit narcotics in Indonesia: A review. Int J Criminol Sociol. 2020;9(3):1782–8.
12. Depkes RI. Permenkes No. 14 Tahun 2021. 2021;(316).
13. BPOM. PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 6 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 9 TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. 2020;1–94.
14. Kemenkes RI. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
15. Supriyanta J, El-Haque GA, Lestari T. Evaluasi Pelaksanaan Cara Distribusi Obat Yang Baik (Cdob) Di Apotek Wilayah Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. J Farmagazine. 2020;7(2):14.
16. Mudin N. Penjaminan Mutu dalam Pendistribusian Sediaan Farmasi. Farmasetika.com (Online). 2018;3(1):1.
17. Asyikin A. Studi Implementasi Sistem Penyimpanan Obat Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Sejati Farma Makassar. Media Farm. 2018;14(1):85.
18. Lumenta J, Wullur A., Yamlean P. Evaluasi Penyimpanan Dan Distribusi Obat Psikotropika Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. Pharmacon. 2015;4(4):147–55.
19. Yusuf B, Avanti C. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan Implementasinya oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Kota Banjarmasin-Banjarbaru Tahun 2019. J Pharmascience. 2020;7(2):58.
20. Kristanti MW, Ramadhania ZM. Evaluasi Kesesuaian Sistem Penyimpanan Obat, Suplemen, dan Kosmetik Eceran pada Salah Satu Gudang Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Jakarta Pusat. Maj Farmasetika. 2020;5(2):49.
21. Hadriyati A, Sanuddin M, Ananda D, Studi Farmasi P, Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu Jambi S, Prodi Farmasi D, et al. Pelaksanaan Cara Distribusi Obat Yang Baik Di Pedagang Besar Farmasi X Di Kota Jambi Implementation of Good Drug Distribution Practice At Pharmaceutical Wholesalers X in the City of Jambi. J Dunia Farm. 2021;6(1):21–5.
22. Wahyu Widhiarso ER. ANALISIS PENYEBAB KETIDAKCOCOKAN STOCK OPNAME KOMPONEN SPAREPART DI GUDANG SPAREPART. J Radial. 2022;10(1):181–91.
23. Wijaya M, Chan A. Evaluasi Pelaksanaan Cara Distribusi Obat di PBF Rajawali Nusindo. J Dunia Farm. 2019;2(3):148–59.
24. Putra Nugraha AD, Hendra K, Gelgel Wirasuta IMA. the Implementation Study of Storing and Reporting of Narcotics and Psychotropics At Pharmacies in Denpasar City, Bali Province. J Pharm Sci Appl. 2021;3(1):13.
25. Kemenkes RI. Farmakope Indonesia, Edisi V. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.
26. Hutapea EE, Musfiroh I, Studi P, Apoteker P, Farmasi F, Padjadjaran U. EVALUASI SISTEM PENYIMPANAN OBAT DI SALAH SATU GUDANG PEDAGANG BESAR FARMASI (PBF) DI KOTA BANDUNG. Farmaka. 2021;18(February):53–9.
27. Ade A, Putra P, Hartini YS, Yustina K:, Hartini S, Farmasi M, et al. Implementasi Cara Distribusi Obat Yang Baik Pada Pedagang Besar Farmasi Di Yogyakarta. J Farm Indones. 2012;6(1):48–54.
28. Wulandari S, Mustarichie R. Upaya Pengawasan BPOM di Bandung Dalam Kejadian Potensi Penyalahgunaan Obat. J Farmaka Unpad. 2017;15(4):1–8.
29. BPOM RI. Peraturan BPOM No 24 tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat dan Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. Bpom Ri. 2019;11(88):1–16.
30. Cvetanovski F, Kocev N, Tonic-Ribarska J, Trajkovic-Jolevska S. Good Distribution Practice in preserving the integrity and safety of the supply chain of pharmaceuticals. Maced Pharm Bull. 2020;66(03):193–4.
31. Agustyani, V., Utami, W., Sumaryono, W., Athiyah, U., & Rahem A. Evaluasi Penerapan CDOB sebagai Sistem Penjaminan Mutu pada Sejumlah PBF di Surabaya. J Ilmu Kefarmasian Indones. 2017;15(1):70–6.
32. Sykes C. Time- and Temperature-Controlled Transport: Supply Chain Challenges and Solutions. P T. 2018 Mar;43(3):154–70.
33. Quick DJ, Embrey M, Clack M, Olson C BA. MDS-3: Magaing access to medicines and health technologied. Arlington V, editor. Parmacutical management; 2012.
https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/44089/0
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.