Majalah Farmasetika, 8 (3) 2023, 194-208
https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v8i3.44462
Artikel Penelitian
Mutiara Tonthawi1*, Ida Musfiroh2
1Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran,Indonesia
2Departemen Analisis Farmasi dan Kimia Medisinal Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Indonesia
*E-mail:
(Submit 11/01/2023, Revisi 14/01/2023, Diterima 12/02/2023, Terbit 21/03/2023)
Abstrak
Vitamin C merupakan salah satu antioksidan potensial yang dapat membantu mencerahkan warna kulit dan kerap kali digunakan dalam berbagai produk perawatan kulit, dikarenakan selain memiliki bioaktivitas sebagai stimulasi produksi kolagen, berfungsi juga sebagai agen pencerah kulit, UV protector, anti-aging (penuaan dini), mengurangi kerutan, mencegah bintik hitam pada wajah. Akan tetapi, Vitamin C ini sangat sensitif dan dapat terdegradasi menjadi dehydroascorbic acid akibat reaksi fotooksidasi dan hidrolisis. Tujuan review artikel ini adalah untuk memberikan informasi mengenai metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan stabilitas Vitamin C dalam sediaan kosmetik. Review ini menggunakan metode penelitian komparatif dengan mengumpulkan berbagi sumber pustaka primer dari 44 jurnal penelitian dengan kriteria jurnal dari tahun 2012 hingga 2022 yang membahas tentang metode peningkatan stabilitas Vitamin C dan kriteria eksklusinya ialah jurnal yang membahas tentang stabilitas sediaan injeksi Vitamin C. Hasil review dari beberapa artikel mengindikasikan bahwa stabilitas Vitamin C dapat ditingkatkan dengan menggunakan beberapa metode yaitu mikroenkapsulasi, pengurangan suhu dan waktu pemanasan, penyimpanan pada suhu rendah, penyesuaian nilai pH, peningkatan konsentrasi gliserin, pengurangan kandungan oksigen pada air, penyesuaian konsentrasi Vitamin C, dan penggunaan turunan Vitamin C. Selain itu, peningkatan stabilitas Vitamin C dapat dilakukan dengan penambahan eksipien seperti sodium metabisulfite, trace element, antioksidan lain, dan bahan penstabil.
Kata kunci: Vitamin C, Stabilitas, Kosmetik
Teks Lengkap:
Pendahuluan
Perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat dapat menyebabkan banyaknya radikal bebas baik itu berupa polusi kendaraan bermotor, gaya hidup masyarakat yang tidak sehat seperti rokok, junk food, dan lainnya. Hal tersebut dapat membuat tubuh rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan. Paparan radikal bebas dapat membuat daya tahan mudah menurun dan membuat sel-sel tubuh mudah rusak dan tidak mampu berfungsi dengan baik. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan potensial yang dapat membantu mencerahkan warna kulit dan kerap kali digunakan dalam berbagai produk perawatan kulit. Selain sifat antioksidannya, Vitamin C sangat penting untuk sintesis kolagen. Aplikasi topikal Vitamin C dapat mengembalikan struktur anatomi sambungan epidermal-dermal pada kulit. Selain itu, Vitamin C memiliki bioaktivitas sebagai agen pencerah kulit, UV protektor, anti-aging (penuaan dini), pencegah bintik hitam pada wajah, dan mengurangi risiko karsinogenesis. Vitamin C atau Asam Askorbat pertama kali diisolasi pada tahun 1923 oleh ahli biokimia Hungaria dan peraih Nobel Szent-Gyorgyi dan disintesis oleh Howarth dan Hirst (1)(2).
Vitamin C tersedia dalam beberapa bentuk aktif. Di alam, Vitamin C ditemukan sebagai L-Ascorbic Acid dan D-Ascorbic Acid. Keduanya pada dasarnya adalah molekul isomer. Namun, hanya L-Ascorbic Acid yang aktif secara biologis dan berguna dalam praktik medis. L-Ascorbic Acid adalah molekul bermuatan yang bersifat hidrofilik dan tidak stabil serta memiliki penetrasi yang buruk ke dalam kulit karena karakter hidrofobik dari stratum korneum. Penyerapan Vitamin C di usus dibatasi oleh mekanisme transpor aktif, oleh karena itu jumlah obat yang diabsorbsi terbatas meskipun dosis oral tinggi. Sehingga, bioavailabilitas Vitamin C di kulit tidak memadai bila diberikan secara oral. Oleh karena itu, penggunaan asam askorbat topikal lebih disukai dalam praktik dermatologi. Umumnya vitamin C terdapat dalam produk perawatan kulit berupa serum (3).
Tantangan terbesar dalam pemanfaatan Vitamin C adalah menjaga kestabilannya. Vitamin C merupakan bahan yang sangat sensitif dan dapat terdegradasi menjadi dehydroascorbic acid akibat reaksi fotooksidasi dan hidrolisis (4). Vitamin C mudah terdegradasi dalam media yang mengandung air, pada pH tinggi, suhu tinggi, dengan adanya oksigen dan ion logam. Proses degradasi ini biasanya disertai dengan perubahan warna pada formulasi, yang secara bertahap menjadi lebih kekuningan (1)(5). Degradasi Asam Askorbat merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan sejumlah reaksi dan interaksi dengan enzim ascorbat oxidase. Asam Askorbat sangat tidak stabil dalam sediaan larutan yang akan langsung mengubah senyawa tersebut menjadi Asam Dehidroaskorbat yang bersifat reversible. Asam Dehidroaskorbat merupakan bentuk Asam Askorbat dengan stabilitas rendah. Selanjutnya, Asam Dehidroaskorbat akan teroksidasi menjadi berbagai variasi senyawa, seperti 2,3-Diketo-L-Gulonic Acid dan L-Xylosome, reaksi oksidasi lanjutan ini tidak bersifat reversible. Oksidasi pada Asam Askorbat inilah yang menyebabkan adanya perubahan warna pada sediaan yang menjadi lebih pekat-gelap (6)(7). Oleh karena itu, penulisan artikel review ini bertujuan memberikan informasi mengenai metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan stabilitas Vitamin C dalam sediaan kosmetik dan diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan formulasi kosmetik yang akan dibuat.
M.Tonthawi, Majalah Farmasetika, 8 (3) 2023, 194-208
Metode
Pembuatan review artikel ini menggunakan metode penulisan komparatif dari beberapa jurnal yang didapat secara online dari google scholar dan elsevier. Studi literatur dimulai dari tanggal 2 Desember hingga 29 Desember 2022. Kriteria inklusi artikel ini ialah jurnal dari tahun 2012 hingga 2022 yang membahas tentang metode peningkatan stabilitas vitamin C dan kriteria eksklusinya ialah jurnal yang membahas tentang stabilitas sediaan vitamin C injeksi. Bagan alir studi literatur dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alir Metode Penulisan Review
Hasil
Hasil studi literatur dari beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa metode yang dapat meningkatkan stabilitas vitamin C. Metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas vitamin C telah dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Metode Peningkatan Stabilitas Vitamin C
Pembahasan
Mikroenkapsulasi
Enkapsulasi merupakan salah satu pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan stabilitas suatu zat yang rentan mengalami degradasi atau ketidakstabilan. Asam askorbat dapat dimuat ke dalam basis biomakromolekul melalui enkapsulasi fisik dan adsorpsi. Dibandingkan dengan nanopartikel asam askorbat yang dikelat mikrokapsul memiliki stabilitas yang lebih baik. Sistem mikrokapsul berdasarkan penghalang fisik memiliki kapasitas pemuatan Asam Askorbat yang lebih baik daripada nanopartikel kompleks. Metode penyiapan mikrokapsul saat ini meliputi spray chilling, spray drying dan complex coacervation. Spray drying adalah salah satu teknik yang paling umum
karena biayanya yang rendah, kontinuitas, dan produksi skala industri yang mudah. Keberhasilan sistem enkapsulasi dalam memberikan stabilitas terhadap Vitamin C dapat diketahui melalui pengujian morfologi, nilai polidispersitas, serta kurva distribusi ukuran partikel. Terdapat berbagai teknik dan agen pengenkapsulasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan sistem mikroenkapsulasi Vitamin C meliputi berbagai protein dan polisakarida, seperti gom arab, maltodekstrin, pektin, xyloglucan, dan sodium alginat. Agen enkapsulasi gelatin dan gom arab memberikan nilai efisiensi enkapsulasi paling tinggi yaitu 98%. Selain itu, minyak palem, air suling, dan surfaktan polivinil alkohol dalam Solid Lipid Microcapsules (SLMs) dapat memberikan nilai stabilitas kadar 97,62±08% Vitamin C pada pengujian stabilitas suhu 20-25°C selama 30 hari (8)(9). Gom Arab dan natrium alginat adalah polisakarida kategori GRAS berbiaya rendah, yang sering digunakan. Mikrokapsul natrium alginat/gom Arab yang dibuat dengan spray drying memiliki kapasitas pemuatan Asam Askorbat yang sangat baik, yang dapat mencapai lebih dari 90% (10). Selain itu, xyloglucan dapat juga digunakan sebagai bahan untuk mikrokapsul. Xyloglucan digunakan sebagai pengental, penstabil dan penghambat kristalisasi yang dapat memuat sekitar 96% Asam Askorbat. Sistem menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat dan menghambat degradasi Asam Askorbat, selama proses pemanasan produk. Setelah 60 hari penyimpanan pada suhu ruang, retensi Asam Askorbat dalam sistem masih sekitar 90% (11). Selain itu, lemak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan pengenkapsulasi untuk membuat mikrokapsul lipid padat untuk membungkus dan melindungi Asam Askorbat menggunakan teknik mikofluida. Namun, stabilitas penyimpanan Asam Askorbat dalam sistem yang mengandung minyak dapat dipengaruhi oleh oksidasi lipid dan ketidakstabilan termodinamika emulsi, yang lebih rendah dibandingkan protein stabil pembawa dan sistem mikrokapsul polisakarida (12)(13).
Pengurangan Suhu dan Waktu Pemanasan
Suhu dan lama pemanasan berpengaruh terhadap kandungan Vitamin C. Berdasarkan penelitiaan yang dilakukan oleh Septyani (2021), kadar Vitamin C yang diperoleh dari waktu pemanasan tercepat berturut-turut adalah 0,177%b/v; 0,158%b/v; 0,158%b/v; 0,150%b/v; 0,146%b/v. Berdasarkan variasi waktu pemanasan dengan suhu yang sama, dapat diketahui bahwa konsentrasi Vitamin C semakin menurun dengan bertambahnya waktu pemanasan. Hal tersebut dapat disebabkan karena semakin tinggi suhu yang digunakan maka konstanta kecepatan reaksinya semakin besar, kadar Vitamin C yang terdegradasi pun semakin besar. Vitamin C terdegradasi pada suhu tinggi karena molekul-molekul penyusun Vitamin C dapat terputus ikatannya sehingga Vitamin C terurai atau rusak. Semakin lama Vitamin C dipanaskan, maka semakin banyak Vitamin C yang teroksidasi, sehingga kandungan Vitamin C pada sampel semakin berkurang (14). Uji stabilitas terkait suhu juga dapat dilakukan dengan metode dipercepat yaitu dengan cara melakukan pemanasan sampel Vitamin C. Stabilitas Vitamin C semakin menurun pada suhu yang ekstrim atau panas berlebih yaitu diatas 22°C. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan terhadap cara penyimpanan, maka stabilitas Vitamin C semakin menurun. Dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan terhadap akan mempercepat terjadinya oksidasi sehingga stabilitas Vitamin C akan semakin berkurang (15). Berdasarkan pengujian terhadap waktu pemanasan, kadar Vitamin C yang diperoleh pada sampel tanpa pemanasan yaitu 0,16644 % b/v, pada sampel pemanasan selama 30 menit yaitu 0,06376% b/v, pada sampel pemanasan selama 60 menit yaitu 0,15675 % b/v, dan pada sampel pemanasan selama 90 menit yaitu 0,15288 % b/v. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui kenaikan waktu pemanasan dapat mempercepat terjadinya reaksi yang dapat mengganggu kestabilan Vitamin C. Semakin lama waktu pemanasan semakin banyak Vitamin C yang teroksidasi, sehingga kadar yang tersisa akan semakin berkurang karena adanya proses penguraian (16).
Penyimpanan Pada Suhu Rendah
Penyimpanan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi stabilitas suatu sediaan. Menurut Yuda (2016) penyimpanan sediaan yang mengandung Vitamin C tidak memiliki perbedaan kadar yang bermakna pada penyimpanan suhu dingin (5°C) dengan suhu kamar (27°C). Namun, terdapat perbedaan kadar yang signifikan dari kadar Vitamin C pada penyimpanan suhu panas berlebih (48°C). Diperoleh hasil kadar kandungan Vitamin C berturut-turut pada sampel I yang disimpan pada suhu dingin (5°C) 100,6%, suhu kamar (27°C) 99,2% dan suhu panas berlebih (48°C) 91,2%. Sedangkan kadar Vitamin C sampel II yang disimpan pada suhu dingin (5°C) 101,3%, suhu kamar (27°C) 102,8% dan suhu panas berlebih (48°C) 96,6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu panas berpengaruh signifikan terhadap penurunan kadar Vitamin C dalam sediaan. Degradasi Vitamin C paling cepat terjadi pada sediaan yang disimpan pada suhu 40°C dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu kamar (17). Namun, berdasarkan pengujian pengaruh suhu penyimpanan (4, -20 dan -80°C) dalam larutan standar 50 mg/mL dalam campuran ekstrak yang mengandung Vitamin C. Ditemukan bahwa Vitamin C stabil pada suhu kamar setelah 1 jam dengan nilai recovery masing-masing 98,6% dan 98,1% untuk larutan standar dan ekstrak. Setelah 2 jam penyimpanan pada suhu kamar, nilai recovery pelahan menurun dan setelah 5 jam terjadi penurunan Vitamin C sebesar 5,9% untuk larutan standar dan 6,3% untuk ekstrak. Berdasarkan hal tersebut, penyimpanan pada suhu kamar adalah pilihan yang buruk karena hanya stabil selama 2 jam atau kurang. Vitamin C cenderung lebih stabil jika disimpan pada suhu 4°C dan terlindung dari sinar matahari yang mana dapat tetap stabil setidaknya 24 jam, dengan nilai recovery masing-masing 98,2% dan 97,8% untuk larutan standar dan ekstrak. Penyimpanan pada suhu -20°C dapat menjaga kestabilan Vitamin C lebih lama lagi, yaitu selama 1 minggu dengan nilai recovery masing-masing 97,2% dan 96,7%. Penyimpanan Vitamin C dapat lebih stabil lagi pada penyimpanan -80°C yang mana kestabilan dapat dijaga hingga 4 minggu dengan nilai kehilangan kurang dari 2%. Hasil ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu rendah adalah kondisi yang paling efektif untuk mencegah degradasi Vitamin C (18)(19). Penyimpanan pada suhu rendah meminimalkan terjadinya degradasi pada Vitamin C, sehingga dapat
menjaga kandungan Vitamin C pada produk (20)(22). Degradasi Vitamin C selama penyimpanan mengikuti kinetika orde pertama berdasarkan model dinamis klasik (21).
Penyesuaian Nilai pH
Nilai pH sediaan yang berbeda dapat mempengaruhi stabilitas kandungan Vitamin C. pH rendah sekitar 3,4 dan 4,6 tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan Vitamin C dan memiliki persentase kehilangan kandungan Vitamin C yang tidak signifikan. Sedangkan, pada nilai pH yang lebih tinggi, 7,5 dan 8,1, kandungan Vitamin C dapat berkurang secara signifikan. Berdasarkan hal tersebut, stabilitas Vitamin C paling baik adalah pada pH 3,4. Hal tersebut dapat terjadi karena pada kondisi pH yang cenderung asam terjadi ionisasi Vitamin C yang membuatnya kurang rentan terhadap degradasi. Selain itu, penurunan pH dapat meningkatkan proporsi struktur Vitamin C yang tidak terdisosiasi untuk tetap mempertahankan stabilitasnya (23)(24). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herbig (2017) pH degradasi Vitamin C yang diuji pada pH 3,5, 5,5 dan 7,5, sediaan paling stabil pada pH 3,5 dengan konstanta laju 32 ± 2 10-4 mmol/kg/menit. Hal tersebut diduga karena kerentanan yang lebih tinggi dari bentuk monoionik Vitamin C yang dominan pada pH antara pKa 4,3 dan pKa 11,8. Selain itu, pada pH 3,5 terdapat dominasi bentuk Asam Askorbat yang terprotonasi penuh (25).
Penambahan Sodium Metabisulfit
Sodium metabisulfit dapat mencegah reaksi oksidasi Vitamin C. Asam Askorbat dalam 0,5% (b/v) sodium metabisulfit relatif lebih stabil dibandingkan Asam Askorbat dalam 0,05% (b/v) sodium metabisulfit. Pada penambahan sodium metabisulfite 0,5% (b/v) tidak terlihat degradasi Asam Askorbat dalam sampai 35 hari sedangkan degradasi Asam Askorbat dengan 0,05% (b/v) sodium metabisulfit terlihat jelas setelah 14 hari. Persentase degradasi Asam Askorbat dengan 0,05% b/v Sodium Metabisulfit dan 0,5% b/v Sodium Metabisulfit antara hari pertama dan terakhir analisis masing-masing adalah 23,94% dan 4%. Oleh karena itu, persentase Sodium Metabisulfit yang lebih tinggi efektif untuk menjaga stabilitas Vitamin C(7)(26). Sodium Metabisulfit berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mencegah reaksi pencokelatan karena memiliki sulfit yang dapat menginaktifkan kerja enzim yang dapat memicu reaksi browning (26).
Penambahan Trace Element
Penambahan selenium dan magnesium secara signifikan dapat meningkatkan stabilitas larutan Asam Askorbat masing-masing 34% dan 16%. Selenium memiliki aktivitas antioksidan yang dapat membuat penambahannya pada Asam Askorbat 0,3 mM secara signifikan meningkatkan stabilitas dari 95 hari menjadi 127 hari, yang mana nilai tersebut sekitar 34% di atas stabilitas larutan kontrol. Selain itu, penambahan magnesium juga dapat meningkatkan stabilitas larutan Asam Askorbat secara signifikan, yaitu sebesar 16% yang mana dapat menjaga stabilitasnya hingga 110 hari (27).
Peningkatan Konsentrasi Gliserin
Gliserin dapat digunakan untuk menjaga dan memperbaiki stabilitas suatu bahan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan uji stabilitas Vitamin C pada penyimpanan 8 minggu dengan suhu terjaga 25°C, sediaan yang paling stabil adalah sediaan yang mengandung gliserin paling besar. Sediaan yang mengandung gliserin 20% mengalami penurunan kadar Vitamin C yang paling sedikit yaitu sebesar 66,06 μg/mL atau sekitar 49,48% dari kadar total. Semakin besar konsentrasi gliserin yang digunakan membuat kestabilan Vitamin C makin terjaga yang mana sediaan tersebut mengalami penurunan kadar Vitamin C paling sedikit dibandingkan dengan sediaan yang mengandung konsentrasi gliserin lebih rendah (28). Beberapa poliol yang digunakan dalam kosmetik dapat memperpanjang waktu paruh Vitamin C, dan penambahan gliserin dapat meningkatkan stabilitas Vitamin C lebih efektif dibandingkan penambahan propilen glikol (29). Selain itu, penambahan asam poliakrilat dan gliserin dalam sediaan gel dapat mengurangi fotooksidasi Vitamin C secara signifikan(44).
Pengurangan Kandungan Oksigen pada Air
Dengan adanya oksigen, Asam Askorbat mudah terdegradasi menjadi asam dehidroaskorbat (DHA), yang rentan terhadap degradasi lebih lanjut, sehingga kehilangan aktivitas Vitamin C-nya(30). Pada kondisi aerobik, yaitu tanpa substitusi oksigen dalam air, Vitamin C yang terkandung akan terdegradasi secara signifikan setelah 6 jam. Namun, pada kondisi kurang oksigen, yang mana oksigen diganti dengan nitrogen, degradasi Vitamin C dapat diminalisisr. Pengurangan kadar oksigen terlarut dalam air dapat dilakukan dengan proses purging nitrogen, atau penambahan nitrogen kedalam larutan disertai dengan pemanasan (31). Pada suhu di atas 100°C, oksigen memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap degradasi Vitamin C. Oleh karena itu, menghilangkan semua oksigen termasuk oksigen terlarut adalah cara terbaik untuk meningkatkan stabilitas Vitamin C, terutama untuk sediaan yang proses pengolahannya dilakukan pada suhu tinggi (32).
Penyesuaian Konsentrasi Vitamin C
Selain gangguan faktor luar, konsentrasi Vitamin C dalam larutan juga akan mempengaruhi kestabilannya. Setelah penyimpanan pada suhu kamar dengan adanya cahaya selama 27 hari, larutan Vitamin C dengan konsentrasi 1% kehilangan sekitar 21% dari konsentrasi awal, sedangkan larutan Vitamin C dengan konsentrasi 10% hanya terdegradasi sekitar 8%. Menurut stabilitas dan kinetika degradasi asam askorbat, konsentrasi asam askorbat yang lebih tinggi memiliki konstanta laju degradasi yang lebih rendah (33).
Penambahan Antioksidan Lain
Kestabilan Vitamin C dapat dilindungi dengan menambahkan antioksidan lain. Vitamin C dan flavonoid dapat meregenerasi tokoferol dengan bereaksi dengan radikal tokoferoksil. Demikian pula, Vitamin C juga dapat diregenerasi oleh antioksidan tertentu. Diketahui bahwa konversi antara Asam Askorbat dan produk degradasinya Asam Dehidroaskorbat bersifat reversibel. Tert-butyl hydroquinone (TBHQ), yang sering digunakan sebagai antioksidan, diketahui dapat mempercepat konversi Asam Dehidroaskorbat menjadi Asam Askorbat, sehingga antioksidan tersebut dapat menstabilkan Asam Askorbat. Reaksi tersebut mengikuti model kinetik orde pertama, dan efisiensi regenerasi sebanding dengan waktu reaksi(34). Selain itu, alpha-tocopherol diketahui dapat memberikan efek stabilisasi pada fotodegradasi Asam Askorbat(35).
Penambahan Bahan Penstabil
Penambahan bahan penstabil tertentu seperti asam sitrat, asam tartarat dan asam borat dapat berpengaruh terhadap degradasi Vitamin C. Bahan penstabil tersebut efektif untuk menghambat laju degradasi Vitamin C baik di tempat terang maupun di tempat gelap. Asam sitrat memiliki aktivitas penghambatan degradasi yang lebih baik dibandingkan zat penstabil lainnya. Aktivitas penghambatan dari bahan penstabil dari yang paling baik secara urutan yaitu asam sitrat, asam tartarat dan asam borat. Asam sitrat dan asam tartarat bekerja atas dasar penonaktifan status triplet tereksitasi Asam Askorbat. Sedangkan asam borat memiliki aktivitas penghambatan degradasi melalui pembentukan kompleks dengan asam borat (36)(24).
Penggunaan Turunan Vitamin C
Turunan Vitamin C juga banyak digunakan untuk menstabilkan Vitamin C. Misalnya, asam 2-O-D-glukopiranosil-L-askorbat, Asam Askorbat glikosilasi di mana gugus hidroksil pada posisi C2 disubstitusi oleh residu glukosa, memiliki stabilitas termal dan sifat antioksidan yang sangat baik (37). Penerapannya turunan Vitamin C dapat menghindari degradasi dan mempertahankan kadar vitamin C yang tinggi (38). Turunan Vitamin C yang telah disintesis dengan aksi yang mirip dengan asam askorbat juga memiliki stabilitas kimia yang lebih baik. Dua turunan yang banyak digunakan dalam produk kosmetik adalah ascorbyl palmitate dan garam ascorbyl fosfat. Kedua turunan tersebut berbeda dalam kemampuannya untuk menembus kulit, sebagai akibat dari sifat hidrolipofiliknya yang berbeda (2). Selain itu, terdapat beberapa derivat Vitamin C lainnya yang dapat digunakan seperti 3-ethyl ascorbic acid, konjugat ascorbic acid-squalane, ascorbyl 2-glucosidase, tetra-isopalmitoyl ascorbate, magnesium ascorbyl phosphate, sodium ascorbyl phosphate, ascorbyl 2-phosphate-6-palmitat dan bentuk
prekursor asam askorbat(39)(40). 3-ethyl ascorbic acid adalah bentuk stabil dari Asam Askorbat yang dapat meingkatkan permeasi kulit dengan menggunakan pelarut tunggal yang tepat, seperti gliserol, propilen glikol, dan 1,2-hexanediol(39). Ascorbyl 2-glucoside memiliki hidrofilisitas yang kuat, permeabilitas yang lebih rendah dibandingkan Asam Askorbat, dan memiliki ketahanan terhadap reduksi dan oksidasi. Di dalam kelompok turunan Asam Askorbat non-garam, ascorbyl 6-palmitate, ascorbyl-2-glucoside, dan tetra-isopalmitoyl ascorbate memiliki stabilitas yang paling baik dan kemudahan formulasi yang lebih besar (43). Senyawa ini relatif stabil dalam formulasi kosmetik dan ketika dioleskan dapat dihidrolisis secara enzimatis di kulit menghasilkan Asam Askorbat (41)(42).
Kesimpulan
Peningkatan stabilitas Vitamin C dalam sediaan kosmetik dapat ditingkatkan dengan menggunakan beberapa metode. Vitamin C cenderung lebih stabil pada proses produksi dengan waktu pemanasan yang singkat dan suhu penyimpanan yang rendah. Vitamin C paling stabil pada sediaan dengan pH 3,5 dengan konstanta laju degradasi 32 ± 2 10-4 mmol/kg/menit. Stabilitas Vitamin C juga dapat ditingkatkan dengan melakukan mikroenkapsulasi menggunakan gelatin dan gom arab, peningkatan konsentrasi gliserin, pengurangan kandungan oksigen pada air, penyesuaian konsentrasi Vitamin C, dan penggunaan turunan Vitamin C seperti asam 2-O-Dglukopiranosil-L-askorbat atau turunan Vitamin C lainnya. Selain itu, peningkatan stabilitas Vitamin C dapat dilakukan dengan penambahan eksipien seperti 0,5% (b/v) sodium metabisulfit, penambahan trace element seperti magnesium dan selenium, penambahan antioksidan seperti seperti tert-butyl hydroquinone (TBHQ) dan alpha-tocopherol, dan penambahan bahan penstabil seperti asam sitrat, asam tartarat, atau asam borat.
Daftar Pustaka
1. Chambial S, Dwivedi S, Shukla KK, John PJ, Sharma P. Vitamin C in Disease Prevention and Cure: An Overview. Vol. 28, Indian Journal of Clinical Biochemistry. Springer; 2013. p. 314–28.
2. Humbert P, Louvrier L, Saas P, Viennet C. Vitamin C, Aged Skin, Skin Health [Internet]. 2018. Available from: www.intechopen.com
3. Telang P. Vitamin C in dermatology. Indian Dermatol Online J. 2013;4(2):143.
4. Ali Sheraz M, Fatima Khan M, Ahmed S. Stability and Stabilization of Ascorbic Acid Liquid(Water)-Solid(Benzoic acid) Mass Transfer in Two Phase Mini- Fluidized Bed View Project Stability of Ascorbic Acid View Project. Household and Personal Care Today [Internet]. 2015;10(3):22–5. Available from: https://www.researchgate.net/publication/321148774
5. Caritá AC, Fonseca-Santos B, Shultz JD, Michniak-Kohn B, Chorilli M, Leonardi GR. Vitamin C: One Compound, Several Uses. Advances for Delivery, Efficiency and Stability. Vol. 24, Nanomedicine: Nanotechnology, Biology, and Medicine. Elsevier Inc.; 2020. p. 1–15.
6. Doseděl M, Jirkovský E, Macáková K, Krčmová LK, Javorská L, Pourová J, et al. Vitamin C- Sources, Physiological Role, Kinetics, Deficiency, Use, Toxicity, and Determination. Vol. 13, Nutrients. MDPI AG; 2021. p. 1–36.
7. Sholagbade Adepoju T, Olasehinde E, Daniel Aderibigbe A. Effect of Sodium Metabisulphite and Disodium Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) on the Stability of Ascorbic Acid in Vitamin C Syrup. Researcher [Internet]. 2014;6(10):6–9. Available from: http://www.sciencepub.net/researcher
8. Az Zahra R. Kajian Pengembangan Sistem Mikroenkapsulasi untuk Peningkatan Stabilitas Vitamin C. Jurnal Ilmiah Farmasi Farmasyifa. 2022 Jul 31;5(2):212–25.
9. Anandharamakrishnan C, Ishwarya SP. Spray Drying for Nanoencapsulation of Food Components. In: Spray Drying Techniques for Food Ingredient Encapsulation. New York: JohnWiley & Sons; 2015. p. 180–97.
10. Barra PA, Marquez K, Gil-Castell O, Mujica J, Ribes-Greus A, Faccini M. Spray- Drying Performance and Thermal Stability of L-Ascorbic Acid Microencapsulated with Sodium Alginate and Gum Arabic. Molecules. 2019 Aug 7;24(16):2872.
11. Farias MDP, Albuquerque PBS, Soares PAG, de Sa DMAT, Vicente AA, Carneiro- a-Cunha MG. Xyloglucan from Hymenaea courbaril var. courbaril Seeds as Encapsulating Agent of L-Ascorbic Acid. Int J Biol Macromol. 2018 Feb;107(B):1559–66.
12. Comunian TA, Abbaspourrad A, Favaro-Trindade CS, Weitz DA. Fabrication of Solid Lipid Microcapsules Containing Ascorbic Acid Using a Microfluidic Technique. Food Chem. 2014 Jun 1;152:271–5.
13. Farhang B, Kakuda Y, Corredig M. Encapsulation of Ascorbic Acid in Liposomes Prepared with Milk Fat Globule Membrane-Derived Phospholipids. Dairy Sci Technol. 2012 Jul;92(4):353–66.
14. Vela Septyani L. Pengaruh Waktu dan Suhu Pemanasan Terhadap Stabilitas Sediaan Vitamin C Diukur dengan Metode Titrasi Iodometri Effect of Time and Temperature on Vitamin C Stability Measured by Iodometry Titration Method. Jurnal Dunia Farmasi. 2021;5(2):75–81.
15. Anggraini Y. Analisis Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Kadar Vitamin C. [Surabaya]: Akademi Farmasi Surabaya; 2022.
16. Vellina Damayanti P, Ngurah G, Prasetiapenulis JA. Pengaruh Suhu terhadap Stabilitas Larutan Vitamin C (Acidum ascorbicum) dengan Metode Titrasi Iodometri. Jurnal Ilmu Farmasi. 2021;12(2):17–20.
17. Yuda PESK, Suena NMDS. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Kadar Tablet Vitamin C yang Diukur Menggunakan Metode Spektrofotometri Uv-Vis (The Effect of Storage Temperature on The Concentration of Vitamin C Tablet were Measured using Uv-Vis Spectrophotometry). Jurnal Ilmiah Medicamento. 2016;2(1):23–7.
18. Spínola V, Mendes B, Câmara JS, Castilho PC. Effect of Time and Temperature on Vitamin C Stability in Horticultural Extracts. UHPLC-PDA vs Iodometric Titration as Analytical Methods. LWT. 2013;50(2):489–95.
19. Siriwoharn T, Surawang S. Protective Effect of Sweet Basil Extracts Against Vitamin C Degradation in a Model Solution and in Guava Juice. J Food Process Preserv. 2018;42(7).
20. Akyildiz A, Ağçam E, Mertoglu TS. Kinetic Study for Ascorbic Acid Degradation, Hydroxymethylfurfural and Furfural Formations in Orange Juice. Journal of Food Composition and Analysis. 2021;102(4):103996.
21. Peleg M, Normand MD, Dixon WR, Goulette TR. Modeling The Degradation Kinetics of Ascorbic Acid. Crit Rev Food Sci Nutr. 2018 Jun 13;58(9):1478–94.
22. Klu MW, Addy BS, Oppong EE, Sakyi ES, Mintah DN. Effect of Storage Conditions on The Stability of Ascorbic Acid in Some Formulations. International Journal of Applied Pharmaceutics. 2016;8(4):26–31.
23. Jabbari M, Khosravinia S. Thermodynamic Study on The Acid-Base Properties of Antioxidant Compound Ascorbic Acid in Different NaClO4 Aqueous Ethanol Solutions. J Braz Chem Soc. 2016 May 1;27(5):841–8.
24. Sheraz M, Khan M, Ahmed S, Kazi S, Ahmad I. Factors Affecting Formulation Characteristics and Stability of Ascorbic Acid in Water in Oil Creams. Int J Cosmet Sci. 2014;36(5):494–504.
25. Herbig AL, Renard CMGC. Factors That Impact The Stability of Vitamin C at Intermediate Temperatures in A Food Matrix. 2017;220:444–51. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.10.012
26. Suryani L, Zaini MA, Wayan I, Yasa S, Program A, Ilmu S, et al. The Effect of the Concentration of Sodium Metabisulfite and Drying Method Toward Vitamin C and Organoleptic of Banana Slice (Sale). Pro Food (Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan) [Internet]. 2016;2(1):85–93. Available from: http://profood.unram.ac.id/index.php/profood
27. Dolińska B, Ostróżka-Cieślik A, Caban A, Rimantas K, Leszczyńska L, Ryszka F. Influence of Trace Elements on Stabilization of Aqueous Solutions of Ascorbic Acid. Biol Trace Elem Res. 2012;150(1–3):509–12.
28. Sukmawati A, Laeha N ainee, Suprapto dan. Efek Gliserin sebagai Humectan Terhadap Sifat Fisik dan Stabilitas Vitamin C dalam Sabun Padat. Jurnal Farmasi Indonesia [Internet]. 2017;14(2):40–7. Available from: http://journals.ums.ac.id/index.php/pharmacon
29. Kim S, Lee TG. Stabilization of L-Ascorbic Acid in Cosmetic Emulsions. Journal of Industrial and Engineering Chemistry. 2018 Jan;57:193–8.
30. van Bree I, Baetens JM, Samapundo S, Devlieghere F, Laleman R, Vandekinderen I, et al. Modelling The Degradation Kinetics of Vitamin C in Fruit Juice in Relation to The Initial Headspace Oxygen Concentration. Food Chem. 2012 Sep;134(1):207–14.
31. Herbig AL, Maingonnat JF, Renard CMGC, Maingonnat JF. Oxygen Availability in Model Solutions and Purées during Heat Treatment and The Impact on Vitamin C Degradation. Food Science and Technology [Internet]. 2017;85:493–9. Available from: https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-01602562
32. al Fata N, Georgéa S, Dlalaha N, Renardb CMGC. Influence of Partial Pressure of Oxygen on Assorbic Acid Degradation at Canning Temperature. Innovative Food Science & Emerging Technologies. 2018;49(13):215–21.
33. Yin X, Chen K, Cheng H, Chen X, Feng S, Song Y, et al. Chemical Stability of Ascorbic Acid Integrated into Commercial Products: A Review on Bioactivity and Delivery Technology. Vol. 11, Antioxidants. MDPI; 2022.
34. Yu H, He Y, Wang M, Yang F, Xie Y, Guo Y, et al. Regenerative Efficacy of Tert- Butyl Hydroquinone (TBHQ) on Dehydrogenated Ascorbic Acid and Its Corresponding Application to Liqueur Chocolate. Food Biosci. 2021 Aug;42(11):101129.
35. Ahmad I, Sheraz MA, Ahmed S, Bano R, Vaid FHM. Photochemical Interaction of Ascorbic Acid with Riboflavin, Nicotinamide and Alpha-Tocopherol in Cream Formulations. Int J Cosmet Sci. 2012;34(2):123–31.
36. Ahmad I, Sheraz MA, Ahmed S, Shad Z, Vaid FHM. Photostabilization of Ascorbic Acid with Citric Acid, Tartaric Acid and Boric Acid in Cream Formulations. Int J Cosmet Sci. 2012 Jun;34(3):240–5.
37. Han R, Liu L, Du G, Chen J. Functions, Applications and Production of 2-O-D- Glucopyranosyl-L-Ascorbic Acid. Appl Microbiol Biotechnol. 2012 Jul;95(2):313– 20.
38. Zhang W, Huang Q, Yang R, Zhao W, Hua X. 2-O-D-Glucopyranosyl-L-Ascorbic Acid: Properties, Production, and Potential Application as a Substitute for L- Ascorbic Acid. Jurnal of Functional Foods. 2021 Jul;82(7):104481.
39. Iliopoulos F, Sil BC, Moore DJ, Lucas RA, Lane ME. 3-O-ethyl-l-ascorbic acid: Characterisation and Investigation of Single Solvent Systems for Delivery to The Skin. Int J Pharm X. 2019 Dec 1;1:100025.
40. Gref R, Deloménie C, Maksimenko A, Gouadon E, Percoco G, Lati E, et al. Vitamin C–Squalene Bioconjugate Promotes Epidermal Thickening and Collagen Production in Human Skin. Sci Rep. 2020 Dec 1;10(1).
41. Starr NJ, Hamid A, Wibawa J, Marlow I, Bell M, Pérez-García L, et al. Enhanced Vitamin C Skin Permeation from Supramolecular Hydrogels, Illustrated using In Situ ToF-SIMS 3D Chemical Profiling. Int J Pharm. 2019;563:21–9.
42. Jacques C, Genies C, Bacqueville D, Tourette A, Borotra N, Chaves F, et al. Ascorbic Acid 2-Glucoside: An Ascorbic Acid Pro-Drug with Longer-Term Antioxidant Efficacy in Skin. Int J Cosmet Sci. 2021 Dec;43(6):691–702.
43. Ravetti S, Clemente C, Brignone S, Hergert L, Allemandi D, Palma S. Ascorbic Acid in Skin Health. Cosmetics. 2019 Dec 1;6(4).
44. Golonka I, Kizior B, Szyja BM, Damek MP, Musiał W. Assessment of the Influence of the Selected Range of Visible Light Radiation on the Durability of the Gel with Ascorbic Acid and Its Derivative. Int J Mol Sci. 2022 Aug 1;23(15).
cara mengutip artikel ini
https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/44462/0