Majalah Farmasetika, 7 (3) 2022, 176-188 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v7i.38443
Artikel Review
Download PDF
Lana Labibah1, Taofik Rusdiana*,2
1Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran
2Departemen Farmasetika dan Teknologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia
*Email: t.rusdiana@unpad.ac.id
(Submit 24/02/2022, Revisi 08/03/2022, Diterima 15/03/2022, Terbit 06/04/2022)
Penentuan bioavailabilitas suatu obat menjadi parameter penting untuk mengetahui jumlah serta kecepatan obat diabsorpsi dalam tubuh. Diketahui bahwa pria dan wanita memiliki respon yang berbeda dalam menerima obat, selain itu perbedaan perilaku obat juga disebabkan oleh variabilitas antar individu. Dalam pembuatan produk obat, bahan aktif farmasi secara rutin diformulasikan dengan berbagai eksipien, oleh karena itu penentuan eksipien juga merupakan parameter kritis dalam suatu produk obat. Review artikel ini bertujuan untuk memuat bukti mengenai hubungan jenis kelamin terhadap pengaruh eksipien farmasi pada transporter P-glikoprotein (P-gp) dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat. Sebanyak 53 artikel selama sepuluh tahun terakhir diperoleh secara elektronik melalui situs PubMed dan Google Scholar. Hasil studi ini menunjukkan peningkatan bioavailabilitas obat dengan transporter P-gp hanya terjadi pada subjek tikus jantan dan/atau subjek manusia pria. Hal tersebut dikarenakan protein dan kelimpahan mRNA yang lebih tinggi pada jaringan usus kecil pria bila dibandingkan dengan wanita di lokasi yang sama. Dengan demikian, review artikel ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan terhadap ko-formulasi eksipien farmasi dengan obat-obatan yang merupakan substrat P-gp.
Bioavailabilitas, Eksipien, Hubungan jenis kelamin, P-glikoprotein, Transporter obat
Pemberian peroral adalah rute pemberian obat yang paling nyaman karena kepatuhan pasien yang tinggi, fleksibilitas dalam desain bentuk sediaan, dan metode pembuatan obat yang ekonomis. Agen terapetik yang diberikan secara oral dikatakan baik apabila bioavailabilitas nya optimal, sehingga obat dapat mencapai paparan sistemik. Bioavailabilitas obat secara oral bergantung pada dua parameter utama, kelarutan dan permeabilitas [1].
Oleh karena itu, agar produk obat oral dapat diberikan secara tepat, bahan aktif farmasi harus diformulasi bersama eksipien, misalnya solubilizing agent [2,3]. The U.S. Food and Drug Administration (FDA) mendefinisikan bahan aktif farmasi sebagai senyawa yang bertujuan memberikan efek terapeutik yang diinginkan. Eksipien secara luas didefinisikan sebagai setiap komponen produk obat selain bahan aktif farmasi yang tidak berbahaya untuk konsumsi manusia. Komponen eksipien tidak diharapkan memiliki efek farmakologis langsung, tetapi mengubah sifat fisik bentuk sediaan oral (seperti tablet atau kapsul) untuk memfasilitasi stabilitas, penampilan atau rasa obat [4].
Perkembangan farmasi modern telah melaporkan bahwa eksipien hanya berkontribusi terhadap sifat formulasi sediaan, seperti meningkatkan kelarutan obat dan meningkatkan manufakturabilitas. Akan tetapi, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa eksipien dapat mempengaruhi farmakokinetik bahan aktif farmasi melalui berbagai mekanisme pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi [3,5,6,7,8,9,10]. Selain itu, banyak penelitian menyatakan bahwa sejumlah eksipien menimbulkan efek biologis yang dapat mengubah hasil pengobatan [11,12,13,14]. Kemanjuran dan keamanan obat tergantung pada semua aspek farmakokinetik dan farmakodinamik untuk pengobatan yang optimal [15]. Interpretasi retrospektif dari data klinis menunjukkan bahwa hasil yang diamati dapat ditentukan oleh berbagai faktor, berdasarkan kasus per kasus. Telah dinyatakan bahwa eksipien farmasi terbukti mengganggu enzim metabolik dan/atau transporter berdasarkan hasil uji in vitro atau praklinis, serta uji klinis ke manusia [10,16,17,18].
Sementara itu, kebijakan pemerintah pada masa sekarang mengharuskan para peneliti di seluruh jalur pengembangan obat untuk mengumpulkan dan menganalisis data berdasarkan jenis kelamin [19]. Berdasarkan perbedaan fisiologis, jenis kelamin yang berbeda akan mempengaruhi farmakokinetik obat [20,21]. Transporter P-gp diekspresikan secara luas di seluruh tubuh, dan memiliki banyak substrat, termasuk antibiotik, penghambat saluran kalsium dan agen antikanker [22,23]. Agen terapeutik yang merupakan substrat P-gp menunjukkan bioavailabilitas yang buruk, sehingga perlu dilakukan pengembangan formulasi obat terhadap agen terapeutik yang merupakan substrat P-gp, dengan eksipien farmasi seperti solubilizing agents. Telah dilaporkan bahwa peningkatan bioavailabilitas obat dengan transporter P-gp berbeda berdasarkan jenis kelamin [4,24,25,26,27].
Fokus perbedaan jenis kelamin pada proses pengembangan formulasi obat dapat menjadi panduan dalam pemilihan eksipien yang sesuai dengan tujuan penggunaan suatu obat, sehingga diharapkan dapat memiliki potensi yang signifikan dalam kemanjuran obat yang optimal, termasuk toksisitas. Apabila perbedaan jenis kelamin sebagai variabel biologis dapat ditangani dengan tepat serta didukung dalam desain dan analisis eksperimental, hal ini akan mengurangi prevalensi pasien yang mengalami reaksi obat yang merugikan, pemilihan pengobatan yang lebih baik, dan meningkatkan wawasan baru terkait pengembangan obat berdasarkan jenis kelamin yang penting diketahui pada masa mendatang [28]. Maka dari itu, perlu dipahami bagi para peneliti mengenai peran efek eksipien dalam memodifikasi farmakokinetik obat secara berbeda pada pria dan wanita.
Sumber data yang digunakan dalam review jurnal mengenai pengaruh eksipien pada transporter obat terhadap bioavailabilitasnya diperoleh secara elektronik melalui situs PubMed dan Google Scholar. Kriteria inklusi jurnal penelitian yang digunakan meliputi jurnal terkait tentang transporter obat terhadap bioavailabilitas, jurnal berbahasa Inggris dan jurnal yang dipublikasi dalam sepuluh tahun terakhir (2012-2022). Pencarian dilakukan menggunakan kata kunci “Bioavailabilitas, Eksipien, Hubungan jenis kelamin, P-glikoprotein, Transporter obat”, kemudian digunakan filter tambahan “10 years” dan dipilih jurnal yang bukan review. Dari pencarian ini diperoleh 464 jurnal sebagai hasil penelusuran awal, lalu sebanyak 158 jurnal dieksklusi karena merupakan artikel review, sehingga diperoleh 306 jurnal. Dari 306 jurnal tersebut, 253 jurnal dieksklusi karena tidak memuat hubungan pada jenis kelamin terhadap bioavailabilitas obat tersebut, sehingga hasil akhir pencarian didapatkan 53 artikel. Berikut merupakan diagram penelusuran artikel review ini:
Tabel 1 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Eksipien dalam Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Pada penelitian Afonso-Pereira dkk., 2016, dilakukan pengujian terhadap tikus wistar jantan dan betina dengan bioavailabilitas rantidin. Dinyatakan bahwa bioavailabilitas pada tikus jantan meningkat sebesar 49%, tetapi tidak berubah pada tikus betina [24].
Pada penelitian Mai dkk., 2017, dilakukan pengujian terhadap tikus wistar jantan dan betina dengan bioavailabilitas ampisilin dan metformin, serta inhibitor P-gp (siklosporin A). Dinyatakan bahwa PEG 400 secara signifikan meningkatkan bioavailabilitas ampisilin (substrate P-gp) pada tikus jantan sebesar 49%, tetapi tidak pada tikus betina. Sebaliknya PEG 400 tidak memiliki pengaruh pada bioavailabilitas metformin (substrat non-P-gp) pada tikus jantan atau betina. Sementara itu, penghambatan P-gp setelah pra-perawatan oral dengan siklosporin A meningkatkan bioavailabilitas substrat P-gp (ampisilin) pada tikus jantan dan betina, dan sebagian besar pada pria, tetapi tidak berpengaruh pada bioavailabilitas metformin pada tikus jantan atau betina [25].
Pada penelitian Mai dkk., 2018, dilakukan pengujian terhadap tikus wistar jantan dan betina mengenai bioavailabilitas ranitidine dan inhibitor P-gp (CsA). Pengaruh PEG 400 meningkatkan penyerapan usus ranitidin pada pria tetapi tidak pada wanita, peningkatan terbesar dalam penyerapan ranitidin di segmen usus kecil adalah dengan dosis PEG 400 0,5%. Sementara itu, pengaruh PEG 400 pada transpor absorptif ranitidin di usus tikus setelah pra-perawatan CsA (inhibitor P-gp) secara signifikan menghilangkan dampak PEG 400 pada ketersediaan hayati ranitidine [26].
Pada penelitian Mai dkk., 2019, dilakukan pengujian terhadap tikus wistar jantan dan betina dengan bioavailabilitas ranitidin. Dalam hal kelimpahan protein P-gp, eksipien pelarut (PEG 2000, Cremophor RH 40, Poloxamer 188 dan Tween 80) menurunkan ekspresi usus P-gp sebesar 31-43% pada tikus jantan, tetapi tidak berpengaruh pada tikus betina. Dengan demikian, terjadi peningkatan bioavailabilitas ranitidine pada tikus jantan, tetapi tidak pada wanita. Perbedaan jenis kelamin yang ditunjukkan oleh penelitian ini menyoroti perlunya penyaringan eksipien farmasi ‘inert’ dalam hal pemilihan dan penggunaannya untuk pengembangan obat oral. Secara khusus, hasil yang dilaporkan di sini adalah kepentingan klinis untuk substrat obat P-gp [27].
Pada penelitian Mai dkk., 2020, dilakukan pengujian terhadap manusia pria dan wanita mengenai bioavailabilitas simetidin dan inhibitor P-gp (PCS 833). Dalam hal kelimpahan P-gp dan mRNA (MDR1) di jejunum manusia, perbedaan jenis kelamin yang lebih spesifik dapat terlihat jelas. Kelimpahan relatif P-gp dan MDR1 dalam jaringan pria secara signifikan lebih tinggi daripada wanita. Hasil persentase pengaruh PEG 400 pada transpor absorptif simetidin dalam jaringan jejunum laki-laki dan perempuan pra-perawatan PSC 833 secara signifikan meningkatkan penyerapan jejunum simetidin pada wanita sebesar 19% dan pada pria sebesar 62%. Sementara itu, hasil persentase permeabilitas simetidin dalam jejunum manusia setelah pra-perawatan dengan PSC 833 menunjukkan tidak ada efek spesifik jenis kelamin dari dosis PEG 400 yang berbeda pada transportasi simetidin [4].
Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan jenis kelamin terhadap eksipien farmasi dalam meningkatkan bioavailabilitas obat, dosis tertentu PEG 400 terhadap transporter simetidin dapat meningkatkan bioavailabilitas pada pria, tetapi tidak pada wanita. Akan tetapi, apabila transporter P-gp dihambat, perubahan dosis pada PEG 400 bukan menjadi parameter yang kritis lagi terhadap pria maupun wanita.
Telah dilakukan uji praklinik dan uji klinik mengenai perbedaan jenis kelamin terhadap pemberian eksipien dalam mempengaruhi bioavailibilitas obat dengan ekspresi P-gp. Pada uji pra klinik menggunakan subjek tikus wistar jantan dan betina, sedangkan uji klinik menggunakan subjek manusia sehat pria dan wanita. Eksipien yang digunakan dalam studi literatur ini merupakan solubilizing agent seperti Polioksietilen dan Polyethylene Glycol 400 (PEG 400). Dilaporkan penelitian mengenai perbedaan kinerja formulasi pada pria dan wanita dalam bioavailabilitas obat [29,30,31,32,33,34,35,36]. Perbedaan terkait jenis kelamin dalam farmakokinetik obat, terutama mengenai penyerapan dan metabolisme, sebagian disebabkan oleh perbedaan ekspresi dan/atau aktivitas transpor membran antara pria dan wanita [26].
Transporter merupakan protein terikat membran yang mentranslokasi senyawa endogen atau obat melintasi membran, diekspresikan di semua jaringan termasuk usus, hati, ginjal dan otak [37]. Transporter bekerja bersama dengan enzim metabolisme dalam penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat, sehingga mempengaruhi paparan obat. Perbedaan jenis kelamin dalam ekspresi transporter berkontribusi pada perbedaan dalam disposisi obat dan toksisitas antara pria dan wanita. Perbedaan jenis kelamin dalam ekspresi transporter pada hewan pengerat telah dilaporkan [19].
Tingkat drug-metabolizing enzymes (DMEs) dan protein transporter dalam usus manusia relevan untuk menentukan bioavailabilitas obat oral [38,39]. P-glikoprotein (P-gp) adalah protein terikat membran glikosilasi yang ditemukan oleh Juliano dan Ling pada tahun 1976. P-glikoprotein (P-gp), ATP-binding cassette (ABC), atau dikenal sebagai protein multidrug resistensi (MDR) [40]. P-glikoprotein (P-gp) sering dianggap sebagai transporter membran efflux yang paling penting yang bertanggung jawab dalam mensekresi obat yang diserap secara pasif dan xenobiotik keluar dari sel [41,42,43]. P-gp diekspresikan secara luas di seluruh tubuh, termasuk di permukaan luminal sel epitel usus kecil dan besar, hepatosit hati, tubulus proksimal ginjal dan sawar jaringan darah. P-gp memiliki banyak substrat, termasuk antibiotik, penghambat saluran kalsium dan agen antikanker, dan aksinya dapat dihambat oleh berbagai bahan kimia dan obat-obatan [22,23].
Agen terapeutik yang merupakan substrat P-gp biasanya menunjukkan bioavailabilitas yang buruk atau aktivitas MDR. Hal itu disebabkan karena transporter P-gp yang terlokalisasi di membran apikal sel epitel usus menghambat penyerapan obat substrat usus yang diberikan melalui rute oral, sehingga menyebabkan penurunan bioavailabilitas dan respons farmakologisnya [44]. P-gp dapat mengurangi respon
farmakologi obat dengan menghambat permeabilitasnya melalui hambatan fisiologis. P-gp dapat mengubah penyerapan obat (misalnya, dengan mengeluarkan molekul obat kembali ke lumen gastrointestinal dalam pengiriman obat oral), distribusi (misalnya, dengan mencegah penetrasi obat ke dalam otak), metabolisme (misalnya, dengan bertindak sinergis dengan sitokrom P450 3A), dan ekskresi (misalnya, dengan mempengaruhi fungsi tubulus bilier dan ginjal) [1,6,7,43] [41,44,45,46]. Dengan demikian, P-gp telah diakui sebagai pemain penting dalam interaksi obat-obat yang potensial [47]. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek termodulasi dari ekspresi/fungsi P-gp usus, diperlukan pendekatan formulasi farmasi dengan eksipien yang tepat sehingga menjamin bioavailabilitas oral yang stabil dari obat substrat P-gp. (P-gp, ABCB1, MDR1) [46,48].
Transporter P-gp diketahui dipengaruhi oleh eksipien farmasi yang sebelumnya dianggap “inert” saat dilakukan ko-formulasi dengan obat. Zat pelarut PEG 400 yang banyak digunakan pada dosis tertentu merangsang motilitas usus manusia dengan mengurangi waktu transit usus. Ketika dilakukan ko-formulasi bersama dengan ranitidine, PEG 400 beraksi dengan membatasi penyerapan obat usus, sehingga akan mengurangi bioavailabilitas nya [4]. Akan tetapi, dosis yang lebih rendah dari PEG 400 menyebabkan bioavailabilitas ranitidine meningkat pada manusia dan pada model hewan. Efek seperti itu, bergantung pada dosis dan spesifik jenis kelamin, namun terbatas pada pria dan bukan wanita [36,49]. Dengan demikian, untuk memahami mekanisme potensial hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap bioavailabilitas obat, ditinjau beberapa penelitian terkait efek tersebut. Ditunjukkan bahwa transporter intestinal efflux, yaitu P-glikoprotein (P-gp) diekspresikan secara berbeda antara jenis kelamin dalam subjek tikus [23,26,50,51]. P-gp dipostulatkan berfungsi sebagai mekanisme pelindung penting di lingkungan luminal usus saat terjadinya penyerapan obat oral. Selain itu, P-gp telah dilaporkan sebagai kontributor yang signifikan terhadap perbedaan jenis kelamin dalam respon farmakokinetik [4].
Efek peningkatan bioavailabilitas obat dengan transporter P-gp terhadap pemberian eksipien pelarut pada subjek hewan jantan dan betina, serta pada manusia pria dan wanita telah dilaporkan. Dinyatakan bahwa peningkatan bioavailabilitas hanya terjadi pada tikus jantan maupun manusia pria, tidak pada tikus betina maupun manusia wanita [4,24,25,26,27]. Berdasarkan pengetahuan ini, strategi polifarmasi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat substrat P-gp dirancang, dengan memberikan obat bersama dengan inhibitor P-gp [4,25,26].
Inhibitor P-gp diklasifikasikan menjadi tiga generasi berdasarkan spesifisitas, afinitas, dan toksisitasnya. Inhibitor generasi pertama merupakan zat aktif secara farmakologis yang secara klinis digunakan untuk pengobatan spesifik tetapi memiliki kemampuan untuk menghambat P-gp. Penggunaan inhibitor generasi pertama terbatas karena konsentrasi serum yang tinggi (pada dosis yang diperlukan untuk menghambat P-gp) dan potensi toksisitas. Inhibitor generasi kedua tidak memiliki aktivitas farmakologis dan memiliki afinitas P-gp yang lebih besar yang mencakup analog non-imunosupresif dari siklosporin A (PSC833) dan isomer D dari verapamil (dexverapamil). Namun, inhibitor generasi kedua menghambat enzim CYP A4 dan transporter ABC lainnya. Oleh karena itu, laju metabolisme menurun dan penghambatan dua atau lebih transporter ABC menyebabkan perubahan farmakokinetik yang rumit. Inhibitor P-gp generasi ketiga sedang dalam pengembangan klinis, bertujuan untuk menghambat P-gp dengan spesifisitas yang lebih tinggi dan toksisitas yang lebih rendah (misalnya, tariquidar). Mereka dikembangkan dengan menggunakan hubungan struktur aktivitas dan banyak ditemukan sangat spesifik dan efektif terhadap P-gp, memiliki toksisitas minimal [41].
Secara umum, P-gp dapat dihambat oleh tiga mekanisme: (i) memblokir situs pengikatan obat baik secara kompetitif, non-kompetitif dan alosterik; (ii) mengganggu hidrolisis ATP; dan (iii) mengubah integritas lipid membran sel. Tujuannya adalah untuk mencapai peningkatan bioavailabilitas obat dan penyerapan obat di organ yang ditargetkan [41,43].
Diungkapkan bahwa pemberian oral PSC 833 (valspodar) menghambat P-gp usus sepenuhnya, yang mempengaruhi distribusi dan eliminasi obat [4]. Selain itu, penghambatan transporter P-gp menggunakan siklosporin A (CsA), inhibitor P-gp, dapat menghilangkan efek berbasis jenis kelamin pada eksipien pelarut terhadap bioavailabilitas oral substrat P-gp [4,26,52]. Telah dilaporkan inhibisi transporter P-gp juga dapat dilakukan oleh mPEG-PLA (monomethoxy poly(ethylene glycol)-block-poly(D,L-lactic acid)) [53].
Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan jenis kelamin terhadap eksipien farmasi dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat, penggunaan solubilizing agent tertentu terhadap transporter obat dengan substrat P-gp dapat meningkatkan bioavailabilitas pada pria, tetapi tidak pada wanita (4). Begitu pula hasilnya terhadap subjek tikus jantan, tetapi tidak pada tikus betina (24,25,26,27). Akan tetapi, apabila dilakukan inhibisi transporter P-gp, penambahan eksipien pelarut menjadi parameter yang kritis lagi terhadap pria maupun wanita. Dalam hal kelimpahan P-gp dan mRNA (MDR1) di jejunum manusia, perbedaan jenis kelamin yang lebih spesifik dapat terlihat jelas. Kelimpahan relatif P-gp dan MDR1 dalam jaringan pria secara signifikan lebih tinggi daripada wanita. Mekanisme yang dipostulatkan untuk peningkatan bioavailabilitas obat dengan transporter P-gp pada pria telah dikaitkan dengan eksipien pelarut yang memodulasi transporter efluks P-gp pada tingkat usus karena protein dan kelimpahan mRNA yang lebih tinggi diidentifikasi dalam jaringan usus kecil pria bila dibandingkan dengan wanita di lokasi yang sama [19]. Selain itu, ketika jejunal P-gp dihambat, efek spesifik jenis kelamin dan ketergantungan dosis dari solubilizing agent pada transporter simetidin telah tereliminasi. Oleh karena itu, eksipien memiliki efek modulasi dan bukan penghambatan pada P-gp. Pemberian solubilizing agent kemungkinan besar akan menguntungkan formulasi oral yang mengandung substrat P-gp yang merupakan obat Kelas IV BCS (kelarutan buruk dan permeabilitas buruk), karena solubilizing agent dapat meningkatkan kelarutan dan permeabilitas apabila dilakukan ko-formulasi dengan suatu obat [23].
Dengan demikian, review jurnal ini diharapkan mampu memberikan kehati-hatian dalam suatu pengembangan formulasi obat, terutama pada obat dengan transporter P-gp, agar melakukan pertimbangan ulang klasifikasi eksipien dalam monografi obat sehingga dapat membantu dalam menentukan konsekuensi klinis dari efek eksipien tertentu pada penyerapan obat dan profil farmakokinetik lainnya, dengan memperhatikan faktor jenis kelamin. Dengan demikian, dapat terjadi kemanjuran obat yang optimal, keamanan terhadap dosis, dan mencegah terjadinya toksisitas obat.
Berdasarkan review di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang relevan dengan bioavailabilitas obat dengan substrat P-gp telah terbukti memberikan perbedaan aktivitas spesifik jenis kelamin, tetapi hal tersebut tidak lagi menjadi poin kritis setelah dilakukan inhibisi P-gp. Selain itu diperlukan perhatian dalam pemilihan eksipien farmasi ‘inert’ terhadap penggunaannya untuk pengembangan obat oral. Dengan demikian, diharapkan pengembangan formulasi obat yang relevan secara klinis dalam respon farmakologis serta didapatkan hasil terapi yang optimal bagi pria dan wanita.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dosen pembimbing saya, Bapak apt. Taofik Rusdiana, M.Si., PhD, yang telah memberikan masukan dan bimbingannya selama penyusunan naskah literature review ini.
Cara mengutip artikel ini
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.