Gambaran Budaya dan Insiden Keselamatan Pasien di Instalasi FarmasiRumah Sakit X

Majalah Farmasetika, 9 (Suppl 1) 2024, 11-26 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i7.59079

Artikel Penelitian

Download PDF

Nhadira Nhestricia*, Nisa Najwa Rokhmah, Veronica Venny Hapsari Program Studi Farmasi, FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO Box 452, Bogor, Indonesia 16143.

*E-mail : nhadira.nhestricia@unpak.ac.id

(Submit 13/11/2024, Revisi 26/11/2024, Diterima 12/12/2024, Terbit 18/12/2024)

Abstrak

Budaya keselamatan pasien merupakan budaya rumah sakit yang mendukung keselamatan pasien, kurangnya budaya keselamatan pasien dapat meningkatkan peluang terjadinya insiden pada pasien selama mendapatkan pelayanan kesehatan. Kejadian yang merugikan dan membahayakan keselamatan pasien salah satunya adalah kesalahan pada saat proses pengobatan. Instalasi farmasi mempunyai tanggung jawab pada proses pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran budaya keselamatan pasien pada pegawai unit kerja instalasi farmasi serta insiden yang pernah terjadi di instalasi farmasi Rumah Sakit X. Pengambilan data penelitian ini secara retrospektif dengan metode deskriptif. Populasi berjumlah 51 orang dengan sampel menggunakan total sampling.  Kriteria inklusi adalah pegawai instalasi farmasi dan bersedia menjadi responden. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yaitu kuesioner Hospital Survei on Patient Safety Culture (HSOPSC) yang telah valid dan reliabel, dan dokumen Laporan Mutu 2023 dari Komite Mutu Rumah Sakit X. Data yang diperoleh dianalisis univariat dan analisis dokumen. Hasil kuesioner menunjukan budaya keselamatan pasien pada pegawai instalasi farmasi Rumah Sakit X sebesar 74% termasuk kategori baik yang terdiri dari 12 dimensi. Terdapat 9 dimensi dengan respon positif baik, 2 dimensi dengan respon positif sedang, dan 1 dimensi dengan respon positif kurang. Insiden yang terjadi adalah medication error fase peresepan dan insiden terkait pelaksanaan high alert double check. Sistem pelaporan insiden keselamatan pasien sesuai dengan perundang-undangan yang ada.

Kata Kunci

Budaya Keselamatan Pasien, Insiden Keselamatan Pasien, Instalasi Farmasi.

Pendahuluan

Budaya keselamatan pasien merupakan seberapa besar budaya rumah sakit yang mendukung dan mempromosikan keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien diukur melalui nilai yang dihargai, didukung, diharapkan, dan diterima dalam suatu organisasi. Budaya keselamatan pasien ada di berbagai tingkatan, mulai dari sistem, organisasi, departemen, hingga tingkat unit (1). Penilaian budaya keselamatan pasien di kalangan pegawai Instalasi Farmasi Rumah Sakit meliputi 12 dimensi yang dituangkan dalam Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). Dimensi-dimensi ini terdiri dari kerja sama tim, harapan dan tindakan manajerial dalam mendukung keselamatan pasien, membina organisasi pembelajaran melalui perbaikan terus-menerus, dukungan manajemen terhadap keselamatan pasien, persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien, umpan balik dan komunikasi yang efektif mengenai kesalahan, komunikasi terbuka, frekuensi pelaporan, kerja sama tim antar unit, pengaturan staf, serah terima dan transfer, dan respon tidak menghukum untuk mengatasi kesalahan.

Penelitian yang dilakukan di negara Amerika, Saudi Arabia, Kuwait, dan Ethiopia menunjukan respon positif baik pada dimensi kerja sama tim dan pembelajaran organisasi, sedangkan dimensi pengaturan staf masih perlu ditingkatkan (2–5). Penelitian terdahulu menunjukan dimensi yang memiliki respon positif baik yaitu, pembelajaran organisasi, kerjasama tim, keterbukaan komunikasi, serta umpan balik dan komunikasi terbuka. Sedangkan, dimensi yang memiliki respon positif kurang adalah pengaturan staf dan frekuensi pelaporan insiden (6–10).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) ada sekitar 1 dari 10 pasien di dunia pernah mengalami insiden selama mendapatkan pelayanan kesehatan, dan lebih dari setengah insidennya merupakan kejadian yang dapat dicegah, insiden yang berhubungan dengan pengobatan pasien terjadi sekitar separuhnya (11). Kejadian yang merugikan dan membahayakan keselamatan pasien salah satunya adalah adanya kesalahan pada saat proses pengobatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Kesalahan pegobatan dapat terjadi pada setiap fasenya, meliputi proses peresepan (prescribing), transkripsi (transcribing), peracikan (dispensing), dan pemberian obat (administering) (12).

Hasil studi yang dilakukan di Australia terdapat 1013 insiden yang dilaporkan selama 30 bulan dan paling banyak terjadi pada tahap prescribing (61,1%), lalu dispensing (25,7%) dan administration (23,5%) (Adie et al., 2021). Sedangkan, studi di Eropa menunjukan tingkat terjadinya insiden berkisar 0,3% – 9,1% pada tahap prescribing, dan 1,6% – 2,1% pada tahap dispensing (13). Insiden yang banyak dilaporkan di Spanyol seperti, dosis tidak tepat (34,7%), omission error (40%), dan kesalahan pada tahap administrasi (14). Penelitian Kusumahati et al., (2018) di depo farmasi salah satu rumah sakit di Bandung, ditemukan 95 kesalahan ditemukan pada fase penyiapan, tahap pengambilan obat dan entri data merupakan tahap yang paling berisiko (15). Berdasarkan penelitian Nurul R (2020) juga ditemukan 22 insiden pada tahap peracikan, dengan insiden tertinggi terkait dengan LASA yaitu, kesalahan pengobatan (40%) dan label obat yang salah (27%) (16).

Insiden yang terlaporkan dalam lingkup pelayanan farmasi diperkirakan hanya menggambarkan 10% dari kejadian nyata (17). Rendahnya pelaporan bisa terjadi karena beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan dan pelatihan, lama masa kerja, dan jenis profesi (8,18–20).

Pada Agustus 2021, WHO menegaskan kembali dalam Global Patient Safety Action Plan 2021-2030 memastikan keselamatan pasien merupakan tanggung jawab bersama dari pemerintah, fasilitas kesehatan, hingga sektor swasta. Salah satu strategi yang digunakan dengan penguatan sistem pelaporan dan pembelajaran untuk insiden terkait keselamatan pasien (21). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Kesemalatan Pasien menegaskan bahwa seluruh fasilitas kesehatan harus mengatasi insiden untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien. Insiden yang terjadi harus dilaporkan secara internal kepada Tim Keselamatan Pasien dalam waktu 2×24 jam, serta secara eksternal kepada KNKP (Komisi Nasional Keselamatan Pasien) Kementerian Kesehatan RI (22).

Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien menganut prinsip No Naming, No Shaming, dan No Blaming yang menjadi data dasar untuk proses pembelajaran sehingga dapat mencegah terulangnya kesalahan yang pada akhirnya akan meningkatkan budaya keselamatan pasien (23). Instalasi farmasi Rumah Sakit X yang mempunyai tanggung jawab dalam hal penerimaan resep obat, peracikan obat, hingga pemberian obat kepada pasien maka penting mengetahui budaya keselamatan pasien serta insiden dan tata cara pelaporannya.

Metode

IAlat

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah informed consent dan kuesioner Hospital Survei on Patient Safety Culture (HSOPSC), serta Laporan Komite Mutu 2023.

Informed consent dan Kuesioner Budaya  Keselamatan Pasien

Informed consent merupakan lembar persetujuan menjadi responden yang diisi oleh pasien. Kuesioner Hospital Survei on Patient Safety Culture (HSOPSC) dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yang valid, reliabel, dan sudah diterjemahkan oleh Tambajong dkk dalam Adaptasi Linguistik Kuesioner Hospital Survei on Patient Safety Culture ke Versi Indonesia. Instrumen ini akan menghasilkan gambaran seberapa besar keselamatan pasien telah menjadi budaya kerja di pegawai instalasi farmasi rumah sakit.

Dokumentasi Insiden Keselamatan Pasien

Dokumen yang dipelajari pada penelitian ini   adalah  dokumen pelaporan insiden  dan Laporan Komite Mutu 2023, untuk melihat gambaran pelaporan dan insiden yang pernah terjadi di unit instalasi farmasi rumah sakit.

Bahan

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang ada di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan menandatangani surat persetujuan sebagai responden. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pegawai yang cuti melahirkan selama waktu penelitian berlangsung.

Prosedur Rinci

Penelitian ini dimulai sejak November 2023. Pengambilan data dilakukan pada Maret – Mei 2024 di Instalasi Farmasi Rumah Sakit X. Penelitian ini menggunakan metode retrospektif dengan pendekatan deskriptif, dengan melihat gambaran budaya keselamatan pasien yang telah menjadi bagian dari budaya kerja petugas instalasi farmasi di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner Hospital Survei on Patient Safety Culture (HSOPSC) dan Laporan Komite Mutu 2023.

Pengukuran terhadap kuesioner yang mencakup 12 dimensi ini menggunakan Ms. Excel yang dianalisa univariat untuk mengukur distribusi frekuensi dari masing-masing dimensi. Dilakukan perhitungan total persentase untuk kategori tertinggi dari setiap item pertanyaan.

% Respon positif = (Jumlah respon kategori positif)/(Jumlah respon positif) x 100%

Setelah didapatkan persentase respon positif dari masing-masing 12 dimensi, selanjutnya dilakukan perhitungan rata-rata persentase respon positif, untuk mendapatkan nilai budaya keselamatan pasien secara menyeluruh. Suatu budaya keselamatan pasien dikatakan baik jika respon positif bernilai > 70%, dikatakan sedang jika respon positif bernilai 50-70%, dan dikatakan kurang jika respon positif bernilai <50% (9). Analisis dokumen laporan komite mutu 2023 berdasarkan indikator mutu farmasi yang belum tercapai pada tahun 2023.

Hasil

Karakteristik Responden

Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture versi Indonesia yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti Tambajong et al., (2022) (24). Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 51 sampel, namun hanya direspon oleh 45 responden, 5 sampel tidak bersedia menjadi responden dan 1 sampel izin cuti melahirkan. Karakteristik responden pada penelitian ini ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Penilaian Budaya Keselamatan Pasien

Hasil analisis terhadap 12 dimensi yang menggambarkan budaya keselamatan pasien disajikan dalam bentuk persentase, yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Respon Positif Budaya Keselamatan Pasien

Pegawai dengan budaya kurang ketiganya memiliki budaya keselamatan pasien dengan respon positif dibawah 50%, ketiganya merupakan TTK yang tidak kontak dengan pasien. Karakteristik ke 3 pegawai seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Karakteristik Pegawai dengan Respon Positif Kurang

Studi Dokumen Laporan Insiden

Keselamatan pasien merupakan salah satu faktor mutu dalam sebuah pelayanan kesehatan. Indikator mutu yang tidak tercapai oleh instalasi farmasi RS X pada tahun 2023, yaitu seperti pada Tabel 4 berikut (25).

Tabel 4. Indikator Mutu Farmasi yang Tidak Tercapai Tahun 2023

Pembahasan

Karakteristik Responden

Pada Tabel 1, terdapat 45 pegawai instalasi farmasi yang terdiri dari usia dewasa akhir 36-45 tahun sebanyak 38%, lansia awal 46-55 tahun sebanyak 31%, dewasa awal 26-35 tahun sebanyak 18%, remaja akhir 17-25 tahun sebanyak 9%, dan lansia akhir >56 tahun sebanyak 4%. Penduduk di Indonesia yang telah memasuki usia kerja atau usia produktif berkisar antara 15-64 tahun (26). Usia yang lebih muda pada umumnya mampu bekerja lebih optimum dibandingkan dengan pegawai yang sudah berusia lebih tua, karena fisik yang dimiliki pegawai dengan usia lebih tua semakin lemah dan terbatas (27). Namun, semakin bertambahnya usia juga memiliki pengalaman kerja yang lebih banyak, pengetahuan yang lebih luas, serta pemahaman tentang pekerjaannya lebih tinggi (28). Selain itu, pegawai yang berusia tua dapat bekerja dengan ulet dan bertanggung jawab sama dengan pegawai yang berusia muda (29).

Responden didominasi oleh pegawai berjenis kelamin Perempuan sebanyak 30 orang (67%) dan pegawai laki-laki sebanyak 15 orang (33%).  Budaya keselamatan yang baik didominasi oleh perempuan, dikarenakan pada umumnya perempuan lebih sensitif dalam menjaga keamanan, kualitas perawatan pasien, serta penggunaan prinsip keselamatan (30). Namun, baik perempuan atau laki-laki memiliki peluang yang sama menjadi pegawai professional (31).

Pendidikan terakhir responden pada penelitian ini didominasi oleh D3 sebanyak 22 orang (49%), Pendidikan Profesi sebanyak 13 orang (29%), Pendidikan S1 sebanyak 5 orang (11%), Pendidikan SMA/SMK sebanyak 4 orang (9%), dan Pendidikan S2 sebanyak 1 orang (2%). Kemampuan kerja mempunyai hubungan erat dengan pendidikan untuk seorang tenaga kefarmasian. Pegawai yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan sesuai dengan profesinya akan mampu melaksanakan pelayanan pada pasien dengan baik.

Profesi pada penelitian ini, TTK sebanyak 21 orang (47%), apoteker praktik sebanyak 13 orang (29%), staff administrasi sebanyak 10 orang (22%), dan apoteker penanggungjawab 1 orang (2%). Penelitian Suganda (2021) menyatakan bahwa semakin tinggi posisi perawat, maka budaya keselamatan pasien yang dimiliki juga lebih baik (32). Perawat pada posisi manajerial umumnya memiliki pengetahuan dan sikap keselamatan lebih dikarenakan banyaknya pengetahuan dan kegiatan lokakarya. Tetapi, pegawai yang berhubungan langsung dengan konsumen dituntut untuk bertanggung jawab terhadap konsumen dan bersikap disiplin (33).

Responden pada penelitian ini, sudah pernah mendapat pelatihan terkait dengan keselamatan pasien sebanyak 40 orang (89%) dan pegawai yang belum mendapat pelatihan sebanyak 5 orang (11%). Pelatihan yang cukup dapat meningkatkan motivasi pelaporan insiden (34–36). Rumah sakit melaksanakan 2 pelatihan internal dan mengikuti 2 pelatihan eksternal. Pelatihan keselamatan pasien internal dilaksanakan setiap tahun, pelatihan ini untuk seluruh pegawai rumah sakit termasuk untuk pegawai farmasi. Pelatihan dengan pemateri yang telah terdaftar dan tersertifikasi oleh Kementerian Kesehatan diselenggarakan untuk membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien para pegawai dengan memahami dan mampu untuk membuat laporan insiden keselamatan pasien lalu menganalisa resikonya, serta meningkatkan komitmen pegawai pada keselamatan pasien. Instalasi farmasi juga terdapat 2 pegawai yang menjadi duta keselamatan pasien, tujuannya sebagai role model untuk mengevaluasi dan sosialisasi terkait keselamatan pasien.

Responden yang memiliki masa kerja di RS X selama 16-20 tahun sebanyak 12 orang (27%) sepeti pada Tabel 5, sebagian responden memiliki waktu yang cukup lama dalam menjalankan profesinya, masa kerja yang lama memberikan dampak yang positif yaitu berupa pengalaman kerja yang baik, sehingga dampaknya baik terhadap penerapan keselamatan pasien (37).

Tabel 5. Lama Masa Kerja di Rumah Sakit

Responden paling banyak dengan jam kerja 40-59 jam/minggu sebanyak 37 orang (82%) seperti pada Tabel 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, berlaku 2 skema jam kerja yang ada di Indonesia (38):

a.7 jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu yang berlaku untuk 6 hari kerja dengan ketentuan libur 1 hari

b. 8 jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam satu minggu yang berlaku untuk 5 hari kerja dengan ketentuan libur 2 hari

Pegawai dengan jam kerja lebih dari 40 jam dalam satu minggu tidak sesuai dengan undang-undang dan hal ini juga dapat menyebabkan kelelahan sehingga menurunkan konsentrasi yang bisa mempengaruhi budaya keselamatan pasien yang dapat berdampak kepada pasien, namun kelebihan jam kerja biasanya diberikan tunjangan overtime untuk pegawai tersebut. Pegawai dengan jam kerja kurang dari 40 jam dalam seminggu, bisa jadi merupakan pekerja paruh waktu.

Tabel 6. Lama Waktu Kerja dalam Seminggu

Penilaian Budaya Keselamatan Pasien

Suatu budaya keselamatan pasien dikatakan baik jika respon positif bernilai > 70%, dikatakan sedang jika respon positif bernilai 50-70%, dan dikatakan kurang jika respon positif bernilai < 50%. Pada Tabel 2 digambarkan bahwa Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit X mempunyai budaya baik, dimana rata-rata respon positifnya mencapai 74%. Terdapat 9 dimensi dengan respon positif baik, 2 dimensi dengan respon positif sedang, dan 1 dimensi dengan respon positif kurang.

Dimensi dengan respon positif sedang yaitu dimensi frekuensi pelaporan insiden (64%). Rendahnya frekuensi pelaporan insiden tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan Asrofi (2018) dan Febriyanty (2018) bahwa hal ini mengandung makna ada insiden yang belum dicatat dan dilaporkan, terutama insiden yang sudah teratasi masalahnya atau insiden yang dianggap hal kecil. Hambatan yang mungkin terjadi pada pelaporan adalah perasaan takut akan konsekuensi, takut disalahkan, atau kurangnya pemahaman dalam pelaporan insiden (7,9).

Rendahnya frekuensi pelaporan juga bisa disebabkan karena pegawai merasa takut akan hukuman dan kritik, hal ini bisa dilihat pada dimensi respon tidak menghukum terhadap kesalahan yang masih rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Asrofi (2018), Febriyanty (2018), dan WHO (2023) bahwa selama masih ada budaya menyalahkan dapat menimbulkan keengganan pegawai untuk melaporkan insiden, pegawai masih merasa khawatir akan konsekuensi dan kesalahan yang dilakukan disimpan dalam berkas personalia mereka.

Dimensi dengan respon positif kurang yaitu dimensi pengaturan staf (47%). Hasil dari kuesioner diketahui bahwa pegawai di unit farmasi bekerja dalam waktu yang lebih lama dan melakukan banyak hal dalam waktu yang terlalu cepat. Pada kuesioner, beberapa responden juga memberikan komentar perlunya dilakukan analisis beban kerja untuk mengevaluasi pemenuhan kebutuhan jumlah tenaga kefarmasian di layanan farmasi. Beban kerja yang dirasa terlalu berat karena waktu kerja yang mendesak dan dilakukan secara terburu-buru dapat menyebabkan kualitas pengawasan yang rendah. Beban kerja yang berlebihan juga menimbulkan berbagai efek seperti kelelahan fisik yaitu sakit kepala dan gangguan pencernaan atau mental yaitu stress kerja, serta reaksi emosional seperti kelalaian, lupa dan mudah marah sehingga secara potensial dapat membahayakan pasien dan pegawai (39).

Menurut Asrofi (2018) adanya budaya menyalahkan merupakan salah satu bentuk rendahnya dukungan manajemen terhadap keselamatan pasien, namun pada hasil kuesioner menunjukkan bahwa dimensi harapan manajer dan tindakan yang mendukung keselamatan pasien sudah termasuk kategori baik yaitu sebesar 81%. Hal ini bermakna bahwa rumah sakit perlu meyakinkan pegawainya bahwa tidak ada konsekuensi atau hukuman yang didapat bila melaporkan insiden, namun agar tidak terulang kembali insiden yang sama, rumah sakit perlu melakukan pelatihan atau sosialisasi terkait keselamatan pasien secara berulang.

Rendahnya frekuensi pelaporan juga bisa dikarenakan beban kerja pegawai yang tinggi, hal ini bisa dilihat pada dimensi pengaturan staf yang mempunyai respon positif yang rendah. Hasil yang sama pada penelitian Asrofi (2018) bahwa kesibukan dan beban kerja tinggi membuat petugas tidak memiliki cukup waktu untuk melaporkan (7).

Pada penilaian Budaya Keselamatan Pasien dilakukan juga analisis jawaban kuesioner pada masing-masing pegawai. Hasil kuesioner ini merupakan respon dari 45 orang pegawai instalasi farmasi RS X, pegawai yang memiliki budaya baik ada 29 orang, pegawai dengan budaya sedang ada 13 orang, dan pegawai dengan budaya kurang ada 3 orang. Perlu dipertahankan untuk pegawai yang sudah memiliki budaya baik, dan perlu peningkatan bagi pegawai yang masih memiliki budaya sedang dan kurang.

Pada Tabel 3, Responden 33 yang masih tergolong usia remaja akhir dengan masa kerja yang belum terlalu lama dan pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien, ini menunjukan bahwa pengalaman kerja yang dimiliki belum banyak dan masih kurangnya pemahaman mengenai keselamatan pasien. Responden 42 tergolong usia lansia awal yang belum pernah mendapatkan pelatihan keselamatan pasien dan Responden 45 tergolong usia dewasa akhir yang pernah mendapatkan pelatihan keselamatan pasien, keduanya memiliki masa kerja yang cukup lama. Masa kerja yang semakin lama juga dapat memberikan pengaruh negatif seperti kelelahan dan kebosanan (40).

Berdasarkan komentar yang diberikan oleh pegawai instalasi farmasi mengenai keselamatan pasien, kesalahan, atau pelaporan insiden di instalasi farmasi Rumah Sakit X menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan unsur penting dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dan harus menjadi prioritas utama. Hal ini sudah sejalan dengan RS X yang menyelenggarakan tata kelola mutu untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien, RS juga mengadakan pelatihan untuk seluruh staffnya agar bisa lebih profesional menjalankan tugasnya. Paradigma keselamatan pasien di RS X sudah berubah menjadi pelaporan insiden sebelum terjadinya insiden.

Ketelitian dan ketepatan diperlukan untuk menjaga keselamatan pasien. Pegawai instalasi farmasi RS X juga menjaga 7 benar, yaitu benar obat, benar pasien, benar aturan pakai, benar dosis, benar dokumentasi, benar informasi, dan benar waktu. Prinsip 7 benar merupakan salah satu pedoman untuk mengevaluasi dan mencegah salah pemberian obat. Pelaksanaan 7 prinsip menjadi hal yang penting untuk mengurangi dampak negatif akibat kesalahan pengobatan pasien dan medication error (41). Bila ada kesalahan pengobatan maka pegawai di instalasi farmasi berusaha memperbaiki agar pasien tidak cedera dan melaporkan kesalahan itu.

Pelaporan insiden dilakukan oleh petugas yang menemukan insiden pertama kali dan dilaporkan ke komite mutu rumah sakit dalam waktu 1×24 jam. Pada Permenkes RI Nomor 11 Tahun 2017, bahwa setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada tim Keselamatan Pasien pada waktu paling lambat 2×24 jam. Pelaporan dilakukan dengan sistem anonim dan tidak menghukum. Rumah Sakit X menyediakan pelaporan secara online via google form yang isinya sesuai dengan Formulir Laporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, hal ini memudahkan pegawai untuk melaporkan insiden yang terjadi.

Pelaporan yang dilakukan bukan untuk menghakimi tetapi menjadi bahan evaluasi pelayanan kesehatan untuk selalu lebih baik dan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya medication error sehingga dapat membantu menemukan penyelesaian masalah yang terjadi. Pelaporan insiden yang terjadi juga diberikan feedback oleh manajemen guna mencegah kesalahan yang sama terulang kembali. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang valid dan akurat sangat penting untuk menentukan evaluasi program pelayanan dan mendasari perbaikan sistem pelayanan serta mencegah terjadinya insiden berulang, sehingga menciptakan pelayanan kesehatan berbasis keselamatan (42).

Namun untuk menjaga dan menjadi lebih baik lagi dalam hal keselamatan pasien perlu dilakukannya sosialisasi menyeluruh dan berulang terkait dengan cara penanganan insiden, kepatuhan pelaporan, maupun dampak-dampak negatif dari insiden keselamatan pasien. Analisis beban kerja juga perlu dilakukan, beban kerja yang melebihi kapasitas serta pekerjaan yang banyak dan beragam bisa membuat fokus petugas menjadi terbagi sehingga meningkatkan risiko terjadinya insiden dan menurunkan keselamatan pasien. Analisis beban kerja perlu dilakukan juga untuk mengevaluasi pemenuhan kebutuhan jumlah tenaga kefarmasian di layanan farmasi.

Studi Dokumen Laporan Insiden

Pelaporan insiden merupakan program dari Sub Komite Keselamatan Pasien yang menjadi bagian dari Komite Mutu Rumah Sakit X dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Berdasarkan hasil studi dokumen, rumah sakit telah memberlakukan kebijakan, pedoman, dan program kerja terkait keselamatan pasien.

Pada Tabel 4, di tahun 2023 kejadian kesalahan peresepan obat mengalami penurunan yaitu menjadi 0,07% terdapat 102 kejadian kesalahan pada resep obat racikan, data ini menurun dari tahun sebelumnya dengan persentase insiden 0,13% seperti pada Tabel 7. Studi yang dilakukan WHO bahwa insiden yang terjadi di negara berkembang paling banyak pada fase peresepan sebesar 78%, penyebabnya bisa dikarenakan peresepan dengan tulisan tangan (11).

Tabel 7. Indikator Mutu Farmasi yang Tidak Tercapai Tahun 2022

Medication error fase peresepan berarti adanya kesalahan pada proses peresepan sehingga berpotensi memberikan kerugian dan dapat membahayakan pasien (43). Menurunnya insiden yang terjadi pada fase peresepan dikarenakan Rumah Sakit X menerapkan resep elektronik pada tahun 2022, sesuai dengan penelitian Enjel et al., (2023) bahwa peresepan elektronik dapat meminimalkan terjadinya kesalahan pada tahap peresepan (44).

Insiden pada fase peresepan yang terjadi berkaitan dengan penulisan pesanan obat, seperti tulisan dokter yang tidak jelas atau sulit terbaca sehingga dapat menyebabkan kesalahan baca resep obat. Selain itu, kesalahan yang terjadi pada proses peresepan dapat meliputi, tidak ada nama dokter, tidak ada paraf dokter, tidak ada berat badan pasien, tidak ada dosis dan jumlah obat, aturan pemakaian yang tidak jelas, tidak ada bentuk sediaan, tidak ada umur pasien, dan tidak ada tanggal resep (44).

Tidak adanya nama dan paraf dokter merupakan kesalahan yang penting karena apabila suatu resep terjadi sebuah kesalahan, maka petugas kefarmasian bisa langsung mengkonfirmasi ke dokter terkait dengan informasi resep yang ditulis (45). Tidak adanya berat badan dan umur pasien akan berdampak pada perhitungan dosis sediaan yang akan diberikan. Setiap pasien memiliki keadaan tubuh berbeda-beda, hal ini memungkinkan akan berdampak pada kesalahan pengobatan dan terapi obat kepada pasien khususnya perhitungan dosis pada anak (46).

Pada Tabel 6, indikator mutu yang tidak tercapai lainnya yaitu terkait pelaksanaan dan dokumentasi high alert double check terjadi 2 insiden pada tahun 2023, kejadian ini tidak dilakukan sesuai standar dan hanya di cek oleh satu petugas. Perlu dilakukan pengecekan ganda untuk obat-obat yang perlu diwaspadai dan cairan elektrolit konsentrat karena memiliki kompilasi lebih tinggi dalam menyebabkan komplikasi, efek samping atau bahaya.

Prosedur dalam pemberian obat memiliki kelemahan yaitu sebuah perbedaan pemikiran atau pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga profesi yang sama dalam menjabarkan pengetahuannya tentang prosedur double checking, perbedaan pemikiran tentu beresiko terhadap keamanan dan keselamatan pasien (47). Terkait dengan insiden pelaksanaan dan dokumentasi high alert double check, komite mutu memberi rekomendasi agar petugas farmasi berkomitmen serta saling mengingatkan secara terus menerus kepada petugas terkait high alert double check. Pentingnya keamanan dan keselamatan pasien maka diperlukan juga upaya peningkatan pengetahuan, salah satunya dengan pelatihan dan simulasi tentang prosedur double checking untuk obat high alert (48).

Pada Tabel 6, tidak tercapainya Perencanaan tahunan BMHP yang memenuhi TKDN minimal 25%, karena BMHP yang datang hampir semua barang gigi, sehingga mayoritas tidak ada TKDN. Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di rumah sakit di atur oleh Instalasi Farmasi dengan sistem satu pintu (49). Pasal 61 PP 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri memuat kewajiban menggunakan produk dalam negeri dengan nilai TKDN minimal 25%. Secara garis besar, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan nilai persentase dari komponen berbagai produksi di dalam negeri (Kemenkuham RI, 2018). Nilai TKDN produk farmasi berdasarkan kandungan bahan baku, proses penelitian dan pengembangan, proses produksi, proses pengemasan (50).

Kesimpulan

Budaya keselamatan pasien di instalasi farmasi Rumah Sakit X dikategorikan baik dengan rata-rata respon positif 74% yang terdiri dari 12 dimensi. Terdapat 9 dimensi dengan respon positif baik, 2 dimensi dengan respon positif sedang, dan 1 dimensi dengan respon positif kurang. Insiden yang terjadi di instalasi farmasi Rumah Sakit X adalah medication error fase peresepan dan insiden terkait pelaksanaan high alert double check. Sistem pelaporan insiden keselamatan pasien sesuai dengan peraturan undang-undang yang ada.

Daftar Pustaka

  1. Westat J, Sorra N, Yount T, Famolaro MPS, Gray MBAL. AHRQ Hospital Survey on Patient Safety Culture Version 2.0: User’s Guide [Internet]. 2021. Available from: http://www.ahrq.gov
  2. Aboneh EA, Stone JA, Lester CA, Chui MA. Evaluation of patient safety culture in community pharmacies. J Patient Saf. 2020 Mar 1;16(1):E18–24.
  3. Alsaleh FM, Abahussain EA, Altabaa HH, Al-Bazzaz MF, Almandil NB. Assessment of patient safety culture: a nationwide survey of community pharmacists in Kuwait. BMC Health Serv Res. 2018 Nov 22;18(1):884.
  4. Al-Surimi K, Alwabel AM, Bawazir A, Shaheen NA. Road towards promoting patient safety practices among hospital pharmacists Hospital-based baseline patient safety culture assessment cross-sectional survey. Medicine (United States). 2021;100(2).
  5. Yismaw MB, Tesfaye ZT, Hailu HG, Tegegn HG, Gebreyohannes EA. Evaluation of patient safety culture among community pharmacists in Ethiopia: A cross-sectional study. PLoS One. 2020 Aug 1;15(8 August).
  6. Arifuddin NF. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2019. 2019;
  7. Asrofi, Kusumawati W, Rosa EM. Evaluasi Program Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Yogyakarta; 2018.
  8. Farkhati MY, Rochmad WF, Oktariani S. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien  RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2019. Survey Budaya Keselamatan Pasien.
  9. Febriyanty D, Utami D. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan Metode AHRQ Pada Pegawai RS Anna Medika Kota Bekasi Tahun 2018. 2018;
  10. Tim Keselamatan Pasien RS Paru Manguharjo. Laporan Hasil Survey Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit Paru Manguharjo Madiun. Madiun; 2021.
  11. WHO. Global burden of preventable medication-related harm in health care A systematic review [Internet]. 2023. Available from: https://iris.who.int/.
  12. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. 2014.
  13. European Collaborative Action on Medication Errors and Traceability (ECAMET). The Urgent Need to Reduce Medication Errors in Hospitals to Prevent Patient and Second Victim Harm. 2022 Mar.
  14. Delgado CM, Trenado Álvarez J, Sanz López E, Gómez MR, Galindo AS, Moro MN, et al. Medication error prevention in adult, paediatric and neonate Intensive Care Units in Spain [Internet]. 2022. Available from: www.clover-sgm.com
  15. Kusumahati E, Siti N, Choirul AN. Menanggulangi Kesalahan Pengobatan Bagi Pasien Peserta BPJS di Depo Farmasi Rawat Jalan Salah Satu Rumah Sakit Bandung. 2018;
  16. Nurul R T. Root Causes of Medication Errors In The Pharmacy Unit of A Mental Hospital In Indonesia. 2020.
  17. Depkes RI. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety). 2008;
  18. Farhah T. Hubungan Demografi Tenaga Kefarmasian dengan Pelaksanaan Patient Safety di RSUD Dr. R. Koesma Berdasarkan SNARS 2018 Edisi 1.1. 2022;
  19. Nurislami S, Pramesona A, Wintoko R, Zakiah Oktarlina R. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien: Literature Review [Internet]. 2023. Available from: http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
  20. Retnaningsih D, Program F, S1 S, Stikes K, Semarang WH. Beban Kerja Perawat Terhadap Implementasi Patient Safety di Ruang Rawat Inap. Vol. 11, The Soedirman Journal of Nursing). 2016.
  21. WHO. Global Patient Safety Action Plan 2021-2030: Towards eliminating avoidable harm in health care. 2021.
  22. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien. 2017.
  23. Mjadu TM, Jarvis MA. Patients’ safety in adult ICUs: Registered nurses’ attitudes to critical incident reporting. Int J Afr Nurs Sci. 2018 Jan 1;9:81–6.
  24. Tambajong MG, Pramono D, Utarini A, Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran P, Masyarakat K, Keperawatan dan, et al. Artikel Penelitian Adaptasi Linguistik Kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture ke Versi Indonesia. Vol. 04, The Journal of Hospital Accreditation. Tanggal Publikasi; 2022.
  25. Komite Mutu RSMM. Laporan Komite Mutu RSMM Tahun 2023. Bogor: PKJN RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor; 2023.
  26. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta; 2018.
  27. Aprilyanti S. Pengaruh Usia dan Masa Kerja Terhadap Produktivitas Kerja (Studi Kasus: PT. OASIS Water International Cabang Palembang). Vol. 1, Jurnal Sistem dan Manajemen Industri. 2017.
  28. Aprilia S. Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam penerapan IPSG (International Patient Safety Goal) pada akreditasi JCI (Joint Commission International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X tahun 2011 = The Factors affecting nurses in the implementation of IPSG (International Patient Safety Goals) on JCI (Joint Commission International) accreditation in the Inpatient Installation of X Private Hospital year 2011. 2011.
  29. Mulyana DS. Analisis Penyebab Insiden Kesehatan Pasien oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta. [Jakarta]: FKM UI; 2013.
  30. Brasaite I, Kaunonen M, Martinkenas A, Suominen T. Health care professionals’ attitudes regarding patient safety: Cross-sectional survey. BMC Res Notes. 2016 Mar 18;9(1).
  31. Essers C, Benschop Y. Enterprising Identities: Female Entrepreneurs of Moroccan or Turkish Origin in the Netherlands. Organization Studies. 2007 Jan;28(1):49–69.
  32. Suganda T, Hariyati RTS, Handiyani H, Rahman LOA, Afriani T. Hubungan Karakteristik Perawat dan Safety Attitude di Rumah Sakit Jakarta. Jurnal Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. 2021 Nov 30;4(2):167–76.
  33. Sampson WG. Work-related Stress in Hotels: An Analysis of the Causes and Effects among Frontline Hotel Employees in the Kumasi Metropolis, Ghana. Journal of Tourism & Hospitality. 2014;04(02).
  34. Mohamed MFH, Abubeker IY, Al-Mohanadi D, Al-Mohammed A, Abou-Samra AB, Elzouki AN. Perceived Barriers of Incident Reporting Among Internists: Results from Hamad Medical Corporation in Qatar. Avicenna J Med. 2021 Sep;11(03):139–44.
  35. Naome T, James M, Christine A, Mugisha TI. Practice, perceived barriers and motivating factors to medical-incident reporting: A cross-section survey of health care providers at Mbarara regional referral hospital, southwestern Uganda. BMC Health Serv Res. 2020 Apr 3;20(1).
  36. Yalew ZM, Yitayew YA. Clinical incident reporting behaviors and associated factors among health professionals in Dessie comprehensive specialized hospital, Amhara Region, Ethiopia: a mixed method study. BMC Health Serv Res. 2021 Dec 1;21(1).
  37. Rudyarti E. Analisis Hubungan Stres Kerja, Umur, Masa Kerja dan Iklim Kerja dengan Perasaan Kelelahan Kerja Pada Perawat. 2020.
  38. Kemenkumham RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. 2020.
  39. Mangkunegara. Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; 2005.
  40. Utami NN, Riyanto H, Evendi HA. Hubungan Antara Usia dan Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Industri Rumah Tangga Peleburan Alumunium di Desa Eretan Kulon Kabupaten Indramayu The Relationship Between Age and Employment With Work Fatigue in Domestic Industri Alumunium Smelting Eretan Indramayu. Vol. 3, Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2018.
  41. Adam M, Koch R. Pharmacology conections to nursing practice pearson. 2010;
  42. Komite Mutu RSUD Dr. Muhammed Zein Painan. Laporan Insiden Keselamatan Pasien Tahun 2022 RSUD Dr. Muhammed Zein Painan. 2022.
  43. Cahya S F, Zakiah O R, Utami N. Peresepan Elektronik (E-Prescribing) Dalam Menurunkan Kesalahan Penulisan Resep. Vol. 7, Nurul Utami |Peresepan Elektronik (E-Prescribing) Dalam Menurunkan Kesalahan Penulisan Resep Majority |. 2018.
  44. Enjel R, Mursyid M, Samsi AS. Analisis Medication Error pada Peresepan Manual dan Peresepan Elektronik Fase Prescribing di RSU ST Madyang Palopo. Jurnal Surya Medika. 2023 Dec 27;9(3):51–6.
  45. Khairurrijal MAW, Putriana NA. Farmasetika.com. 2018 [cited 2024 Jul 5]. Medication Erorr Pada Tahap Prescribing, Transcribing, Dispensing, dan Administration. Available from: https://doi.org/10.24198/farmasetika.v2i4.15020
  46. Mamarimbing M, Fatimawali, Bodhi W. Evaluasi Kelengkapan Resep dari Dokter Spesialis Anak padaTiga Apotek di Kota Manado. Journal of Pharmachon, Vol 1(2), 1–6. 2012;
  47. Hewitt T, Chreim S, Forster A. Double checking: A second look. J Eval Clin Pract. 2016 Apr 1;22(2):267–74.
  48. Anggreini YD, Kirana W, Yousriatin F, Safitri D, Hatmalyakin D. Pelatihan tentang Double Checking Pemberian Obat High Alert pada Perawat di Rumah Sakit Umum (RSU) YARSI Pontianak. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia (JAMSI) [Internet]. 2024;4(2):289–94. Available from: https://doi.org/10.54082/jamsi.877
  49. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. 2016.
  50. Kemenperin RI. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Farmasi. 2020

Cara mengutip artikel ini

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Formulasi Tablet Kunyah Kombinasi Tepung CangkangTelur dan Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera L.)

Majalah Farmasetika, 9 (Suppl 1) 2024, 83-96 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i7.58884Artikel PenelitianDownload PDFErni Rustiani*, Dea Muthia Zahara Zulkarnaen, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *