Majalah Farmasetika, 5 (5) 2020, 204-217 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v5i5.28082
Download PDF
Indah Pitaloka Sari1,*, Sriwidodo2
1Progarm Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 45363
2Departemen Farmasetika dan Teknologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 45363
*E-mail: indah17012@mail.unpad.ac.id
(Submit 16/6/2020, Revisi 3/7/2020, Diterima 13/8/2020)
Pada akhir tahun 2019, terjadi suatu pandemi yang berasal dari Cina tepatnya di kota Wuhan. Pandemi tersebut dikenal dengan covid-19. Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Jika dibandingkan dengan SARS pada 2003 dan MERS pada 2012, penyebaran pandemi ini jauh lebih cepat. Hingga saat ini sudah lebih dari 6,2 juta kasus positif yang dilaporkan. Sampai saat ini belum ditemukannya vaksin sebagai agen penekan penyebarannya. Pembuatan vaksin baru pada umumnya membutuhkan waktu yang lama yaitu dapat mencapai 10 tahun. Review ini bertujuan untuk membahas berbagai teknologi pembuatan vaksin dan menunjukkan teknologi yang dapat mempercepat produksi vaksin covid-19. Metode yang digunakan pada review ini adalah studi literatur secara online dengan mengakses beberapa situs jurnal internasional. Semua jenis teknologi pembuatan vaksin memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditinjau dari kecepatannya, dapat diambil kesimpulan bahwa vaksin berbasis RNA memiliki kecepatan dalam memperoleh urutan data patogen dan tidak membutuhkan kultur sehingga dapat diproduksi dengan cepat.
covid-19, vaksin, dan teknologi produksi
Pada akhir tahun 2019 muncul suatu pandemi yang berasal dari China yang dikenal sebagai Covid-19. Tidak hanya di China, pandemi tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Covid-19 disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 atau disingkat SARS-CoV-2 yang menyerang saluran pernafasan1.
SARS-CoV-2 merupakan virus RNA rantai positif yang termasuk Betacoronavirus (Beta-CoV). Selain SARS-CoV-2, terdapat beberapa virus lainnya yang termasuk ke dalam Betacoronavirus yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketiganya merupakan zoonosis yang berkaitan dengan saluran pernafasan. SARS-CoV-2 tersusun dari 29.700 nukleotida dan memiliki kemiripan sekitar 79,5% dengan SARS-CoV. SARS-CoV-2 memiliki ORF1ab pada ujung 5′ genomnya yang mengkode 15-16 protein. Sedangkan ujung 3’ nya mengkode 4 protein struktural utama, yaitu protein S (spike), N (nukleokapsid), M (membran), dan E (envelope)2. Glikosilasi protein S pada SARS-CoV-2 berperan sebagai penginduksi utama sistem imun sel inang. Protein S akan berikatan dengan reseptor angiotensin converting enzym 2 (ACE 2) pada sel inang yang secara signifikan menginisiasi proses infeksi3,4.
WHO telah menetapkan Covid-19 sebagai darurat kesehatan global5. Melihat situasi seperti ini, salah satu cara yang sangat memungkinkan untuk mencegah semakin luasnya penyebaran pandemi ini adalah dengan pengembangan pembuatan vaksin6. Vaksin tidak hanya memberikan perlindungan bagi orang-orang yang divaksinasi, tetapi juga bagi masyarakat luas dengan mengurangi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Virus SARS-CoV-2 menyebar dari manusia ke manusia. Menariknya, rantai penularan dari manusia ke manusia ini dapat terputus, bahkan jika tidak ada kekebalan 100%, hal tersebut disebut sebagai “herd immunity” atau “community protection”, yang merupakan manfaat penting dari vaksinasi7. Meskipun vaksin untuk SARS dan MERS belum ditemukan, tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya vaksin covid-19.
Pengembangan vaksin yang aman dan efektif untuk mengendalikan pandemi ini sangat penting karena diharapkan dapat menghambat penyebarannya dan mencegah terulangnya kembali di masa depan6. Selain itu, karena pandemi ini menyebar kian cepat, maka diperlukan vaksin yang dapat diproduksi dalam waktu yang cukup singkat, karena pada umumnya pembuatan vaksin memerlukan waktu bertahun-tahun. Platform teknologi untuk memproduksi vaksin berpotensi untuk mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk mengembangkan vaksin baru sampai pada tingkat keamanan dan imunogenisitas yang telah ditetapkan. Dikarenakan belum adanya penelusuran pustaka lebih lanjut mengenai teknologi pembuatan kandidat vaksin covid-19 yang berpotensi untuk cepat diproduksi, aman dan efektif untuk digunakan, padahal hal tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk beberapa perusahaan atau institusi untuk menciptakan terobosan baru vaksin covid-19, sehingga review kali ini akan menjelaskan mengenai hal tersebut.
Metode yang digunakan pada artikel review ini adalah studi literatur yang berasal dari beberapa sumber artikel internasional dengan kata kunci “covid-19”, “vaccine”, “technology”, “production”, “inactive vaccine” “attenuated vaccine”, “viral vector vaccine”, “subunit vaccine”, “DNA based vaccine”, dan “RNA based vaccine”. Penelusuran artikel-artikel ini dilakukan secara online dan diakses di Google Scholar, Sciencedirect, dan Pubmed. Artikel yang didapat yaitu sebanyak 444 artikel, namun hanya 48 artikel yang memenuhi kriteria inklusi.
Artikel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu artikel yang memiliki pembahasan mengenai kata kunci yang dimaksud dan dipublikasikan pada tahun 2008-2020. Selain didapatkan dari artikel internasional, beberapa sumber diperoleh dari 3 website resmi yaitu WHO, FDA, dan Polio Global Eradication Initiative.
Vaksin
Vaksin merupakan agen biologis yang memiliki respons imun terhadap antigen spesifik yang berasal dari patogen penyebab penyakit menular. Edward Jenner mengembangkan vaksin pertama pada 1796 yaitu menggunakan cacar sapi untuk diinokulasi terhadap cacar. Hal tersebut pada akhirnya menjadi suatu agen pemberantas cacar secara global, yang secara resmi dinyatakan pada tahun 1980. Sejak itu, vaksin telah membantu menekan penyebaran beberapa penyakit menular termasuk polio8. Vaksin merupakan sesuatu yang dianggap sebagai salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah kedokteran. Hingga hari ini, seluruh manusia hidup dalam periode pengembangan vaksin yang paling sukses9. Vaksin sudah banyak digunakan untuk mencegah berbagai macam penyakit. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan vaksin dapat digunakan untuk mencegah penyebaran covid-19, penyakit yang sekarang sedang melanda dunia1.
Target untuk vaksin covid-19 secara umum adalah protein S. Biasanya dalam proses produksi mengikutsertakan dua langkah penting yang diperlukan sebelum vaksin dibawa ke uji klinik. Pertama, vaksin diuji dalam model hewan yang tepat untuk melihat apakah itu protektif. Namun, model hewan untuk SARS-CoV-2 mungkin sulit untuk dikembangkan. Virus ini tidak tumbuh pada tikus tipe liar dan hanya menyebabkan penyakit ringan pada hewan transgenik yang mengekspresikan ACE2 manusia10.
Pengembangan vaksin untuk penggunaan manusia dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun, terutama ketika digunakannya teknologi baru yang belum pernah diujikan secara ekstensif untuk keamanan atau ditingkatkan untuk produksi massal10. Sejauh ini sudah banyak institusi atau perusahaan yang sedang mengembangkan vaksin untuk covid-19, namun belum ada kepastian sampai kapan vaksinnya dapat digunakan oleh manusia. Terdapat beberapa vaksin yang sudah masuk ke dalam tahap klinik (Tabel 1).
Meskipun banyak perusahaan telah mengumumkan bahwa vaksin COVID ‑ 19 akan segera siap, hal ini akan sangat sulit dilakukan dalam kenyataannya[12]. Alasan utamanya adalah bahwa sebelum dipasarkan, vaksin harus aman, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut sangat penting karena dalam sejarah produksi vaksin, terdapat beberapa situasi kontaminasi dengan virus lain, untungnya tanpa konsekuensi besar[9]. Alasan kedua adalah bahwa vaksin tidak hanya harus aman, tetapi juga efektif. Beberapa teknologi yang digunakan dala pembuatan vaksin sangat baru sehingga memerlukan pengujian yang lebih hati-hati.
Tidak hanya kemampuan perusahaan untuk mengembangkan teknologi, tetapi juga kapasitas produksi skala besar sehingga dapat diakses dengan cepat secara global. Penggunaan teknologi tersebut diharapkan berpotensi lebih mampu menanggapi permintaan global dalam pandemi dengan proses produksi yang lebih cepat dan kapasitas lonjakan yang jauh meningkat13.
Teknologi | Tipe Kandidat vaksin | Pengembang | Uji tahap klinik kandidat vaksin saat ini |
Vaksin berbasis vektor virus yang tidak bereplikasi | ChAdOx1-S | Oxford University/ AstraZeneca | Fase 2b/3 Fase 1/2 |
Vaksin berbasis vektor virus yang tidak bereplikasi | Adenovirus Type 5 Vector | CanSino Biological Inc./Institut Bioteknologi Beijing | Fase 2 Fase 1 |
Vaksin berbasis RNA | mRNA yang dienkapsulasi LNP | Moderna/NIAID | Fase 1-2 |
Vaksin inaktif | Inaktif | Sinopharm/Institut Produk Biologi Wuhan | Fase 1-2 |
Vaksin inaktif | Inaktif | Sinopharm/ Institut Produk Biologi Wuhan | Fase 1/2 |
Vaksin inaktif | Inaktif + tawas | Sinovac | Fase 1/2 |
Vaksin subunit protein | Nanopartikel rekombinan Full length glikoprotein SARS CoV-2 dengan Matrix M Adjuvant | Novavax | Fase 1/2 |
Vaksin berbasis RNA | 3 LNP-mRNAs | BioNTech/Fosun Pharma/Pfizer | Fase 1/2 |
Vaksin inaktif | Inaktif | Institute of Medical Biology, Chinese Academy of Medical Sciences | Fase 1 |
Vaksin berbasis DNA | Vaksin DNA plasmid dengan elektroporasi | Inovio Pharmaceuticals | Fase 1 |
Karena sampai saat ini belum ada vaksin anti-SARS‐COV‐2 yang tersedia secara komersial untuk platform yang diusulkan, lini produksi yang sama sekali baru dan mampu menghasilkan miliaran dosis dalam beberapa bulan harus dipertimbangkan. Jika dilihat dari kecepatannya produksinya, vaksin DNA dan RNA memungkinkan untuk diproduksi secara cepat. Pembuatan vaksin tersebut didasarkan pada prinsip penyisipan asam nukleat ini dalam beberapa sel yang divaksinasi, memaksanya untuk membuat protein virus imunogenik. Meskipun beberapa data terbaru tampak menggembirakan, konsep-konsep ini memiliki efisiensi yang masih dipertanyakan jika digunakan pada manusia. Vaksin dengn teknologi vektor non-replikasi sebenarnya adalah virus umum (seperti Adenovirus) yang dimodifikasi secara genetik untuk menunjukkan protein SARS-CoV pada permukaan luar. Tetapi banyak manusia telah bertemu virus tersebut sehingga sudah memiliki kekebalan dan dapat menetralisirnya sebelum vektor virus tersebut melakukan pekerjaan mereka. Kemudian untuk virus yang dilemahkan akan menjadi varian dari SARS-CoV-2 yang dibuat lebih sedikit atau tidak sama sekali patogen oleh rekayasa genetika. Diantaranya adalah yang paling imunogenik, tetapi ada risiko akan menjadi patogen setelah mutasi. Yang terakhir adalah virus yang inaktif, fragmen virus, dan peptida sintetis semuanya imunogenik yang relatif lemah14.
Jenis Teknologi Pembuatan Vaksin
Vaksin Inaktif
Vaksin inaktif digunakan selama lebih dari seabad untuk mendorong perlindungan terhadap patogen virus. Vaksin inaktif mengandung seluruh atau sebagian kecil dari bakteri atau virus yang telah terbunuh. Vaksin inaktif merupakan satu dari tiga vaksin yang berlisensi saat ini15. Teknologi inaktif dapat bervariasi berdasarkan strain virus, namun sebagian besar proses pembuatannya menggunakan formaldehid, beta-propiolactone (BPL) atau iradiasi ultraviolet16. Selain disesuaikan dengan strain virus, prosedur pembuatan vaksin menggunakan teknologi ini memerlukan fokus untuk beberapa elemen penunjangnya, seperti waktu, suhu inkubasi, buffer, konsentrasi reagen yang digunakan untuk menghasilkan produk yang fungsional17.
Salah satu vaksin yang menggunakan pendekatan teknologi ini adalah vaksin influenza. Secara komersial produk vaksin tersebut dihasilkan dari virus influenza hidup yang ditumbuhkan di telur ayam berembrio17. Selain itu, teknologi ini telah berhasil dikembangkan untuk flaviviruses lain seperti Virus demam kuning dan virus penyakit radang otak atau Japanese encephalitis18,19. Teknologi ini juga telah digunakan dalam pengembangan vaksin inaktif untuk SARS-CoV. Beberapa kelompok mengevaluasi vaksin inaktif untuk SARS-CoV dan hasilnya menunjukkan bahwa semua vaksin menginduksi serum antibodi penawar dan pengurangan yang signifikan SARS-CoV[20]. Meskipun teknologi ini mengarah pada keberhasilan pengembangan vaksin, teknologi ini memiliki kekurangan. Terdapat penelitian yang mengonfirmasi bahwa terjadinya kerusakan hemagglutinin substansial yang diakibatkan oleh formaldehid, BPL, atau iradiasi UV21,22. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan uji in vitro untuk memeriksa apakah serum imun yang diinduksi oleh vaksin inaktif akan memediasi ADE (Antibody-dependent Enhancement) dalam beberapa sel23. Selain itu, penggunaan vaksin ini juga membutuhkan dosis berulang dan/atau dosis pendorong.
Adjuvan seperti garam aluminium sering ditambahkan ke vaksin ini. Adjuvan adalah zat yang membantu memperkuat dan memperpanjang respons kekebalan terhadap vaksin. Akibatnya, reaksi lokal umum (seperti sakit pada lengan) mungkin lebih sering terjadi.
Vaksin yang dilemahkan
Sebagian besar vaksin telah dikembangkan untuk meningkatkan respons antibodi penawar anti-S, salah satunya adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan24. Vaksin yang dilemahkan termasuk ke dalam vaksin yang berlisensi saat ini, selain vaksin inaktif15. Vaksin yang dilemahkan secara langsung sangat efektif dalam memberikan perlindungan terhadap penyakit dan menghentikan penyebaran epidemi virus patogen. Salah satu contoh paling sukses, vaksin anti polio Sabin, telah digunakan untuk memberantas poliomyelitis25. Selain itu, teknologi vaksin yang dilemahkan telah diaplikasikan dalam pembuatan vaksin influenza, yaitu dengan memanfaatkan telur ayam berembrio yang dimurnikan dengan ultrasonografi gradient sukrosa. Teknologi ini sudah dikembangkan dengan baik, namun jika digunakan untuk virus jenis lain, maka harus ada pembaruan. Pembaruan tersebut beresiko mengubah komposisi produk vaksin26. Rekayasa teknologi ini juga telah digunakan dalam pengembangan genetika arah-balik untuk virus corona termasuk SARS-CoV dan MERS-CoV. Dengan metodologi ini akan terjadi penghapusan protein amplop. Virus-virus ini telah terbukti dapat menginduksi respon imun berbasis humoral dan seluler pada hamster dan tikus27. Dibalik kesuksesan dari teknologi ini, Penggunaan vaksin yang dilemahkan mempunyai beberapa resiko seperti terjadinya kembali virulensi dan cedera jaringan yang memicu terjadinya perkembangan infeksi sekunder yang lebih parah28.
Vaksin Subunit
Vaksin subunit mencakup satu atau lebih antigen (RBD, S1, dan S2) dengan imunogenisitas kuat yang mampu menstimulasi sistem imun inang secara efisien. Secara umum, jenis vaksin ini lebih aman dan lebih mudah untuk diproduksi, tetapi seringkali membutuhkan penambahan bahan pembantu untuk memperoleh respon imun protektif yang kuat. Sejauh ini, beberapa lembaga telah memprakarsai program vaksin subunit SARS-CoV-2, dan hampir semuanya menggunakan protein S sebagai antigen1. Dilaporkan bahwa vaksin subunit protein virus S untuk SARS-CoV menghasilkan titer antibodi netralisasi yang lebih tinggi dan perlindungan yang lebih lengkap daripada vaksin SARS-CoV yang dilemahkan, protein S panjang penuh, dan vaksin protein S berbasis DNA. Tidak mengherankan, sekitar setengah dari paten berfokus pada vaksin protein yang terdiri dari vaksin subunit protein S dan vaksin yang secara khusus menargetkan domain pengikatan reseptor (RBD) dari subunit S1 protein S virus. Secara umum, protein S adalah situs target yang disukai dalam pengembangan vaksin SARS/MERS, dan strategi yang sama dapat berpotensi dalam mengembangkan vaksin SARS-CoV-26.
Vaksin berbasis vektor virus
Vektor virus dianggap sebagai teknologi potensial untuk terapi gen dan vaksin29.
Terapi gen pada penyakit genetik bertujuan untuk mengganti gen yang hilang atau rusak secara permanen dan hanya dapat dicapai jika sistem kekebalan menoleransi pembawa dan produk transgenik. Sedangkan tujuan vaksin adalah untuk mengekspresikan suatu antigen yang memunculkan kekebalan adaptif yang kuat secara sementara terhadap antigen dengan dukungan dari respons inflamasi yang disebabkan oleh pembawa30. Vaksin berbasis vektor virus memberikan ekspresi protein tingkat tinggi dan stabilitas jangka panjang, dan memicu respon imun yang kuat. Vaksin berbasis vektor ini salah satu vaksin yang berlisensi12. Konsep vaksin vektor virus berbeda dengan vaksin subunit, karena vaksin vektor membantu mencegah penyakit menular dengan menimbulkan respons humoral. Teknologi ini dikembangkan untuk pembuatan vaksin ChAd3 untuk Ebola dan ChAdOx1 untuk MERS, yang sekarang sedang memasuki tahap uji klinik31.
Secara umum, kelebihan vektor virus adalah transduksi gen efisiensi tinggi, pengiriman gen yang sangat spesifik ke sel target, dan induksi respons imun yang kuat. Terlepas dari keuntungannya, tidak menutup kemungkinan untuk vektor virus menyebabkan masalah. Dalam beberapa vektor, ekspresi stabil dari gen dicapai melalui mekanisme integrasi virus. Integrasi ke dalam genom inang dapat menyebabkan kanker. Hambatan lain untuk penggunaan klinik vektor virus adalah adanya kekebalan terhadap vektor yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh paparan virus sebelumnya dan produksi antibodi penawar yang mengurangi kemanjuran vaksin. Dalam kebanyakan kasus, virus direkayasa secara genetika untuk mengurangi atau menghilangkan patogenisitas29. Tipe vaksin ini dibagi menjadi dua, yaitu replikasi vektor dan non-replikasi vektor. Virus yang sudah digunakan dalam perkembangan vaksin ini adalah adenovirus yang telah dikembangkan dan diujikan sebagai vaksin untuk penyakit HIV, malaria, dan kanker32–34. Selain adenovirus, beberapa virus lain yang sudah digunakan dalam perkembangan pembuatan vaksin diantaranya adalah alphavirus, herpes virus, poxvirus, vesicular stomatitis virus, dan vaccinia virus35.
Vaksin berbasis DNA
Vaksin DNA merupakan teknologi yang berkembang pesat dan menawarkan pendekatan baru untuk mencegah beberapa penyakit baik yang berasal dari bakteri ataupun virus36,37. Teknologi ini melibatkan pengenalan asam nukleat ke dalam sel inang yang kemudian mengarahkan sintesis polipeptida yang dikodekan dan menstimulasi respon imun38. Vaksin DNA telah dievaluasi secara luas dalam banyak model hewan penyakit menular dan tidak menular dengan keberhasilan yang umumnya baik dalam memunculkan tanggapan poten terhadap antigen yang disandikan, yang telah berkisar dari epitop sel T atau B diskrit hingga kompleks poliprotein besar. Pada umumnya vaksin tersebut berbasis DNA plasmid39. Pada manusia, bukti konsep untuk induksi respon antibodi dan sel T telah ditunjukkan untuk berbagai indikasi dalam beberapa uji klinik. Namun, respons imun yang ditunjukkan lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan vaksin konvensional seperti vaksin inaktif dan vaksin virus yang dilemahkan. Alasan kekurangan vaksin DNA ini tidak jelas, tetapi kemungkinan disebabkan karena pengiriman DNA yang tidak efisien ke dalam sel manusia dan stimulasi sistem imun manusia yang tidak memadai.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, berbagai teknologi telah dievaluasi dan pendekatan saat ini yang paling menjanjikan yaitu dengan melibatkan elektroporasi atau alat pengiriman injector untuk memfasilitasi masuknya DNA kedalam sel dan stimulasi sistem kekebalan melalui penggunaan adjuvant genetik (yaitu, ekspresi in situ molekul aktif secara imunologis yang dikodekan oleh Vaksin DNA)40.
Teknologi ini berpotensi lebih terjangkau untuk diproduksi dibandingkan vaksin protein rekombinan. Selain itu, jauh lebih mudah untuk diangkut dan digunakan, terutama di negara-negara berkembang. Vaksin ini menunjukkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan vaksin yang menggunakan cara konvensional. Waktu yang diperlukan untuk membuat vaksin dengan cara konvensional dapat dibilang cukup lama karena membutuhkan penelitian bertahun-tahun dan beberapa mikroorganisme yang sulit untuk dibudidayakan atau dilemahkan sehingga dapat menimbulkan respon imun yang tidak diinginkan38. Vaksin berbasis DNA dapat dihasilkan dengan cepat berdasarkan urutan virus, sehingga memungkinkan untuk cepat sampai ke pengujian klinik41,42. Keuntungan lainnya adalah respon imun terhadap vaksin dapat diarahkan untuk memperoleh respon imun humoral atau seluler atau keduanya tanpa memerlukan vektor hidup atau teknik produksi biokimia yang kompleks38. Namun terdapat kekurangan dari teknologi ini, yaitu waktu yang diperlukan untuk menyetujui vaksin DNA untuk manusia relatif panjang, karena formulasi berbasis gen memerlukan evaluasi keamanan yang lebih besar daripada vaksin konvensional. Namun saat ini vaksin DNA manusia masih dievaluasi dalam uji klinik fase 143.
Vaksin berbasis RNA
Vaksin berbasis asam nukleat telah lama dijanjikan sebagai vaksin yang dapat diproduksi dengan cepat sebagai respons terhadap keadaan darurat kesehatan masyarakat, aman, dan memperoleh respons imun protektif. Namun sejauh ini, masih belum ada vaksin berbasis asam nukleat yang berlisensi untuk digunakan oleh manusia44. Untuk mengatasi kesenjangan waktu antara munculnya patogen dan lisensi vaksin, maka diperlukan teknologi vaksin baru. Salah satu kandidatnya adalah vaksin RNA. Vaksin berbasis RNA merupakan salah satu teknologi vaksin berbasis asam nukelat yang sedang di kembangkan untuk covid-19. Vaksin berbasis RNA merupakan kandidat yang menjanjikan karena kecepatannya dalam memperoleh urutan data patogen sehingga dapat diproduksi dengan cepat dan aman. Selain itu, teknologi ini mungkin lebih sedikit memerlukan uji pengaturan daripada virus yang dilemahkan atau dimatikan, karena asam nukleat adalah produk basa yang tidak berubah, apapun patogennya45. Vaksin antivirus berbasis mRNA juga meminimalkan potensi risiko infeksi dan mutagenesis yang disebabkan insersi karena degradasi alami mRNA dalam lingkungan mikro seluler46. Khasiat imunogen yang tinggi karena modifikasi struktural mRNA yang direkayasa meningkatkan stabilitas dan kemanjuran penerjemahannya. Vaksin ini berpotensi tinggi dapat menghasilkan imunoglobulin penetral antivirus yang kuat dengan hanya satu atau dua imunisasi dosis rendah42 dapat menginduksi respon imun yang kuat dengan mengaktifkan sel T CD8+ dan CD4+[47]. Terakhir adalah rekayasa produksi mRNA memfasilitasi produksi besar-besaran dosis vaksin yang diperlukan untuk mengobat populasi massal48. Semua faktor ini membuat vaksin mRNA lebih cocok untuk respons cepat terhadap pandemi COVID-19 yang baru muncul46.
Vaksin berbasis RNA lebih menguntungkan dibandingkan vaksin berbasis DNA karena antigen dapat segera diterjemahkan dari vaksin RNA setelah antigen tersebut memasuki sitoplasma. Hal tersebut meningkatkan efisiensi transfeksi sehingga perlu adanya efek pada imunogenisitas45.
Tersedia dua platform vaksin RNA, yaitu mRNA sintesis dan sa-RNA. Molekul mRNA sintesis hanya mengkode antigen diminatinya. Modifikasi molekul mRNA sintetis itu sendiri dapat bermanfaat untuk imunogenisitas dan ekspresi antigen. Vaksin yang didasarkan pada mRNA dapat menawarkan solusi sebagai bahan yang sesuai dengan urutan sehingga dapat memungkinkan respon cepat terhadap munculnya strain mikroba pandemi. Sedangkan sa-RNA berasal dari virus dan mengkode antigen yang diminatinya dan protein yang memungkinkan replikasi vaksin RNA. Kedua platform telah terbukti menginduksi respon imun49.
Vaksin berbasis RNA menggunakan mRNA yang setelah memasuki sel akan diterjemahkan ke molekul antigenik yang dapat menrangsang sistem kekebalan tubuh. Proses ini telah digunakan secara efektif terhadap beberapa kanker. Tidak hanya kanker, penggunaan teknologi vaksin ini mempunyai kemampuan untuk memperoleh porses kekebalan tubuh yang kuat terhadap penyakit menular, seperti covid-19. Produksi vaksin berbasis RNA lebih cepat dan murah daripada vaksin tradisional. Hal tersebut dapat menjadi keuntungan utama dalam siatusi pandemi seperti sekarang. Uji klinik vaksin berbasis RNA untuk covid-19 saat ini sedang berlangsung50,51.
Covid-19 hingga saat ini masih terus berkembang penyebarannya. Meskipun belum ada vaksin yang siap digunakan, namun sudah banyak negara dan lembaga litbang yang telah mencoba dan mengumumkan program atau teknologi pengembangan vaksin mereka untuk melawan covid-19, diantaranya adalah vaksin yang dilemahkan, inaktif, subunit, vektor virus (replikasi dan non-replikasi), dan asam nukleat (DNA dan RNA), dimana hampir sebagian besar merupakan vaksin baru. Pada umumnya pengembangan vaksin baru dapat memakan waktu 10-20 tahun, dan tingkat keberhasilannya kurang dari 10%.
Jika dilihat dari kecepatannya, vaksin berbasis RNA merupakan teknologi yang dapat dikembangkan dalam waktu yang cukup cepat dan dibuat untuk melawan berbagai penyakit, termasuk Covid-19, serta menunjukkan kemungkinan respon yang cepat terhadap wabah penyakit. Vaksin ini dapat dikembangkan dengan cepat karena tidak memerlukan kultur atau fermentasi, sehingga sebagai gantinya hanya menggunakan sintesis. Selain lebih cepat, vaksin ini lebih murah dan lebih aman bagi penggunanya karena tidak diproduksi menggunakan elemen infeksius. Meskipun vaksin ini sudah masuk ke dalam tahap uji klinik fase 2 untuk penanganan covid-19, vaksin ini belum mengantongi lisensi sehingga belum bisa dipasarkan.
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.
View Comments
teknologi apa yang dipakai indonesia untuk pembuatan vaksin ? mohon jawabannya, terimaksih….