Majalah Farmasetika, 6 (5) 2021, 421-435 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v6i5.35705
Artikel Review
Download PDF
M. Ramadhan Saputro*,1, Yoga Windhu Wardhana2, Nasrul Wathoni2
1Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Bandung, Sumedang 45363, Indonesia.
2Departemen Farmasetika dan Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran Bandung, Sumedang 45363, Indonesia
*E-mail: ramadhanputro@gmail.com
(Submit 13/09 /2021, Revisi 17/09/2021, Diterima 19/10/2021, Terbit 10/12/2021)
Produk obat yang diproduksi harus dilakukan pengujian stabilitas guna untuk mengetahui umur simpan dan jalur degradasi suatu obat. Produk obat seperti hidrogel sangat rentan terjadi penurunan mutu kualitas karena bahan yang digunakan banyak mengandung air. Menurut beberapa penelitian sediaan hidrogel umumnya terdegradasi melalui jalur kimiawi seperti oksidasi dan hidrolisis, sehingga hal ini yang dapat menurunkan kualitas sediaan hidrogel. Oleh karena itu, dari permasalahan yang dimunculkan, maka tujuan dari review artikel untuk memberikan solusi hal yang dapat meningkatkan stabilitas dari sediaan hidrogel, diantaranya dengan penambahan polimer alami maupun sintesis serta modifikasi sediaan hidrogel guna meningkatkan stabilitas sebagai sistem penghantaran obat. Bukan hanya itu pengujian stabilitas sediaan hidrogel juga akan diulas dari artikel ini seperti parameter pengujian yang dilakukan beberapa literatur seperti fisika (organoleptis, titik leleh), kimia (kandungan obat, pH) dan mikrobiologi.
Degradasi, Hidrogel, Oksidasi, Stabilitas
Pengujian stabilitas perlu dilakukan terhadap produk seperti sediaan farmasi ataupun makanan dan minuman [1,2]. Pengujian stabilitas harus dilakukan produsen sebelum produk diproduksi skala industri bahkan sampai sebelum pengajuan izin edar [1,2]. Umumnya pengujian stabilitas merujuk pada prosedur yang dikeluarkan oleh lembaga resmi obat maupun makanan yang ada di negara masing – masing, namun pengujian juga bisa merujuk sesuai dengan pedoman ICH (International Conference on Harmonisation) [3].
Hidrogel adalah satu sediaan farmasi semipadat, dengan basis yang bersifat hidrofilik [4]. Hidrogel memiliki keunggulan mudah digunakan, mudah dibersihkan, serta hidrogel juga memiliki gaya antarmolekul yang dapat mengurangi mobilitas molekul dan menghasilkan viskositas yang bagus [4]. Para peneliti beberapa tahun belakangan banyak membuat sediaan hidrogel karena salah satu kegunaannya bisa kearah medis [5, 6, 16].
Sediaan hidrogel yang sudah dibuat perlu dilakukan stabilitas untuk menjaga kualitas suatu produk bahkan menjadi salah satu syarat dalam pengajuan registrasi obat. Dalam beberapa penelitian telah menunjukan bahwa kualitas dari sediaan hidrogel dapat menurun karena mudah dalam terjadi oksidasi dan hidrolisis, hal ini disebabkan banyaknya kandungan air dalam sediaan hidrogel. Hal ini perlu dilakukan modifikasi dalam sediaan hidrogel. Oleh karena itu tujuan dari review artikel ini adalah untuk mengetahui peningkatan sediaan hidrogel dalam suatu produk obat yang akan di jelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya, serta memahami parameter uji stabilitas yang dilakukan terhadap sediaan hidrogel, pengukuran tersebut mencakup fisika (organoleptis, transisi suhu), kimia (pH, kadar obat) dan mikroba. Selain itu juga untuk mengetahui jalur degradasi sediaan hidrogel dan hal yang dapat meningkatkan stabilitas hidrogel [7,8,9].
Pembuatan artikel ini berdasarkan hasil pengumpulan jurnal penelitian sebanyak 33 jurnal (2010 – 2021) dari situs berupa Science Direct, Scopus, dengan kata kunci, “stability hydrogel”, “stability drug hydrogel”, “stability test hydrogel”, dan lain sebagainya.
Hidrogel merupakan jaringan polimer yang mengembang secara ekstensif dengan air. Nama lain dari gel hidrofilik disebut hidrogel, jaringan yang terdiri dari rantai polimer, yang di mana air adalah yang didispersikan [10]. Para peneliti mendefinisikan tentang hidrogel yang paling umum adalah jaringan polimer air yang mengembang dan saling terkait oleh reaksi sederhana dari satu atau lebih monomer [11]. Dalam kriteria hidrogel terbagi berbagai macam klasifikasi yaitu
Dalam pengaplikasiannya hidrogel sering digunakan dalam medis salah satunya, menurut Yang dkk dalam penelitiannya berguna sebagai penyembuhan luka, dapat diamati hidrogel yang terkandung dari PVA / kitosan / gliserol hidrogel dibuat dengan iradiasi diikuti dengan freeze-thawing, aplikasi hidrogel berhasil digunakan sebagai bahan pembalut dalam perawatan medis untuk luka bakar dan luka karena lingkungan yang basah dapat meningkatkan penyembuhan luka proses [5,16].
Aplikasi lainnya hidrogel juga dapat digunakan sebagai pembalut luka, menurut Roy dkk dalam studi stabilitas hydrogel sebagai obat baru untuk pembalut luka bahwa hydrogel dengan basis PVP-CMC dan PVP-CMC-As. borat sudah ada terbukti bermanfaat dan efektif dari segi perawatan kesehatan dilihat dan sangat menjanjikan, ramah pengguna, dan aman untuk digunakan sebagai bahan pembalut luka [6, 17]. Aplikasi hidrogel dapat digunakan juga untuk sistem pengantaran obat ke mata [18], modifikasi dilakukan dengan polimer poli (laktida – co – gycolide) (PLGA) yang dibentuk secara nanopartikel [18], karena ukuran partikel akan berpengaruh terhadap jumlah yang diserap, laju pelepasan obat, biokompatibilitas, dan kemampuan partikel untuk menembus jaringan [18,19]. Aplikasi lainnya juga hidrogel digunakan untuk penghantaran obat target ke usus besar [20], kombinasi antara polimer kitosan [20, 21] dan poli asam akrilat (PAA) [20, 22] dalam sistem penghantaran obat yang ditargetkan pada usus besar telah menarik minat yang cukup besar karena sinergi antara polimer ini dapat menawarkan solusi baru untuk perawatan yang ditargetkan pada usus besar [20,23]. Pada aplikasi hidrogel yang dibuat dalam bentuk film bukal yang digunakan sebagai antibiotik untuk penyakit infeksi [24], hal ini menjadi modifikasi baru dalam sediaan hidrogel yang lebih efektif digunakan untuk infeksi lokal pada mulut [24]. Antibiotik yang digunakan doksisiklin dalam bentuk film bukal yang memiliki aktivitas farmakologi baik untuk efek lokal [24, 25] seperti dalam kondisi stomatitis [26], mucositis oral [27], dan periodontitis [28].
Stabilitas produk farmasi adalah suatu tahapan yang bertujuan untuk menjaga kapasitas suatu bahan obat atau produk obat untuk tetap berada dalam spesifikasi yang ditetapkan yaitu berupa identitas dari produk, kekuatan, kualitas, dan kemurniannya selama periode pengujian [3]. Studi stabilitas merupakan salah satu langkah terpenting dalam perkembangan proses obat karena dapat menjamin identitas, potensi, dan kemurnian bahan serta produk yang diformulasikan sampai mengetahui umur simpan suatu produk [3]. Stabilitas produk farmasi tergantung faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, dan kelembaban. Uji stabilitas terbagi menjadi 2 yaitu ada dipercepat (suhu dan kelembaban ekstrim) dan jangka panjang (sesuai kondisi produk) [1, 29].
Dalam proses pengujian stabilitas ada yang disebut stabilitas dipaksa atau nama lainnya adalah stress stabilitas [1, 2]. Uji stress stabilitas pada bahan obat dapat membantu mengidentifikasi kemungkinan produk degradasi [1, 30], sehingga dapat membantu mengetahui jalur degradasi [1, 30]. Metode stabilitas stress dilakukan dengan cara meningkat suhu 10°C (misalnya, 50°C, 60°C, dll), kelembapan (misalnya, 75% RH atau lebih tinggi) di mana dapat terjadi oksidasi, dan fotolisis pada bahan obat [1, 30]. Pengujian juga harus mengevaluasi kerentanan zat obat terhadap hidrolisis [1,30]. Pengujian fotostabilitas harus sesuai dengan pedoman ICH Q1B [30]. Pemeriksa produk degradasi dalam kondisi stress berguna dalam penetapan jalur degradasi dan mengembangkan serta memvalidasi prosedur analitis yang sesuai [1]. Parameter uji yang digunakan dalam uji stabilitas yaitu secara fisika (penampilan, organoleptis), kimia (pH), mikrobiologi, teraupetik, toksikologi [1,7]. Tujuan studi stabilitas adalah untuk menetapkan produk obat umur simpan dan petunjuk penyimpanan padayang berlaku untuk semua batch produk obat yang diproduksi dan dikemas dalam keadaan serupa [1].
Pengujian stabilitas pada sediaan hidrogel sangat perlu dilakukan karena adanya risiko ketidakstabilan mungkin timbul dalam formulasi hidrogel yang banyak mengandung air [31]. Namun, sejauh ini telah dilakukan beberapa penelitian yang hanya fokus pada evaluasi formulasi hidrogel dalam penghantaran obat secara transdermal [31, 35]. Dalam stabilitas hidrogel juga perlu mengetahui jalur degradasi sediaan hidrogel, struktur molekul obat yang beragam dapat memungkinkan terjadinya jalur degradasi seperti hidrolisis, oksidasi, fotodegradasi, isomerisasi, polimerisasi dan eliminasi [32]. Sediaan hidrogel yang mengandung banyak air terdegradasi mengikuti mekanisme kinetika seperti sediaan larutan yang banyak mengandung air [32]. Degradasi sediaan hidrogel umumnya melalui jalur secara kimiawi [33]. Penelitian yang dilakukan Kim dkk, bahwa jalur degradasi melalui kimia bisa terjadi karena dalam studi ini penggunaan bahan tambahan yang mengandung asam arylborinic sangat rentan terjadi oksidasi oleh O¬¬2 [34]. Dalam suhu tinggi hidrogel yang mengandung asam metacrilamidophenilboronic (MPBA) dapat terjadi oksidasi sedangkan hidrogel yang mengandung acrylamide (AAm) dapat terjadi degradasi secara hidrolisis [33].
Stabilitas hidrogel nanopartikel yang dilakukan lebih terhadap stabilitas fisika (organoleptic dan viskositas) dan kimia (kandungan obat) [36], karena nanopartikel sesuai dengan tujuan penggunaan meningkatkan bioavaibilitas dan kelarutan obat sehingga perlu dilakukan pengujian tersebut [36]. Sedangkan hidrogel yang berbasis polisakarida, perlu dilakukan uji stabilitas mikrobiologi [37], sebab sifat polisakarida yang sifatnya alami dan riskan terjadi pertumbuhan bakteri sehingga hal tersebut yang perlu dilakukan selain uji secara fisika dan kimia [37].
Sediaan hidrogel dipertimbangkan untuk digunakan pada alat kesehatan, hal ini perlu diketahui daya tahannya untuk penggunaan yang aman. Daya tahannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan seperti perubahan secara fisika, kimia dan mikrobiologi di mana material tersebut disimpan [7]. Pengujian stabilitas dapat di ukur melalui instrumen DSC untuk melihat geseran titik leleh, dari instrument tersebut dapat digunakan untuk salah satu parameter uji stabilitas untuk sediaan hidrogel [9].
Studi penelitian dari patlolla dkk, menunjukkan bahwa pengujian stabilitas juga dapat digunakan dengan parameter FTIR untuk melihat gugus fungsi yang hilang selama preparasi. Materi ini akan dijelaskan lebih rinci di bab selanjutnya.
Dalam beberapa tahun terakhir pengujian stabilitas dilakukan dalam periode waktu dan kondisi yang bervariasi seperti hanya stabilitas di percepat [9, 31, 36], jangka Panjang [37] dan kombinasi dipercepat dan jangka panjang [36]. Namun pengujian tetap dilakukan tiga parameter yaitu fisika [8, 9], kimia [31, 38], mikrobiologi [39].
Pengujian stabilitas produk obat dengan parameter fisik adalah hal utama yang dilihat dalam stabilitas obat. Dalam penelitian Roy (2011) dalam pengujian stabilitas dengan berbagai macam suhu yaitu 5 °C + 2 °C, 22 °C + 3 °C, dan 40 °C masing – masing selama 3 bulan. Hasil menunjukan bahwa hidrogel yang mengandung PVP-CMC-asam borat menjadi benar-benar kering dan rapuh, serta asam borat keluar karena akibat dari pengaruh suhu. Proses pengeringan hidrogel menjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, dan selama pengeringan air yang menguap dari hidrogel dalam waktu tertentu, BA terlarut mencapai kejenuhannya dan mengkristal kembali sehingga nampak bintik putih [40]. Telah diamati bahwa, di kasus hidrogel PVP-CMC, sampai percobaan berakhir tidak ada perubahan warna yang signifikan, tetapi dalam kasus PVP-CMC- asam borat, pada 40 °C, dari 90 hari dan seterusnya bintik putih asam borat muncul dan menyebar seperti jaringan di seluruh hidrogel. Ini muncul karena, pada suhu yang lebih tinggi, hidrogel mulai kehilangan air dan asam borat mulai terlihat jenuh.
Adapun dari Pereira dkk melakukan studi perkembangan obat baru film hidrogel dengan basis alginate untuk penyembuh luka. Mereka menguji secara termodinamika menggunakan instrumen DSC, analisis DSC dilakukan tidak hanya mengetahui titik leleh suatu produk namun juga bisa mengetahui geseran titik transisi titik leleh suatu zat [41]. DSC memiliki keunggulan dibandingkan melting point apparatus karena DSC dapat mengukur sifat termoplastik yang penting termasuk titik leleh, kalor peleburan, karakterisasi kristalin. Stabilitas termal perlu juga digunakan instrumen TGA guna untuk mengkonfirmasi hasil dari DSC tersebut [9,42]. Analisis gravimetri termogravimetri (TGA) adalah jenis pengujian yang dilakukan pada sampel untuk menentukan perubahan bobot dalam kaitannya dengan perubahan suhu [42]. TGA umumnya digunakan pengujian untuk menentukan karakteristik bahan seperti polimer, untuk menentukan suhu degradasi, penyerapan kadar air dalam bahan, tingkat komponen organik dan anorganik dalam bahan, dan pelarut residu [42].
Pengujian evaluasi stabilitas dilakukan oleh Djekic dkk (2018) dengan uji stabilitas dipercepat selama 1 bulan dan jangka Panjang selama 3 bulan. Untuk uji dipercepat, sampel hidrogel dilakukan dalam suhu yang berbeda yaitu kondisi ambien (24 jam pada 20 ± 3°C), dalam lemari es (24 jam pada 5 ± 3°C) dan dalam termostat (24 jam pada suhu 40 ± 1°C), lebih dari 10 siklus selama 1 bulan, evaluasi yang dilakukan berupa pemeriksaan organoleptic pemeriksaan (warna, bau, homogenitas, dan konsistensi) [31]. Berbeda dengan uji stabilitas jangka panjang dalam kondisi ambien pada 20 ± 5°C selama 3 bulan. Pengukuran dilakukan secara berkala, setelah 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan bulan, sampel dikarakterisasi dengan menerapkan hal yang sama metode yang digunakan dalam uji dipercepat. Selain itu, untuk penguatan status obat di hidrogel setelah 1 bulan penyimpanan dalam uji percepatan dan uji jangka panjang, itu menggunakan uji sentrifugasi, mikroskop cahaya, dan differential scanning calorimetry [31].
Stabilitas produk juga perlu dilakukan secara kimia seperti pada penelitian Qindeela dkk (2019) yang berjudul pengembangan obat baru hidrogel yang mengandung pH sensitif untuk pengantaran obat transdermal. Mereka melakukan studi stabilitas hidrogel sesuai dengan pedoman menurut pedoman ICH [1], Studi stabilitas dipercepat dilakukan di suhu 40°C ± 2°C dan kelembaban relatif 75% ± 5% untuk selama 6 bulan (0, 1, 3, dan 6 bulan), hidrogel yang di evaluasi bukan hanya fisik namun kimia seperti pH dan kandungan obat juga diukur. Pengukuran pH hidrogel sebaiknya bersifat asam kuat, karena pH dari kulit normal berada dalam kisaran asam 4 – 6 kebanyakan 5,5, sehingga formulasi yang memiliki pH dalam kisaran ini dianggap ideal untuk digunakan disampaikan melalui kulit [43]. Kandungan obat adalah hal utama yang dilakukan untuk proses stabilitas, karena akan berhubungan terhadap efek terapi yang di miliki oleh suatu sediaan obat terutama hidrogel [44].
Sebelum pengujian stabilitas hidrogel penting juga dilakukan karakterisasi secara kimia seperti fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR), instrumen tersebut berfungsi untuk menafsirkan hasil berupa gugus fungsi [45]. Dalam aplikasinya karakterisasi kimia menggunakan FTIR yang dilakukan oleh Pereira dkk sangat penting untuk mengenali kelompok kimia yang ada di dalamnya struktur kimia, serta untuk menyelidiki kemungkinan terbentuknya interaksi kimia antar senyawa atau ada hilangnya gugus fungsi suatu sediaan [9].
Produk obat khususnya sediaan farmasi akan lebih berkualitas jika melakukan pengujian mikrobiologi [1], apalagi produk steril [37]. Dalam uji stabilitas mikrobiologi aplikasinya dilakukan oleh Fleck dkk dengan menggunakan analisis mikrobiologi dengan metode total viable count (bakteri dan jamur) dan menentukan patogen spesifik (Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus). Kriteria penerimaan mengikuti spesifikasi U.S. Pharmacopoeia [46], direkomendasikan untuk produk farmasi tidak steril.
Upaya dalam melakukan peningkatan stabilitas sediaan hidrogel dapat dilakukan beberapa modifikasi dengan cara penambahan polimer. Dalam aplikasinya untuk meningkatkan stabilitas fisik hidrogel dapat ditambahkan biopolimer sebagai crosslinker yaitu gelatin metakrilat (GelMA) dan poli (laktat-etilen oksida fumarat) (PLEOF) [47]. Hasil menunjukan hidrogel yang mengandung GelMA dan PLEOF dapat meningkatkan stabilitas secara fisika dengan tingkat degradasi yang menurun dilihat dari penelitian sebelumnya dengan bukti kehilangan massa kumulatif hampir 41,2 ± 2,0% berat setelah 14 hari inkubasi [47].
Aplikasi lainnya juga untuk meningkatkan stabilitas hidrogel dengan cara penambahan polimer, pembawa nanostruktur lemak (NSL) dipengaruhi stabilitas yang buruk, sehingga ditambahkan alginate yang dapat meningkatkan stabilitas [48]. Pengukuran secara instumentasi FTIR, TEM, DLS, dan XRD tidak ada pengaruh besar pada morfologi dan struktur [48]. Sedangkan pada evaluasi stabilitas fisika dengan pengukuran ukuran partikel dengan 3 perbandingan NSL dispersi, sol-NSL-alginat dan hidrogel NSL – alginate [48], hasil menunjukan bahwa ukuran partikel hidrogel NSL- alginate hanya 100 nm sehingga dapat membatasi gerakan brown dan mencegah agregasi [49].
Meningkatkan stabilitas hidrogel dapsomisin juga dapat dengan penambahan thermosenstif biodegradable [50]. Dapat dilihat dari parameter instrument H-NMR yang dilanjut dengan HPLC – MS bahwa hidrogel yang mengandung termosensitif vinil sulfon dan asam hyaluronat dapat mempertahankan stabilitas [50]. Perbandingkan dilakukan dengan dapsomisin murni dengan dapsomisin mengandung vinil sulfon/asam hyaluronat menyatakan hasil dapsomisin murni terdegradasi lebih cepat ketimbang dengan dapsomisin yang mengandung vinil sulfon/asam hyaluronat [50].
Teknik lainnya yang dapat meningkatkan stabilitas dari hidrogel dengan cara imobilisasi nanopartikel hidrogel menggunakan polimer karboksimetil kitosan (CMCS) [51, 52], kitosan dan turunan dapat membentuk hidrogel nanopartikel [53, 54] dan salah satu matriks yang sesuai untuk enzim imobilisasi sebab kitosan memiliki luas permukaan yang tinggi untuk memuat enzim, nontoksik dan biokampaktibilitas [55]. Zat aktif yang digunakan enzim N-acetyl-glucosaminidase (DspB) sebagai antibiofilm [56], namun memiliki stabilitas yang rendah [49]. Hasil menunjukan stabilitas termal pada enzim DspB-nanopartikel (imobilisasi) menunjukan lebih stabil ketimbang enzim DspB yang mobilisasi [51], stabilitas untuk enzim DspB-nanopartikel mungkin karena beberapa molekul enzim telah masukkan ke dalam inti dari nanopartikel dapat melindungi molekul enzim. Sedangkan pada stabilitas penyimpanan pada suhu 37°C selama 7 jam enzim yang termobilisasi kehilangan hamper seluruh aktivitasnya [51], berbeda dengan enzim terimobilisasi dalam nanopartikel enzim tersebut dapat mempertahankan aktivitasnya hingga 33,4% [51]. Peningkatan stabilitas ini enzim terimobilisasi ini karena adanya beberapa interaksi seperti terbentuknya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan interaksi elektristik antara enzim DspB dengan nanopartikel [51, 57].
Metode lainnya yang dapat meningkatkan stabilitas dengan cara hidrogel dengan sistem pengantaran obat dalam bentuk nanospongs [58], bukan hanya stabilitas namun berguna memperbaiki bioavaibilitas dan sifat farmakokinetik dari zat aktif [59]. Dalam penelitian ini zat aktif digunakan lulikonazol, karena dianggap BCS kelas II [60], dengan polimer nanospongs adalah etil selulosa dan polivinil alcohol [61], serta pembuatan nanospongs dengan teknis emulsion solvent diffusion [62]. Hasil stabilitas menunjukan difusi in vitro yang disimpan pada suhu 25 + 2°C dan RH 60 + 5% selama 3 bulan menyatakan bahwa memiliki pelepasan yang baik dan tidak mengalami perubahan degradasi apapun [58]. Dapat di simpulkan bahwa hidrogel luliconazole yang mengandung nanospong stabil secara fisik maupun mekanisme pelepasan obat [58].
Adapun cara lainnya meningkatkan stabilitas dengan cara membuat hidrogel gelatin dimodifikasi hidrofobik sebagai pembawa obat yang bermuatan hidrofilik dan obat hidrofobik [63]. Meningkatnya interaksi hidrofobik yang terjadi akan membentuk ikatan silang secara fisik sehingga akan membuat peningkatan stabilitas dari hidrogel [63], dengan metode yang dilakukan membuat hidrogel modifikasi hidrofobik gelatin (MHG) yaitu dengan freeze-drying [64]. Kemudian di uji stabilitas suhu panas [63]. Hasil menunjukkan bahwa hidrogel yang tidak di modifikasi meleleh pada suhu 30°C [52], berbeda dengan hidrogel yang dimodifikasi hidrofobik gelatin tidak mencair sampai suhu 80°C [63]. Sehingga dapat disimpulkan hidrogel dimodifikasi hidrofobik gelatin meningkat stabilitas termalnya [63]. Selain itu hidrogel MHG juga potensi sebagai pembawa obat hidrofilik yang bermuatan dan obat yang bersifat hidrofobik [63]. Hasil dapat dibuktikan dengan model hidrofobik (natrium fluorescein) [65] dan angiogenesis sebagai model hidrofilik bermuatan [66], bahwa hidrogel MHG terabsorpsi pada model hidrofobik karena interaksi hidrofobik dengan natrium fluorescein tinggi [63], sedangkan pada model hidrofilik hidrogel MHG menghambat sel dari angiogenesis sebagai sel kanker [66], hail ini di sebabkan, karena gelatin dapat diikat silang dengan transglutaminase melalui transfer akril reaksi antara gugus ε-amino dari residu lisin dan kelompok γ-karboksyamid dari residu glutamin [67].
Metode encapsulasi juga salah satu yang dapat meningkatkan stabilitas dari hidrogel [68]. Quercetin senyawa yang banyak kegunaannya seperti antioksidan, antikanker, antiinflamasi dan lain – lain [69]. Namun dengan keunggulan khasiat, quercetin memiliki kelarutan yang rendah [70] dan bioavaibilitas rendah [71]. Encapsulasi didukung dengan bahan whey protein isolate (WPI) [72] dan amilopektin akar teratai [73, 74], sebab WPI telah dilaporkan memiliki kemampuan dalam sistem pengantaran obat dan keunggulannya seperti non-toksisitas, biodegradabilitas, pelepasan terkontrol, dan meningkatkan stabilitas dan bioavaibilitas [75 – 78]. Sedangkan amilopektin akar teratai (LRA) menurut penelitian sebelumnya [74], LRA menunjukkan kemampuan yang baik untuk meningkatkan pembentukan gel dari WPI. Hasil uji stabilitas penyimpanan menunjukan, quercetin yang tidak diencapsulasi mengalami penurunan drastis pada kandungannya yaitu hanya 12 % selama penyimpanan 35 hari [68], namun quercetin yang dienkapsulasi memiliki stabilitas penyimpanan lebih tinggi dengan nilai kandungan quercetin selama 35 hari berada 80 % [68]. Uji stabilitas photokimia juga menunjukan bahwa quercetin tanpa encapsulasi mengalami degradasi 90% selama 180 menit sinar UV di pancarkan [79], hal tersebut karena, degradasi cepat quercetin dapat dikaitkan dengan dekarboksilasi oksidatif pada cincin C [79], sedangkan hasil yang berbeda pada quercetin yang di encapsulasi menunjukan tidak ada quercetin terdegradasi selama 180 menit pancaran sinar UV [68, 80], hal tersebut karena pengikatan ligan antara quercetin dan protein yang membentuk kompleks sehingga melindungi dari quercetin tersebut [81].
Perubahan bentuk nanopartikel hidrogel adalah salah satu metode yg dapat meningkatkan stabilitas fisik [82]. Terbukti ekstrak capsicum (capcaisinoid) sebagai zat aktif yang memiliki sebagai obat nyeri [83] dan dibantu ekstrak Benincasa hispida (lilin labu) sebagai sistem pengiriman obat transdermal [84] serta dibantu dengan asam hialuronat sebagai agen penstabil dari nanopartikel. Penambahan ekstrak labu lilin pada capcaisinoid menurunkan toksisitas dari capcaisinoid tersebut [82, 84, 85]. Hasil stabilitas pada modifikasi ini menunjukan secara fisik yang dilakukan selama 2 bulan pada suhu 4°C, 30°C, dan 45°C terbukti stabilitas fisik meningkat [82], karena asam hialuronat yang ada terabsorpsi pada permukaan nanopartikel dapat membantu mencegah nanopartikel terjadi aglomerasi dan sedimentasi [86].
Stabilitas hidrogel dilakukan dengan parameter pengujian seperti secara fisika (organoleptis dan titik leleh), kimia (pH, kandungan obat), dan mikrobiologi. Pengujian stabilitas disarankan tetap melakukan karakterisasi seperti instrumen FTIR. Jalur degradasi dalam pengujian stabilitas juga sering secara kimia dan untuk meningkatkan stabilitas dari sediaan hidrogel dapat menambahkan polimer – polimer baik secara alami maupun sintetik serta modifikasi sediaan hidrogel sebagai sistem penghantaran obat.
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.