Majalah Farmasetika, 6 (5) 2021, 436-461 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v6i5.35935
Artikel Review
Download PDF
Viviane Annisa1,*, Teuku Nanda Saifullah Sulaiman2, Akhmad Kharis Nugroho2, Agung Endro Nugroho3
1Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2Departemen Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
3Departemen Farmakologi dan Klinis, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
*Email: shirvij5@gmail.com
(Submit 30/09/2021, Revisi 15/10/2021, Diterima 08/11/2021, Terbit 10/12/2021)
Pengetahuan tentang sinergisme bermanfaat untuk menentukan kombinasi polimer alami yang memberikan efek menguntungkan ketika dikombinasikan. Interaksi yang saling menguntungkan antar polimer alami dapat dilihat dari nilai sinergisitas dari data pengujian viskositas. Kombinasi polimer yang memiliki efek sinergi dapat memberikan banyak kegunaan serta manfaat yang besar dalam pengembangan teknologi formulasi obat sehingga dapat mengatasi kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing zat aktif obat. Pada studi ini, dilakukan review artikel tentang sinergisme kombinasi polimer, pengaruh kation sebagai cross-linker, serta aplikasi kombinasi alginat dengan polimer alami dalam formulasi sediaan obat dan aspek farmakologinya. Database yang digunakan untuk mengambil referensi, meliputi Scopus, PubMed, dan Google Schoolar. Tipe data dari database meliputi jurnal, artikel review, maupun buku tanpa ada pembatasan tahun. Referensi yang diperoleh dari database lalu diidentifikasi, dianalisis, dan dipilih yang sesuai dengan topik yang akan direview. Formulasi dengan polimer menghasilkan obat dengan pelepasan terkontrol, yang memiliki keuntungan, yakni dapat menurunkan frekuensi pemberian dosis, menurunkan efek samping obat, meningkatkan tingkat kepatuhan pasien, menurunkan fluktuasi, serta memperlama durasi aksi obat, dan memastikan respon farmakokinetik dan farmakodinamik dapat reprodusibel dan diprediksi. Selain itu, polimer dapat pula dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi sistem penghantaran obat tertarget pada organ tertentu. Polimer alami yang paling banyak digunakan dan dikombinasikan dengan polimer lain adalah alginat karena memiliki struktur dengan banyak gugus negatif berupa karboksil dan hidroksil sehingga memiliki berbagai keuntungan, seperti dapat meningkatkan kelarutan obat, meningkatkan kemampuan mukoadesif, melepaskan obat secara terkontrol, serta menghantarkan obat pada target organ tertentu.
Alginat, tautan silang, sinergisitas polimer, formulasi polimer, kombinasi polimer alami
Interaksi antar kombinasi dua polimer alami cukup menarik untuk dipelajari lebih lanjut sebab beberapa tahun terakhir telah banyak formulasi obat maupun aplikasi pada produksi makanan yang menggunakan kombinasi polimer. Pengetahuan tentang sinergisme dapat bermanfaat untuk mengetahui sifat mekanik dari kombinasi polimer (1). Semakin kuat sifat mekanik kombinasi polimer, maka pelepasan obat dari matriks polimer akan lebih lama dan dapat menurunkan kebocoran sebagai matriks enkapsulasi obat. Kombinasi antar polimer dapat memberikan efek sinergi yang kuat dibandingkan dengan polimer tunggal. Mikrostruktur dari gel yang dihasilkan oleh kombinasi polimer dapat berbeda total dibandingkan dengan gel tunggal (2). Interaksi antar kedua polimer akan menghasilkan perubahan terhadap sifat fisika kimia dari polimer dalam campuran. Salah satu sifat fisika kimia yang dapat mengalami perubahan adalah viskositas. Dari data viskositas, dapat diketahui sinergisitas dalam kombinasi polimer (3). Dikatakan adanya efek sinergi jika sistem dispersi memiliki viskositas lebih tinggi pada kombinasi lebih dari satu hidrokolid polimer dibandingkan dengan hidrokoloid tunggal. Viskositas campuran hidrokoloid dapat meningkat secara non-linear terhadap peningkatan konsentrasi hidrokoloid, sehingga diperlukan mengetahui rasio atau konsentrasi kombinasi yang sesuai (4). Adanya sinergisitas antara kedua campuran polimer juga dapat menurunkan biaya produksi karena jumlah yang dibutuhkan lebih sedikit untuk menghasilkan viskositas yang sama (2). Sinergisme suatu kombinasi polimer dapat ditingkatkan dengan penambahan suatu agen cross-linker. Tautan silang dapat dilakukan secara fisika maupun kimia (5,6). Tautan silang yang menggunakan komponen kimia sebagian besar bersifat toksik dan bereaksi dengan zat aktif yang direaksikan yang menyebabkan zat aktif tersebut menjadi tidak aktif. Maka dari itu, tautan silang lebih disukai menggunakan metode secara fisik. Metode secara fisik dapat dilakukan dengan cara interaksi ionik, self-assembly dari polisakarida hidrofob, kristalisasi polisakarida, induksi ikatan hidrogen antara polisakarida, dan menggunakan molekul protein (7). Penyalutan maupun tautan silang dapat mengubah kecepatan difusi dari molekul yang terenkapsulasi sehingga dapat mengontrol pelepasan molekul.
Kombinasi polimer yang memiliki efek sinergi dapat memberikan banyak manfaat yang besar dalam pengembangan teknologi formulasi obat sehingga dapat mengatasi kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing zat aktif obat. Disamping itu, polimer alami lebih disukai dibandingkan dengan polimer sintetik karena bersifat biodegradable, biokompatibel, tidak toksik, memiliki kapabilitas tinggi untuk mengembang, stabil pada berbagai macam pH, lebih ekonomis, serta mudah diperoleh (8). Polimer alami yang paling banyak digunakan dalam aplikasi formulasi obat maupun biomedis adalah alginat. Alginat dapat dengan mudah dimodifikasi secara kimia mapun fisika melalui tautan silang sehingga terbentuk hidrogel dan meningkatkan sifat fisika kimia serta aktivitas biologi (9).
Kajian tentang polimer alami tunggal terkait kemanfaatannya untuk formulasi obat sudah banyak yang melakukan. Namun, kajian artikel tentang sinergisitas serta penggunaan kombinasi alginat dalam formulasi obat dan aspek farmakologinya, sejauh pencarian penulis, belum ada yang melakukan. Maka dari itu, pada artikel ini, penulis akan mengkaji artikel penelitian yang telah dilakukan mengenai sinergisitas dari kombinasi polimer alami, pengaruh kation sebagai cross-linker, serta aplikasi kombinasi alginat terhadap dengan polimer alami untuk formulasi sediaan obat dan aspek farmakologinya.
Beberapa database digunakan untuk mengambil referensi, meliputi database Scopus, PubMed, dan Google Schoolar. Tipe data dari database meliputi jurnal, artikel review, maupun buku tanpa ada pembatasan tahun. Referensi yang diperoleh dari database lalu diidentifikasi, dianalisis, dan dipilih yang sesuai dengan topik yang akan dikaji. Kata kunci yang digunakan, meliputi ”Synergy* AND polymer”, “Nature* Polymer AND Drug Formula*”, “Crosslink* AND Polymer”, “Combinat* AND Alginate”, “Alginate AND Pectin AND Formulat* AND Drug”, “Alginate AND Gum AND Formulat* AND Drug”, “Alginate AND Carrageenan AND Formulat* AND Drug”, “Alginate AND release AND controlled AND drug AND in vivo AND pharmacol*”, “Alginate AND solubility AND bioavailability”.
Sinergisme kombinasi polimer mengacu pada adanya asosiasi antar campuran polimer. Campuran gel polimer yang homogen ditentukan dari polimer yang kompatibel dan mampu berasosiasi satu dengan lainnya, dapat diketahui dari sifat fisika kimianya, seperti viskositas dan kekuatan gel (10). Penelitian mengenai sinergisitas kombinasi polimer yang telah dilakukan sebelumnya, sebagian besar menggunakan dari data viskositas. Perubahan viskositas berdasarkan data reologi dari campuran biner dapat menentukan sinergisitas suatu kombinasi polimer. Penurunan viskositas mengindikasikan adanya interaksi asosiatif dengan penurunan volume hidrodinamik dari polimer yang disebabkan oleh asosiasi dari polimer menjadi agregat yang dapat terlarut atau terpresipitasi, sedangkan peningkatan viskositas mengindikasikan interaksi asosiatif dengan interaksi kooperatif intrapolimer dan interpolimer seperti induksi gelasi (10,11). Sinergisitas dapat berupa sinergi negatif (antagonis) yang ditunjukkan adanya penurunan viskositas dan sinergi positif yang ditunjukkan adanya kenaikan viskositas (12). Sinergi positif ditentukan dari pembentukan jaringan, dapat berpasangan dengan atau tanpa adanya pembentukan agregat (10).
Tabel 1. Sinergisme Kombinasi polimer
Ekstrak gum yang berasal dari spesies vegeta tropikal meliputi Triumfetta cordifolia, Bridelia thermifolia, Irvingia gabonensis, Beilschmiedia obscura, Ceratotheca sesamoides, Corchorus olitorius dan Adansonia digitata telah diteliti sinergisitasnya terhadap alginat (10). Di dalam larutan CaCl2, seluruh gum berinteraksi dengan alginat. Namun, di dalam air, tidak semua gum menunjukkan interaksi yang sinergi. Sinergisitas ini dilihat dari nilai deviasi viskositas, sinergi negatif menunjukkan adanya asosiasi yang kemudian memicu terbentuknya agregat, sedangkan sinergi positif menunjukkan terdapat interaksi kooperatif yang dominan sehingga terbentuk jaringan berpasangan, hal ini dapat diindikasikan dari gel campuran yang potensial pada konsentrasi lebih tinggi (10).
Tambahan CaCl2 2 mM memperlihatkan adanya interaksi sinergi yang positif dengan alginat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan viskositas yang mengindikasikan adanya interaksi koperatif antara polimer. Gum dan alginat sama-sama bermuatan negatif sehingga dapat berinteraksi dengan kation divalen dari logam Ca2+ dari larutan garam CaCl2 lalu dapat menurunkan repulsi elektrostatik. Gum yang bermuatan rendah seperti B. obscura, memiliki interaksi yang lebih tinggi di dalam air dibandingkan dengan di dalam CaCl2 sebab jumlah ikatan hidrogen yang terbatas. Namun, pada gum lain bermuatan lebih tinggi, interaksi permukaan yang dihasilkan lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan muatan dari gugus karboksil dapat berperan terhadap sinergisitas dengan alginat, tetapi ketika melewati batas, maka dapat menyebabkan terjadinya repulsi (10).
Kombinasi alginat dan gum akasia yang bertautan silang dengan kalsium dapat menghasilkan hidrogel. Kombinasi alginat dan gum akasia berinteraksi menggunakan teknik gelasi ionotropik melalui reaksi tautan silang antara gugus hidroksi dari kedua polimer (25). Penambahan gum akasia ke dalam larutan alginat dapat mereduksi side-by-side agregasi dari struktur egg-box alginat akibat adanya ion Ca2+. Side-by-side agregasi ini memicu terjadinya kehilangan kapasitas swelling dari kalsium alginat. Gum akasia merupakan polimer amfolitik sehingga gum akasia dapat menarik molekul alginat melalui gaya elektrostatik (26). Ion Ca2+ berinteraksi dengan residu glukoronat alginat serta gugus hidroksil dari alginat dan gum karena kaya elektron sehingga disukai oleh kation dari ion Ca2+. Kombinasi tersebut menghasilkan sifat mekanik dari network polymer untuk membentuk suatu hidrogel yang lebih kuat. Ion Ca2+ berikatan dengan gugus negatif dari polimer sehingga muatan negatifnya menurun (27).
Ikatan antara pektin dan alginat terbentuk pada region metil ester dari pektin dan gugus asam guluronat (G) dari alginat (2). Ikatan antar alginat dan pektin dapat menstabilkan komposit yang dihasilkan. Ikatan ini berasal dari gugus guluronat-guluronat (G-G) dan manuronat-guluronat (M-G) dari alginat terhadap gugus galakturonat dari pektin. Menurut Walkenstrom, et al (2003), mikrostruktur dari pektin tunggal memperlihatkan bahwa jaringan pektin memiliki ukuran pori yang lebih kecil dibandingkan dengan kombinasi jaringan (2). Ion Ca2+ berinteraksi dengan gugus karboksil dari alginat dan pektin, kemudian membentuk tautan silang antara rantai polimer yang terpisah dan mengurangi repulsi elektrostatik antara polimer. Dalam pembentukan egg-box dari kombinasi alginat dan pektin, daya dorong utamanya adalah interaksi elektrostatik, selain itu ada pula interaksi lainnya yang berkontribusi, seperti ikatan hidrogen, Van der Waals, serta interaksi hidrofobik (28). Pengaruh pH sangat krusial terhadap karakter dari gel alginat/pektin yang terbentuk. Kekuatan gel akan meningkat seiring dengan penurunan pH dari 3.5 menjadi 3.0 (2). Telah banyak studi telah dilakukan untuk menginvestigasi hubungan sinergi antara alginat dan berbagai tipe pektin (metoksi rendah, metoksi tinggi, dan pektin teramidasi). Efek sinergisme yang dihasilkan berasal dari interaksi molekular antara α-D-asam galakturonat pada pektin dengan α-D-asam guluronat pada alginat (20).
Koefisien viskositas dari dispersi alginat mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan kenaikan jumlah gum xanthan. Hal ini mengindikasikan adanya sinergisme antara alginat dan gum xanthan. Meskipun demikian, struktur gel dari gum xanthan rusak ketika berikatan dengan alginat. Hal ini menyebabkan kehilangan jaringan kompleks gum xanthan sehingga viskositas gum xanthan menurun. Namun, gum xanthan masih dapat membentuk agregasi kecil yang dapat dilihat secara visual. Agregasi ini dapat membentuk ikatan intermolekular, seperti ikatan hidrogen dari gugus karboksil, hidroksil, dan eter pada alginat dan dari gugus hidroksil dan karboksil pada xanthan. Kemudian menyebabkan viskositas kedua campuran dispersi meningkat (22,29). Kombinasi alginat dan karagenan dapat membentuk hidrogel dengan ion kalsium melalui gugus karboksil dari alginat dan gugus sulfat maupun karboksil dari karagenan (30). Penambahan garam seperti CaCl2 dengan konsentrasi yang sesuai dapat meningkatkan kekuatan gel atau modulus elastis dari gel karagenan dari meningkatnya susunan konformasi coil-to-helix dan selanjutnya teragregasi. Jaringan gel sangat tergantung dengan konsentrasi dan jenis garam yang ditambahkan. Mekanisme pengaruh dari konsentrasi garam terhadap kekuatan gel masih belum jelas terhadap efek non-spesifik kontribusi electrostatic shielding, efek ikatan ion berpasangan, dan hidrasi kation. Kation mendorong gelasi karagenan yang dapat menstabilisasi konformasi heliks dari karagenan dengan shielding muatan dari gugus sulfat, lalu diikuti dengan koordinasi intermolekular (ion-dipol) yang berikatan dengan polisakarida menjadi agregat (31).
Gum Locust Bean (GLB) merupakan galaktoman yang tidak dapat membentuk gel dengan sendirinya. Hidrokoloid Corchorus olitorius (HC) merupakan tanaman alami yang menghasilkan hidrokoloid dari daun. HC yang dapat berinteraksi dengan kappa-karagenan. Sifat reologi dari campuran gel karagenan dengan HC atau GLB dapat diukur dari kekuatan gel. Penambahan HC ke dalam dispersi karagenan dapat menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel tanpa HC. Kekuatan gel tertinggi diperoleh pada perbandingan 90:10 (HC:karagenanan). Untuk sinergi karagenan dan GLB diperoleh kekuatan gel yang lebih tinggi 2x dibandingkan dengan campuran karagenan dan HC. Penambahan GLB ke dalam karagenan dapat meningkatkan jaringan berpasangan dengan jembatan spesifik, kemudian dapat memperbaiki reologi dari campuran gel (24).
Kekuatan gel karagenan meningkat dengan adanya penambahan kalsium. Gelasi karagenan merupakan kompleks dan transisi rantai helix yang diikuti oleh agregasi dan pembentukan jaringan. Namun, ketika ditambahkan pada campuran karagenan dan HC, terjadi penurunan kekuatan gel sehingga mengindikasikan bahwa pengaruh kation terhadap kekuatan gel adalah kecil (24).
Gum xanthan dikenal memiliki interaksi sinergi yang kuat dengan galaktomanan, seperti GLB dan gum guar. Interaksi ini melalui ikatan intermolekular antara xanthan dan galaktomanan dari eksklusi mutual dari molekul inkompatibel (23,32). Studi mengenai interaksi antara xanthan dan GLB telah dilakukan oleh Tako (1984) menggunakan sifat reologi. Hasilnya memperlihatkan bahwa interaksi yang terjadi antara rantai samping xanthan yang dapat berikatan dengan lebih dari 1 rantai GLB memiliki model seperti lock and key (33). Sinergisme campuran gum yang lebih tinggi ditemukan pada kombinasi xanthan 60% dan GLB 40% dengan dibuktikan dari nilai komponen elastik yang mencapai 2-3 kali lebih besar dibandingkan rata-rata kedua gum. Hal ini juga sejalan dengan data viskositas (23).
Tautan silang dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Tautan silang secara fisik dapat berupa ikatan non-kovalen seperti ikatan hidrogen dan Van der Waals, interaksi hidrofobik, maupun lilitan antar polimer. Tautan silang secara kimia melalui ikatan kovalen antara rantai polimer dengan cross-linker seperti glutaradelhid, silikat, epoksi, dll (5,6). Metode secara kimia melalui 2 pendekatan, yaitu tautan silang polifungsional material dari monomer hidrofilik atau melalui polimerisasi 3 dimensi. Tautan silang yang menggunakan komponen kimia sebagian besar bersifat toksik dan bereaksi dengan zat aktif yang direaksikan yang menyebabkan zat aktif tersebut menjadi tidak aktif. Maka dari itu, tautan silang lebih disukai menggunakan metode secara fisik. Metode secara fisik dapat dilakukan dengan cara interaksi ionik, self-assembly dari polisakarida hidrofob, kristalisasi polisakarida, induksi ikatan hidrogen antara polisakarida, dan menggunakan molekul protein (7).
Logam multivalen dapat berperan sebagai cross-linker untuk polimer bermuatan negatif. Adanya penambahan kation akan mempengaruhi hasil pembentukan gel dari kombinasi polimer karena sifat fisika kimianya dapat berubah. Perubahan yang dihasilkan, antara lain: perubahan jaringan struktur yang terbentuk, sifat reologi, atau hidrofobisitas. Kation bervalensi seperti kalsium dari garam CaCl2 dapat berinteraksi dengan gugus negatif dari polimer, seperti gugus hidroksil, karboksil, amino, dan gugus sulfat melalui ikatan hidrogen. Kation divalen dilaporkan dapat menambah kekuatan pembentukan obat (34).
Terdapat dua metode untuk preparasi penambahan Ca2+ sebagai cross-linker, yakni secara eksternal dan internal (Gambar 1).
Perbedaan kedua metode terletak pada cara pencampuran dengan garam kalsium serta kinetika gelnya. Metode gelasi eksternal dikenal sebagai metode pengaturan difusi, dimana ion kalsium dapat secara bebas berdifusi ke dalam droplet polimer. Metode ini dilakukan dengan cara meneteskan larutan alginat yang telah berisi obat ke dalam larutan yang mengandung garam kalsium, seperti CaCl (35). Kation berdifusi dari
daerah konsentrasi lebih tinggi ke dalam interior partikel alginat. Gel yang dipreparasi melalui metode gelasi eksternal memiliki struktur yang tidak homogen karena konsentrasi kalsium cenderung lebih tinggi di permukaan daripada tengah. Pada lapisan terluar hidrogel-kation, kinetik gel bergerak dengan cepat dan formasi gel terjadi secara instan (28,36). Metode gelasi internal dikenal sebagai “internal setting” yang dikarakterisasi dengan perilisan ion kalsium dalam pelepasan terkontrol dari sumber kalsium yang tidak larut, seperti kalsium karbonat dalam larutan alginat. Pelepasan ion kalsium ke dalam larutan polimer secara terkontrol biasanya ditentukan oleh perubahan pH, keterbatasan kelarutan dari sumber garam kalsium, atau keberadaan agen pengkhelat (35). Gel yang dipreparasi melalui metode gelasi internal memperlihatkan struktur gel yang homogen. Namun, memiliki kekurangan, yaitu struktur gel yang dihasilkan lebih longgar dan kekuatannya lebih rendah dibandingkan dengan metode gelasi eksternal (28,36).
Gum memiliki muatan negatif, ketika ditambahkan garam seperti CaCl2, maka terjadi perubahan konformasi dan viskositas intrinsik, yakni viskositas intrinsiknya lebih kecil dibandingkan dalam air. Hal ini disebabkan karena ion kalsium dalam larutan menurunkan repulsi dan membiarkan gum mengadopsi konformasi fungsionalnya yang sebenarnya. Sebaliknya, di dalam air terjadi mutual repulsi yang mengakibatkan gum terdorong untuk ekspansi dan mengadopsi beberapa konformasi rigid sehingga gyration radius lebih tinggi kemudian terjadi peningkatan viskositas intrinsik. Gum lebih larut dalam larutan CaCl2 (selain B. obscura), hal ini menunjukkan bahwa rantai polimer dari gugus karboksil pada residu uronil gum dapat berinteraksi dengan ion. Peningkatan konsentrasi garam yang mengandung kation divalen pada awalnya akan menghasilkan kontraksi gum sehingga viskositasnya menurun (10).
Adanya kation bervalensi seperti kalsium dapat meningkatkan viskositas larutan alginat (37). Penambahan ion kalsium ke dalam polimer alginat menyebabkan terbentuknya ikatan antara 2 rantai G pada sisi yang berlawanan. Ikatan ion kalsium oleh multi-koordinasi dengan gugus oksigen dan karboksil. Konfigurasi ikatan polimer yang kuat menghasilkan formasi junction zone seperti bentuk “egg-box” (Gambar 2).
Setiap ikatan kation dengan 4 residu G dalam formasi “egg-box” membentuk jaringan 3-D dari region interkoneksi tersebut (36). Alginat dapat membentuk ikatan hidrogen dengan polimer lain melalui interaksi molekuler dari gugus karboksil, hidroksil, dan eter (10). Pada sistem tautan silang alginat dengan CaCl2, gradien tekanan osmosis antara gel alginat dan lingkungan merupakan faktor penting dalam proses swelling. Pada pH rendah atau kondisi lambung, pelepasan makromolekul dari alginat secara signifikan menurun dan tidak terjadi swelling. Ketika alginat masuk ke dalam usus (suasana basa atau netral), lapisan asam alginat dikonversikan ke dalam lapisan kental terlarut sehingga akan mengalami swelling, dimana pelepasan obat tergantung pada proses swelling dan erosi (39,40). Tautan silang alginat dapat juga terjadi secara gelasi asam ketika pH larutan dibawah pKa polimer atau dibawah 3. Gelasi asam alginat distabilkan oleh ikatan hidrogen dan residu M. Kekuatan gel berkorelasi dengan komposisi residu G dalam rantai polimer (36). Jika dibandingkan dengan gelasi ionik, gelasi ionik dapat membentuk jaringan 3 dimensi yang lebih kuat dibandingkan dengan gelasi asam (7).
Pektin dapat membentuk struktur “egg-box” dengan adanya ion Ca2+ seperti halnya dengan alginat. Pembentukan “egg box” dari pektin melalui gugus -COOH dengan ion Ca2+ (Gambar 3).
Rantai pektin terdiri dari gugus yang teresterifikasi dengan gugus metil dan gugus asam bebas yang dapat berikatan degan ion logam atau ammonium. Pektin tergolong menjadi 2 kelompok berdasarkan derajat esterifikasi (DE), yakni DE tinggi atau high methoxyl (HM) dengan nilai DE sebesar 60-75% dan DE rendah atau low methoxyl (LM) dengan nilai DE 20-40% (41). Pembentukan gel pada pektin dengan ion Ca2+ lebih disukai jika pektin memiliki DE rendah dibandingkan dengan DE tinggi. Semakin rendah derajat esterifikasi, maka semakin banyak gugus karboksilat yang tidak termetilasi sehingga dapat lebih banyak berikatan dengan Ca2+ (28). DE tinggi tidak mengandung cukup gugus asam untuk membentuk gel atau presipitat terhadap ion Ca2+. Ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik merupakan faktor penting terjadinya agregasi dari molekul pektin. Pembentukan gel dapat terjadi karena adanya ikatan hidrogen antara gugus karboksil bebas dan gugus hidroksil dari molekul lain (41). Meskipun demikan, distribusi gugus metil pada rantai pektin tidak diketahui, sehingga sulit untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan dalam struktur blok terhadap peningkatan kekuatan gel. Aksi region pektin teramidasi dalam sistem dapat menyebabkan reduksi dalam repulsi elektrostatik, hal ini sama seperti region yang termetilasi (2).
Karagenan dapat mengalami gelasi ionik dengan ion monovalen maupun ion divalen, seperti ion K+ atau Ca2+. Interaksi karagenan dengan ion Ca2+ terjadi melalui tarikan elektrostatik yang kemudian membentuk jembatan intramolekular antara oksigen dari endoeter dan gugus OSO – dari karagenan. Lalu selanjutnya terbentuk suatu jaringan
tautan silang antar makromolekul karagenan. Kation dapat menginduksi konformasi dalam polimer melalui transisi coil-helix lalu terjadi agregasi dari helix untuk membentuk gel (42). Fase separasi dapat terjadi tergantung pada kandungan ester sulfat dari karagenan. Semakin sedikit gugus sulfat, maka kemungkinan terjadinya fase separasi akan lebih lambat (43). Terdapat 3 tipe karagenan yang dibedakan berdasarkan jumlah dari gugus sulfat, yaitu iota (i), kappa (k), dan gamma (λ).
Iota karagenan merupakan karagenan yang memiliki jumlah gugus sulfat terbanyak dari polisakarida helix-forming dibandingkan dengan jenis karagenan lainnya, sehingga berat molekulnya juga tinggi. Interaksi iota karagenan lebih efektif dengan ion divalen seperti Ca2+ dibandingkan dengan kation monovalen. Jembatan intramolekular terbentuk dari ion Ca2+ yang berada diantara gugus sulfat dari residu anhydro-D-galaktosa dan D-galaktosa yang berdekatan (Gambar 4). Meskipun demikian, kation monovalen juga dapat membentuk jembatan intramolekular, namun tidak sama kuatnya dengan kation divalen karena hanya terbentuk struktur rod-like tunggal, tidak dapat membentuk double helix (44).
Kappa karagenan memiliki sifat fungsional fisik yang baik maupun memiliki aktivitas biologi sehingga banyak digunakan pada industri makanan, kosmetik, tekstil, maupun farmasi (46). Kappa karagenan memiliki 1 muatan negatif dari gugus sulfat yang memiliki kemampuan membentuk gel dan pembentukan film yang baik serta memiliki kekuatan tensil tertinggi diantara tipe karagenan lainnya (47). Kappa karagenan dapat berikatan dengan kation monovalen (Gambar 5) dan kation divalen (Gambar 6). Gelasi kappa karagenan umumnya dapat dicapai dalam 2 tahapan, yakni transisi coil-helix yang diikuti dengan agregasi helices. Proses ini berdasarkan keberadaan double helix dalam zona penghubung dari jaringan gel karagenan. Kappa karagenan merupakan poli-ion dan sangat sensitif terhadap keberadaan garam karena kation mempengaruhi transisi coil-helix dan agregrasi dari helices. Kation monovalen dapat berikatan dengan helices lalu akan memicu agregasi dari helices, selanjutnya akan menurunkan densitas muatan dari helices (31).
Penambahan garam seperti NaCl, KCl, dan CaCl2 pada konsentrasi yang sesuai dapat meningkatkan kekuatan gel atau modulus elastis, lalu dapat meningkatkan penyusunan konformasi dan agregasi sub-sekuen. Efektivitas pengaruh logam terhadap peningkatan sifat alir dapat diurutkan untuk kation monovalen, yakni Rb+ > Cs+ > K+ > Na+ > Li+ (48). Logam dari ion Rb+, Cs+, dan K+ lebih efektif sebab cenderung sebagai ion structural disordering, sedangkan Na+ dan Li+ sebagai ion structural ordering. Kapabilitas pembentukan pelindung repulsi elektrostatik dari gugus sulfat lebih efektif karena mempengaruhi pembentukan dan agregasi dari helices. Keberadaan ion monovalen dapat memnstabilkan jaringan gel yang kemudian meningkatkan stabilitas jaringan gel (31). Sedangkan untuk kation divalen, yakni Ba++ > Sr++ > Ca++ > Mg++. Efektivitas pengaruh ion terhadap peningkatan gel dan temperatur leleh gel diurutkan mulai dari K+ > Ca++ > Na+. Kation meningkatkan gelasi karagenan melalui stabilisasi dari konformasi helical dengan melindungi muatan gugus sulfat yang diikuti dengan ikatan kordinasi intermolekular (ion-dipol) dengan polisakarida ke dalam agregat (48).
Polimer alami telah banyak digunakan dalam bidang farmasi (Tabel 2) (49). Polimer alami lebih disukai dibandingkan dengan polimer sintetik karena bersifat biodegradabel, biokompatibel, tidak toksik, memiliki kapabilitas tinggi untuk mengembang, stabil pada berbagai macam pH, lebih ekonomis, serta mudah diperoleh (8). Polimer alami jenis polisakarida seperti alginat, gum akasia, karangenan, dan pektin telah banyak digunakan dalam formulasi obat, polimer tersebut memiliki struktur yang mampu membentuk ikatan, mudah dimodifikasi, serta memiliki potensi yang besar (49). Polimer alami yang paling banyak digunakan dalam aplikasi formulasi obat maupun biomedis adalah alginat. Alginat dapat dengan mudah dimodifikasi secara kimia maupun fisika melalui tautan silang sehingga terbentuk hidrogel dan meningkatkan sifat fisika kimia serta aktivitas biologi (9). Alginat telah banyak digunakan secara luas untuk formulasi (Tabel 2). Kombinasi alginat dengan gum akasia telah banyak digunakan dalam formulasi mengenkapsulasi bahan aktif yang bertujuan untuk mencegah degradasi (50), meningkatkan stabilas thermal dan kimia (26,51–53), mengurangi toksisitas (54,55), meningkatkan efektivitas zat aktif (55,56), meningkatkan efiesiensi enkapsulasi (8,57), meningkatkan adsorpsi pada mata (58), serta mengontrol pelepasan zat aktif (25,34,57,59). Kombinasi alginat dengan pektin telah banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan biomedis dikarenakan interaksinya yang sinergi. Material kombinasi alginat dan pektin dapat berupa film, gel, dan partikel (20). Penggunaan dalam formulasi obat dapat dimanfaatkan untuk mengenkapsulasi bahan aktif yang bertujuan untuk memproteksi dari degradasi (60), mengontrol pelepasan zat aktif, meningkatkan absorpsi air selama swelling (20), meningkatkan sifat mekanik mikrobeads (61), memproteksi dari cairan lambung, serta meningkatkan efisiensi enkapsulasi (62). Kombinasi alginat dengan karagenan telah banyak digunakan dalam formulasi mengenkapsulasi bahan aktif yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas zat aktif (47,63), meningkatkan kekuatan mekanik (19,64), memiliki kapasitas adsorpsi yang baik (64), mengontrol lipid digesti (65), mengontrol pelepasan zat aktif (6,66–73), meningkatkan stabilitas (74–76), meningkatkan stabilitas tekstur (77), meningkatkan efesiensi enkapsulasi (74,78), meningkatkan kekuatan mekanik dan biologis (79,80), serta sebagai pembawa obat tertarget (73).
Kombinasi algiant dan karagenan sebagai matriks untuk invertase enzim juga bermanfaat untuk mengatasi masalah kebocoran pada enzim dengan meningkatkan kekuatan mekanik dan stabilitas dari bead alginat (76).
Tabel 2 Aplikasi Penggunaan Kombinasi Polimer Terhadap Formulasi Obat
Alginat bersifat biokompatibel untuk pemberian obat melalui okular, nasal, topikal, lokal, maupun oral. FDA (Food and Drug Administration) telah mengonfirmasi terkait keamanan alginat sebagai komposisi obat untuk pemberian oral. Namun, ada kemungkinan material alginat mengandung komposisi yang bersifat imunogenik, seperti logam berat, endotoksin, protein, dan polifenol. Maka dari itu, pentingnya dekontaminasi pada proses ekstraksi untuk memastikan alginat yang digunakan sudah sangat murni (9).
Polimer alami seperti polisakarida, gum, kitosan, dan alginat dapat membentuk suatu spherical microbeads yang berpotensi sebagai alternatif penghantaran obat menjadi bentuk perilisan terkontrol (83,84). Tujuan dari pelepasan terkontrol adalah untuk menjaga konsentrasi obat pada level yang tetap dalam periode waktu tertentu, untuk menurunkan frekuensi pemberian dosis, meningkatkan level keamanan dari obat, meningkatkan tingkat kepatuhan pasien, menurunkan fluktuasi, menurunkan efek samping lokal dan sistemik (85), serta memperlama durasi aksi obat, dan memastikan respon farmakokinetik dan farmakodinamik dapat reprodusibel dan diprediksi. Selain itu, polimer dapat pula dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi sistem penghantaran obat tertarget pada organ tertentu (83).
Polimer alami yang memiliki gugus hidroksil bersifat mukoadesif. Gugus hidroksil dari polimer hidrofilik dapat menempel pada membran mukus yang berasal dari berbagai interaksi, seperti ikatan hidrogen, van der Waal’s, interaksi ionik, dan pembentukan matriks jaringan polimer. Daya tarik elektrostatik yang kuat akan berkontribusi terbentukna suatu mukoadesi yang baik antara mucin dan polimer (86). Alginat merupakan polimer mukoadesif larut air yang memiliki struktur berupa polisakarida linear berupa asam guluronat dan asam manuronat yang dapat membentuk ikatan hidrogen kuat dengan glikoprotein musin mucosal dari interaksi gugus karboksil dan hidroksil (87). Alginat dapat meningkatkan permeasi obat termasuk protein seperti insulin melewati mukosa intestinal dengan cara meningkatkan kemampuan absorpsinya serta mampu menghantarkan insulin melalui oral karena dapat melindungi obat dari degradasi enzim gastrointestinal (88).
Polimer alami telah banyak digunakan sebagai agen penyembuh luka, khususnya alginat. Hal ini dikarenakan sifat alginat yang biokompatibel, biodegradable, dan kemiripan dengan matriks ekstraselular tubuh yang membantu dalam proses penyembuhan luka (89). Alginat berpotensi sebagai material agen penyembuh luka karena mengandung tinggi air, elastik, permeable, kemampuan untuk membentuk lingkungan yang lembab, terlarut dalam pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan medium asam, hal ini sejalan dengan pH lingkungan luka antara 7.15-8.9 (90). Alginat dapat membantu memicu re-epitelisasi dan mengurangi pembentukan scar (91), meningkatkan aktivitas makrofag dan level sitokin (92), memiliki kemampuan anti-inflamasi, dan melepaskan obat secara terkontrol untuk menyembuhkan luka (89). Penambahan agen cross-linker seperti kalsium ke dalam pembuatan alginat juga memberikan manfaat farmakologis, yakni kemampuan hemostatis yang dapat mengagregasi plate dan eritrosit sehingga bermanfaat terhadap penyembuhaan luka (91). Kombinasi alginat dengan pektin dapat mempercepat pengelupasan eksudat luka dengan membentuk gel lembut diatas luka, membentuk barier bakteri atau virus melalui retensi keasaman atmosfer, dan juga melindungi faktor pertumbuhan dari degradasi (92).
Alginat telah banyak digunakan dalam modifikasi penghantaran obat, termasuk sebagai penghantaran obat tertarget pada kolon karena dapat termetabolisme oleh enzim glukosidase di kolon (93,94). Alginat memperlihatkan efek perilisan terkontrol dan tertarget pada sekum (bagian dari usus besar), khususnya untuk natrium alginat viskositas rendah (95). Alginat mudah mengembang dan terdisintegrasi di usus halus karena pada pH gastrointestinal yang lebih tinggi seperti suasana pada usus, matriks alginat akan berubah menjadi lapisan viscous larut yang merusak integritas polimer dan melepaskan obat dari mikrokapsul. Hal ini dapat meningkatkan porositas dan solubilisasi polimer (95). Kombinasi alginat dan pektin juga telah digunakan dalam formulasi obat penghantaran tertarget pada kolon. Namun, diperlukan tambahan polimer agar tidak terjadi pelepasan yang terlalu cepat di usus (94).
Sinergisitas merupakan parameter untuk mengetahui apakah kombinasi polimer dapat memberikan efek yang lebih menguntungkan ketika dikombinasi. Interaksi yang saling menguntungkan antar polimer dapat dilihat dari nilai sinergisitas viskositas. Dikatakan adanya efek sinergi jika sistem dispersi memiliki viskositas lebih tinggi pada kombinasi lebih dari satu hidrokolid polimer dibandingkan dengan hidrokoloid tunggal. Efek sinergi dapat ditingkatkan dengan menambahkan suatu agen cross-linker seperti ion logam Ca2+. Pada polimer seperti alginat, pektin, dan karagenan, dapat membentuk interaksi dengan ion logam Ca2+. Kombinasi polimer telah banyak digunakan dalam formulasi obat, terutama penggunaan alginat yang dikombinasi dengan polimer alami lainnya. Tujuan penggunaannya dalam formulasi obat antara lain untuk mencegah degradasi, meningkatkan stabilas thermal dan kimia, mengurangi toksisitas, meningkatkan efektivitas zat aktif, meningkatkan efiesiensi enkapsulasi, meningkatkan adsorpsi pada mata, mengontrol pelepasan zat aktif, maupun sebagai pembawa obat tertarget. Formulasi dengan polimer menghasilkan obat dengan pelepasan terkontrol, yang memiliki keuntungan, yakni dapat menurunkan frekuensi pemberian dosis, menurunkan efek samping obat, meningkatkan tingkat kepatuhan pasien, menurunkan fluktuasi, serta memperlama durasi aksi obat, dan memastikan respon farmakokinetik dan farmakodinamik dapat reprodusibel dan diprediksi. Selain itu, polimer dapat pula dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi sistem penghantaran obat tertarget pada organ tertentu
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa PMDSU sehingga penulis termotivasi untuk menulis artikel ini.
Cara mengutip artikel ini
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295 Artikel Penelitian Nabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 506-517 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50293 Artikel Penelitian Vira Herawati*1, Evi Nurul Hidayati2, Sardjiman…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 489-505 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57607 Artikel Penelitian Mahirah Mardiyah, Lubna Khairunisa, Vina Oktaviany…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 472-488 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56360 Artikel Review Ira Dwi Fatma1, Yuni Kartika1, Raden…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 458-471 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57440 Artikel Penelitian Sisilia Luhung * , Muh. Taufiqurrahman,…
Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 443-457 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.57191 Artikel Penelitian Melia Sari*1, Ahmad Faisal Nasution2, Dina…
This website uses cookies.