Analisis dan Strategi Pengembangan Pelayanan Kefarmasian Berbasis Metode Hanlondi RS Bhayangkara Tk.III Nganjuk

Majalah Farmasetika, 10 (4) 2025, 281-289

https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i4.6542

Artikel Penelitian

Rizzqi Septiprajaamalia Rosdianto*

Program Studi Farmasi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Bandung, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail : rizzqisepti@umbandung.ac.id

(Submit 25/06/2025, Revisi 17/07/2025, Diterima 09/08/2025, Terbit 13/08/2025)

Abstrak

Rumah Sakit (RS) menjadi institusi pelayanan kesehatan yang paripurna dengan menyediakan  berbagai pelayanan. Akreditasi suatu RS menunjukkan komitmen nyata untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas asuhan pasien. Standar evaluasi yang dipergunakan adalah Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1. RS Bhayangkara Tk.III Nganjuk merupakan salah satu RS yang telah mencapai nilai akreditasi baik termasuk pada pelayanan di instalasi farmasi rumah sakit (IFRS). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kesesuaian dan menentukan strategi pengembangan Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO) di IFRS Bhayangkara Tk.III dengan standar akreditasi SNARS Edisi 1, berdasarkan skala prioritas masalah. Penelitian termasuk rancangan non eksperimental dengan analisis data secara kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan instrument kuesioner. wawancara dan penelusuran dokumen. Metode hanlon juga digunakan untuk menentukan skala prioritas masalah yang harus dibenahi.  Hasil menunjukkan bahwa IFRS Bhayangkara Tk III telah mencapai hasil akreditasi di atas nilai minimal (80%), namun perlu dilakukan strategi pengembangan agar dapat mencapai nilai standart maksimal. Analisis metode hanlon menunjukkan bahwa masalah yang paling prioritas berturut-turut adalah PKPO 2, PKPO 4 , PKPO 6, PKPO 5, PKPO 1, PKPO 3, dan terakhir PKPO 7. IFRS Bhayangkara Tk. III telah memenuhi standar minimal dari KARS, tetapi perlu melakukan strategi pengembangan PKPO sesuai prioritas yaitu pada PKPO 2 (pengkajian formularium), PKPO 4 dan PKPO 1 (Penambahan apoteker), PKPO 6 (Proses monitoring ke pasien), PKPO 5 (pelabelan obat oleh farmasi), PKPO 3 (bukti penyimpanan obat pada pasien), dan PKPO 7 (pelaporan efek samping obat).

Kata kunci : Akreditasi, Instalasi farmasi, Metode hanlon, PKPO, Strategi    
                     pengembangan,

Teks Lengkap:

PDF

Pendahuluan


   Rumah Sakit menjadi institusi pelayanan kesehatan yang paripurna dengan menyediakan  berbagai pelayanan, termasuk pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Selain pelayanan media, penunjang medis juga harus diperhatikan karena dapat mendukung pelayanan rumah sakit yang baik. Salah satu penunjang medis yang menjadi revenue centre utama adalah pelayanan farmasi. Sekitar 90% pelayanan kesehatan di suatu RS menggunakan perbekalan farmasi seperti obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, dan alat kesehatan habis pakai. Pemasukan rumah sakit sebanyak 50% juga berasal dari pengelolaan pembekalan farmasi.1

  Standart pelayanan yang baik dapat dilihat dari nilai akreditasi instansi tersebut. Akreditasi Rumah Sakit tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 012 yang menyatakan bahwa setiap rumah sakit harus lulus terlebih dahulu akreditasi nasional yang diselenggarakan oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Kemudian dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit menyebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali dan akreditasi rumah sakit tersebut dapat dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.2 Data dari data Kementrian Kesehatan pada tahun 2021, di Indonesia terdapat 2.482 atau 78% rumah sakit yang telah terakreditasi dan 21,2% lainnya belum terakreditasi.3

  Instalasi farmasi memiliki peran penting dalam mendukung pelayanan medis suatu rumah sakit. Sehingga peningkatan mutu pelayanan kefarmasian memberikan dampak yang signifikan pada penilaian pasien terhadap rumah sakit, karena secara langsung rantai kerja antara tindakan medis yang dilakukan tim dokter akan berkaitan erat dengan pelayanan kefarmasian sebagai rantai berikutnya. Oleh karena itu standar mutu layanan kefarmasian menjadi sangat penting sebagai unit yang menentukan status akreditasi bagi rumah sakit.2 SK Menteri  Kesehatan  Nomor  58  Tahun 2014  tentang  standar  pelayanan  kefarmasian  di rumah  sakit  mengatur  bahwa  Instalasi  farmasi di  rumah  sakit  harus  memenuhi  standar akreditasi  dalam  manajemen  penggunaan  obat (MPO)  dimana  terdapat  tujuh  standar  antara lain, standar organisasi dan manajemen, standar seleksi  dan  pengadaan,  standar  penyimpanan, standar  pemesanan  dan  pencatatan,  standar persiapan  dan  penyaluran,  standar  pemberian dan standar pemantauan.4

  RS Bhayangkara Tk.III Nganjuk merupakan salah satu satuan kerja dalam linkungan mabes polri dalam mengemban fungsi pendukung untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan kedokteran bagi anggota polri dan seluruh masyarakat. Dalam mewujudkan rumah sakit yang professional dalam mendukung tugas pokok kepolisian dan pelayanan prima bagi masyarakat, maka RS Bhayangkara Tk. III Nganjuk memerlukan suatu akreditasi rumah sakit tipe paripurna terutama bagian instalasi farmasi untuk mengembangkan pelayanan kefarmasian. Rumah sakit Bhayangkara Tk.III Nganjuk dinyatakan lulus perdana oleh KARS tahun 2016 dan berlaku sampai 2019 sesuai dengan standart akreditasi versi 2012. Secara garis besar dalam standar lama belum tercapai penuh khususnya pelayanan kefarmasian rumah sakit.

  Berdasarkan ulasan diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan  memberikan suatu rekomendasi dengan standar akreditasi SNARS Edisi 1, tentang Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO) meliputi: standar pengorganisasian, standar seleksi dan pengadaan, standar penyimpanan, standar peresepan dan penyalinan, standar persiapan dan penyerahan, standar pemberian obat, dan standar pemantauan (monitor). Hasil evaluasi ini juga akan membantu untuk menentukan strategi pengembangan PKPO di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Bhayangkara Tk.III Nganjuk berdasarkan skala prioritas masalah dengan menggunakan metode Hanlon. Metode ini  digunakan untuk untuk  menentukan prioritas  masalah.5

Metode

Desain Penelitian dan Data

  Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2019 dengan menggunakan rancangan penelitian non eksperimental di IFRS Bhayangkara Tk.III Nganjuk. Data dianalisis secara kuantitatif pada hasil kuisioner yang kemudian dilanjutkan dengan metode hanlon untuk menentukan skala prioritas masalah yang harus dibenahi. Penentuan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling, yakni 15 responden yang aktif menjadi tenaga  kefarmasian pada bulan April-Juni 2019. Analisis data kualitatif juga dilakukan pada hasil wawancara yang menggunakan metode perbandingan tetap (constant comparative method). Analisis data secara tetap membandingkan satu data dengan data lainnya yakni pengumpulan data, mereduksi data, penampilan data, dan penyimpulan. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur atau dapat dikatakan pelaksanaanya lebih bebas sehingga  menemukan permasalahan yang lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat serta kepastian data-data yang dibutuhkan.6

Instrumen

  Instrumen yang digunakan adalah lembaran kuesioner berisi daftar pertanyaan terstruktur yang sudah dilakukan uji validitas dan realibilitas. Pertanyaan dalam kuesioner diambil dari elemen penilaian Standar PKPO SNARS Edisi 1 oleh KARS versi 2017. Wawancara juga dilakukan oleh peneliti kepada kepala IFRS, farmasis dan ketua akreditasi RS sesuai pedoman untuk menentukan tingkat kesesuaian pelaksanaan 7 standar pelayanan farmasi serta melakukan observasi untuk melihat kelengkapan data atau dokumen (Tabel 1). Wawancara dilakukan kurun waktu sekitar 10-15 menit.

Tabel 1 Standar Pelayanan dalam PKPO

Analisis Data

  Pada analisis kualitatif, variabel-variabel penelitian disusun secara deskriptif berdasarkan karakteristik setiap variabel penelitian dalam bentuk tabel frekuensi. Sedangkan analisis secara kuantitatif  memuat tentang perbaikan manajemen dengan metode Hanlon. Analisis mencakup identifikasi masalah dengan solusi manajemen, kemudian memberikan skor (bobot) atas serangkaian kriteria A, B, C dan D (PEARL). Setelah serangkaian kriteria tersebut berhasil diisi, maka selanjutnya menghitung nilai Basic Prioritas Rating (BPR) dan Overall Priority Rating (OPR).

Hasil dan Pembahasaan

Akreditasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas maupun budaya  keselamatan di suatu rumah sakit.  Nilai akreditasi yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit menitikberatkan sasarannya pada keselamatan pasien dan mutu pelayanan.7,8 Penelitian yang dilaksanakan di RS Bhayangkara Tk. III terkait evaluasi dan strategi pengembangan pelayanan kefarmasian ini menjadi nilai tambah dan pandangan kedepan untuk memperbaiki kualitas pelayanan di rumah sakit yang masih kurang maupun belum terpenuhi. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini kemudian didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan team PKPO RS Bhayangkara Tk. III, sehingga data yang disajikan dapat dibahas lebih mendalam.

Terdapat 15 responden tenaga kefarmasian dalam penelitian yang dilakukan di IFRS Bhayangkara Tk. III Nganjuk ini. Responden tersebut terdiri dari 2 laki-laki dan 13 perempuan dengan tingkat pendidikan dan masa kerja yang berbeda-beda (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik subjek penelitian

Kuesioner disiapkan dan dibagikan kepada pegawai di IFRS Bhayangkara untuk mengetahui asumsi standar akreditasi terkait PKPO. Hasil presentase pencapaian nilai akreditasi di RS Bhayangkara Tk. III pada masing-masing point PKPO menunjukkan nilai lebih dari 80% (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil persentase pencapaian nilai akreditasi di RS Bhayangkara Tk. III

   Sumber : Data yang diolah tahun 2019

  Keabsahan data (trustworthiness) dapat ditekankan dengan adanya proses wawancara serta penggalian data-data yang digunakan dalam proses akreditasi.

  Hasil yang didapat menunjukkan bahwa RS Bhayangkara Tk.III sudah melaksanakan PKPO dengan baik dan sudah memenuhi standar akreditasi. Hal ini didasarkan pada peraturan Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/1128/2022 tentang akreditasi rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit akan mendapat predikat paripurna apabila mendapatkan nilai minimal 80% dari setiap elemen penilaian.3 Namun untuk lebih meningkatkan pelayanan kefarmasian di RS Bhayangkara Tk III Nganjuk, maka perlu dilakukan strategi dari hasil selisih elemen penilaian yang mendapatkan nilai terbesar dari standar maksimal akreditasi yaitu 100%.

  Nilai pencapaian dari masing-masing elemen kemudian dianalisis menggunakan metode hanlon. Metode ini membantu dalam menentukan suatu masalah yang menjadi prioritas untuk dibenahi.9 Berdasarkan analisis strategi pengembangan pelayanan di IFRS Bhayangkara Tk III Nganjuk menunjukkan bahwa prioritas utama masalah yang harus dibenahi adalah elemen PKPO ke 2 terkait seleksi dan pengadaan yang kemudian disusul oleh elemen lainnya (Tabel 4).

  Prioritas pertama adalah PKPO 2 atau proses seleksi dan pengadaan obat. Seleksi bertujuan agar dapat menghasilkan formularium dan digunakan untuk permintaan obat serta instruksi pengobatan.10 Masalah dengan nilai paling rendah yang ditemukan pada elemen PKPO ini adalah bukti kajian formularium dan bukti manajemen rantai pengadaan. Menurut hasil wawancara juga menyatakan bahwa kajian formularium belum dilaksanakan secara optimal. Managemen rantai pengadaan juga menunjukkan hasil yang belum optimal karena dari 30 distributor yang bekerja sama dengan RS Bhayangkara Tk III Nganjuk baru dilakukan kunjungan ke 12 distributor, kunjungan dilakukan ke daerah yang paling dekat terlebih dahulu yaitu Madiun dan Kediri.

  Stretegi pengembangan yang dapat dilakukan pada masalah pertama adalah pengkajian formularium sekurang kurangnya setahun sekali berdasarkan atas informasi tentang keamanan dan efektivitas. Rumah sakit harus menetapkan formularium obat yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Formularium di dasarkan atas visi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan yang diberikan. Formularium  Rumah  Sakit  bermanfaat  dalam kendali  mutu  dan  kendali  biaya  obat  yang  akan memudahkan pemilihan obat yang rasional, mengurangi biaya  pengobatan,  dan  mengoptimalkan  pelayanan kepada pasien.11

  Strategi selanjutnya untuk pengembangan yang dapat dilakukan pada masalah managemen rantai pengadaan, maka perlu penambahan jumlah apoteker sehingga dapat dibagi tugas terkait kunjungan ke seluruh distributor yang bekerjasama dengan RS. Pihak RS harus mengetahui tentang reputasi, kredibilitas, kegiatan operasional setiap komponen, dari rantai distribusi untuk memastikan ketersediaan perbekalan yang dibutuhkan datang tepat waktu, mencegah obat serta teknologi  medik yang tercemar,  palsu,  sampai  dipergunakan  kepada pasien  di RS.2

  Prioritas kedua adalah PKPO 4 mengenai peresepan dan penyalinan obat. Pada hal ini masalah yang nilainya paling jauh dari standart yakni bukti pelaksanaan pencatatan rekam medis, bukti pelaksanaan pengelolaan resep, dan bukti rekonsiliasi oleh apoteker. Hasil wawancara menyatakan bahwa obat yang diresepkan dicatat di formulir catatan pemberian obat pasien pada rekam medis pasien saat pasien dipindahkan ataupun dipulangkan, sesuai SPO yang terdokumentasi Nomor 70/IV/2019/FARM. Namun SPO tersebut hanya dapat dilaksanakan saat jam dinas, sedangkan diluar jam dinas tidak dapat dilaksanakan karena jumlah Apoteker hanya 2 orang. Berbeda dengan hasil penelitian Lovianie (2015), yang menyatakan bahwa setiap obat yang diresepkan dan diberikan ke pasien dicatat dalam rekam medis pasien, agar mengetahui dosis dan berapa kali obat diberikan untuk keamanan pasien. Jumlah apoteker yang sedikit juga mendasari kurang optimalnya proses rekonsiliasi obat. Sedangkan pada elemen terkait bukti pelaksanaan pengelolaan resep belum optimal karena beberapa staff kurang memaahami prosesnya.

  Stretegi pengembangan yang dapat dilakukan pada elemen PKPO 4 yaitu melakukan penambahan jumlah apoteker dan dijadwalkan shif sehingga ada apoteker 24 jam. Selain itu  sosialisasi ke semua staf farmasi juga diperlukan agar setiap staf mampu melakukan konfirmasi resep yang tidak lengkap maupun tidak terbaca. Koordinasi antar pegawai kefarmasian untuk memastikan peresepan dan penyalinan obat sesuai dengan yang dituliskan di dalam resep akan meningkatkan pelayanan dan keamanan dalam pemberian obat pada pasien, karena penulisaan resep yang tidak sesuai mampu mengakibatkan kesalahan cukup tinggi yang dapat membahayakan keamanan dan keefektifan obat yang diterima pasien.13

  Prioritas ketiga yakni PKPO 6 terkait pemberiaan obat. Masalah yang ditemukan adalah proses monitoring pengobatan oleh pasien sendiri. Dari hasil wawancara di dapatkan bahwa selama ini yang dimonitoring adalah obat salep mata, salep kulit, tetes mata dan sirup, setelah melakukan bimbingan dari KARS ternyata yang di maksud pengobatan sendiri adalah obat yang tidak diresepkan dan tidak di dapatkan di RS.2 Strategi yang dapat dilakukan adalah lebih ditingkatkan kembali untuk monitoring pengobatan pasien sesuai dengan standar.

  Prioritas selanjutnya ditempati oleh PKPO 5 tentang persiapan dan penyerahan, dimana permasalahan yang masih kurang optimal adalah pelabelan obat dengan skor kuisioner hanya 54%. Hasil wawancara menyebutkan bahwa pelabelan obat seharusnya dilakukan petugas farmasi, namun di RS Bhayangkara Tk III Nganjuk masih dilakukan oleh perawat. Pelabelan atau pemberian etiket pada obat merupakan salah satu langkah penting dalam proses dispensing. Proses dispensing sendiri merupakan satu bagian penting dalam pelayanan farmasi klinis untuk tercapainya pengobatan yang optimal.14

  Selanjutnya PKPO 1 terkait pengorganisasian menduduki prioritas ke lima. Permasalahan yang disoroti adalah kajian PKPO 12 bulan terakhir. Kajian PKPO sudah dijalankan dengan baik hanya saja belum berkesinambungan dari tahun ke tahun dan didokumentasikan karena jumlah Apoteker masih terbatas. Permasalahan selanjutnya ditempati oleh elemen PKPO 3 terkait penyimpanan. Secara garis besar nilai-nilai pada 1PKPO 3 ini sudah optimal, namun ada satu komponen yang mendapai nilai rendah yaitu tentang bukti penyimpanan obat dibawa pasien. Prosedur yang dilakukan di RS Bhayangkara Tk III Nganjuk sudaah sesuai dengan regulasi SPO Nomor 97/VII/2018/FARM, namun kurang terkait dokumentasinya. Hasil wawancara juga sesuai dengan sebuah penelitian yang mengungkapkan bahwa setiap obat yang dibawa oleh pasien akan dicatat oleh perawat dan jika obat yang diresepkan oleh dokter sama maka obat tersebut bisa diteruskan bila tidak maka akan dibawa oleh perawat untuk diserahkan kepada farmasis untuk disimpan agar tidak dikonsumsi oleh pasien.15

  PKPO 7 terkait pamantauan menempati prioritas terakhir karena skornya paling mendekati standar. Dari tiap elemen penilaiannya, bukti pemantauan efek samping obat (ESO) menunjukkan nilai paling kecil (78%) walaupun sudah dijalankan cukup optimal. Hal ini dikarenakan ESO hanya dilaporkan ke tim Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien RS, pelaporan seharusnya juga dilaporkan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien.16

  Berdasarkan tingkat prioritas masalah yang didapatkan, maka IFRS dapat melakukan perbaikan dan pengembangan mutu pelayanan farmasi secara bertahap mulai dari prioritas utama. Masalah yang terjadi di RS Bhayangkara Tk III Nganjuk ialah sebagian besar merupakan proses yang telah dijalankan namun belum mencapai tingkat sempurna. Strategi pengembangan yang telah disebutkan dapat membantu rumah sakit mencapai nilai akreditasi yang maksimal untuk menuju akreditasi internasional sesuai visi dan misinya.

Kesimpulan

  Kesimpulan dituliskan berdasarkan analisis data hasil penelitian.IFRS Bhayangkara Tk III Nganjuk telah mencapai hasil akreditasi di atas nilai minimal 80% yang ditentukan KARS berdasarkan SNARS edisi 1, namun masih harus bekerja lebih keras untuk bisa memebenahi poin-poin yang masih kurang agar mencapai standart nilai akreditasi maksimal. Hasil presentase pencapaian nilai akreditasi untuk masing-masing elemen adalah PKPO 1 (85%), PKPO 2 (82%), PKPO 3 (89%), PKPO 4 (83%), PKPO 5 (84%), PKPO 6 (84%), dan PKPO 7 (93%). Analisis juga dilakukan dengan metode hanlon yang kemudian menunjukkan tingkat prioritas masalah yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah PKPO 2, PKPO 4, PKPO 6, PKPO 5, PKPO 1, PKPO 3, dan prioritas terakhir adalah PKPO 7. Strategi pengembangan standar akreditasi PKPO di IFRS Bhayangkara Tk. III telah disesuaikan dengan masalah yang dihadapi, yaitu pada PKPO 2 perlu ditingkatkan pengkajian formularium, PKPO 4 dan PKPO 1 perlu Penambahan apoteker agar memaksimalkan standart kinerja, PKPO 6 perlu diperbaiki proses monitoring ke pasien, PKPO 5 terkait pelabelan obat oleh farmasis, PKPO 3 perlu sdsnys bukti penyimpanan obat pada pasien, dan PKPO 7 diharapkan terdapat pelaporan efek samping obat.

Ucapan Terimakasih

Penulis ucapkan terima kasih kepada Rumah Sakit Bhayangkara Tk. III Nganjuk, Universitas Setia Budi dan Staf Instalasi Farmasi Rumah sakit Bhayangkara Tk. III Nganjuk yang membantu di dalam pengumpulan data pengerjaan hingga mendapatkan hasil penelitian.

Daftar Pustaka

1.Sari SP, Abdulah R. Survei kepuasan pelanggan farmasi poliklinik di rumah sakit di Indonesia. Farmaka. 2018;16(2):71-9.

2.Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Standar nasional akreditasi rumah sakit edisi 1. Jakarta: Komisi Akreditasi Rumah Sakit; 2017. p. 217-25.

3.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2022.

4.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.

5.Hamdani AS, Riani AL, Widodo GP. Development strategy of pharmacy department based accreditation evaluation in RSUD Dr Moewardi Surakarta by Hanlon method. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan). 2019;1(2).

6.Halim C, Nugroho N, Hutabarat FAM. Analisis komunikasi di PT. Asuransi Buana Independent Medan. J Ilmiah Simantek. 2019;3(1).

7.Shaw CD, Kutryba B, Braithwaite J, Bedlicki M, Warunek A. Sustainable healthcare accreditation: messages from Europe in 2009. Int J Qual Health Care. 2010;22(5):341-50.

8.Simamora NF. Standart akreditasi rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan dan keamanan. 2019.

9.   Irawan H, Irawan I, Christian J. Penerapan metode Hanlon dalam memprioritaskan pengembangan aplikasi sistem informasi studi kasus: Badan Pengawas XYZ. IDEALIS: Indonesia Journal of Information System. 2021;4(1):47-54.

10.   Patanduk DW, Maidin HA, Arifah N. Gambaran pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat berdasarkan pedoman SNARS edisi 1.1 di RS Elim Rantepao: Description of pharmaceutical services and drug use based on the SNARS guidelines edition 1.1 at Elim Rantepao Hospital. Hasanuddin J Public Health. 2021;2(2):185-99.

11.   Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/200/2020 tentang Pedoman Penyusunan Formularium Rumah Sakit. Jakarta: Kemenkes RI; 2021.

12.   Lovianie. Strategi pengembangan instalasi farmasi berbasis evaluasi akreditasi dengan metode Hanlon di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya [tesis]. Surakarta: Universitas Setia Budi; 2015.

13.   Shah SNH, Aslam M, Avery AJ. A survey of prescription errors in general practice. Pharm J. 2001;267(7178):860-2.

14.   Mariati IGA, Wibowo YI, Widjaja KK, Setiadi AAP. Efek kualitas pelabelan terhadap pengetahuan dan kepatuhan pasien hipertensi di Mataram. J Farmasi Klinik Indones. 2022;11(1):11-21.

15.  Jaluri PDC. Strategi pengembangan instalasi farmasi berbasis evaluasi akreditasi manajemen penggunaan obat (MPO) dengan metode Hanlon di Instalasi Farmasi RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun Kalimantan Tengah [tesis]. Surakarta: Universitas Setia Budi; 2016.

16.   Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.

cara mengutip artikel

https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/65421/0




About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Kajian Efektivitas Penataan Obat LASA di Unit Rawat Jalan Rumah SakitSwasta Bandung

Majalah Farmasetika, 10 (4) 2025, 319-327 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i4.65388Artikel PenelitianSuryanto Suryanto1*, Tina Rostinawati21Program Studi Profesi Apoteker, Universitas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *