Majalah Farmasetika, 10 (3) 2025, 210-227
https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v10i3.63857
Artikel Penelitian
Annisa Hafizhah Saepudin1, , Ellin Febriana2, Intan Fauzia2
1Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi, Universitaas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia 45363
2Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia 45363
*E-mail : annisa20025@mail.unpad.ac.id
(Submit 30/05/2025, Revisi 16/06/2025, Diterima 17/06/2025, Terbit 03/07/2025)
Abstrak
Rumah Sakit adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dengan tujuan meningkatkatkan kualitas hidup pasien. Rumah sakit terdiri dari berbagai Instalasi salah satunya adalah Instalasi farmasi yang menunjang terwujudnya pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Sumber daya manusia yang kompeten dan terampil merupakan peran penting yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah sakit, yaitu apoteker dan tenaga vokasi farmasi sehingga tujuan pelayanan kefarmasian yang bermutu dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu jumlah sumber daya manusia di dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus seimbang dengan beban kerja yang dimiliki karena beban kerja yang berlebih dapat menyebabkan turunnya kualitas pelayanan yang dapat berdampak pada mutu rumah sakit sendiri. Metode Workload Indicator Staffing Need (WISN) menjadi salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis jumlah kebutuhan SDM di fasilitas kesehatan. Analisis kebutuhan apoteker dan tenaga vokasi farmasi (TVF) di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan dilakukan dengan metode WISN dan hasil yang didapatkan jumlah kebutuhan apoteker adalah 12-13 apoteker dengan rasio WISN-nya adalah 0,56, sedangkan jumlah kebutuhan TVF adalah 99 TVF dengan rasio WISN-nya adalah 0,08. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka rasio WISN memiliki nilai < 1 yang menunjukkan jumlah SDM apoteker dan TVF belum mencukupi beban kerja yang ada sehingga RSUD Al-Ihsan perlu melakukan pertimbangan kembali terkait jumlah, penempatan, maupun beban kerja yang dimiliki Depo Farmasi BPJS agar pelayanan kefarmasian tetap dilaksanakan secara maksimal dalam mewujudkan pelayanan yang bermutu bagi pasien RSUD Al-Ihsan.
Kata kunci: Rumah Sakit, Instalasi Farmasi, WISN, Sumber Daya Manusia
Teks Lengkap:
Pendahuluan
Rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang memiliki tugas dalam pelayanan kesehatan yang bersifat perorangan dan dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan tujuan dapat terwujudnya tingkat kesehatan yang tinggi di masyarakat sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit merupakan pelayanan yang telah dipastikan aman, bermutu, dan efektif (1). Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) menjadi salah satu fasilitas yang wajib dimiliki sebuah rumah sakit dan merupakan suatu instalasi yang menunjang terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu di rumah sakit tersebut. IFRS menjalankan pelayanan kefarmasian dalam dua hal, yaitu manajemen farmasi dan farmasi klinik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan terjaminnya ketersediaan sediaan farmasi yang tepat, penggunaan obat yang rasional, ketepatan pemberian dan pemberian informasi obat yang tepat kepada pasien, dan lain-lain (1–3). Oleh karena itu, IFRS menjadi fasilitas dan pelayanan yang berperan penting untuk meningkatkan mutu sebuah rumah sakit dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan pasien.
Dalam menunjang pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka setiap depo farmasi tersebut harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang sesuai dan terampil. Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit yang diatur dalam Permenkes 72 Tahun 2016 telah dinyatakan bahwa Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga vokasi farmasi yang sesuai dengan beban kerja dan petugas pendukung lainnya sehingga IFRS tersebut dapat mencapai tujuan dan target yang telah tersusun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan SDM di IFRS harus dilakukan secara matang dan penuh pertimbangan karena ketika jumlah SDM tidak sebanding atau seimbang dengan beban kerja yang dimiliki IFRS tersebut, maka dapat menyebabkan menurunnya mutu pelayanan sehingga berpotensi meningkatnya kesalahan pengobatan dan menurunkan kepuasan pasien (4,5). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kebutuhan tenaga kerja di IFRS berdasarkan beban kerja yang ada. Terdapat berbagai metode analisis kebutuhan tenaga kerja atau SDM yang dapat digunakan salah satunya dengan metode Workload Indicator of Staffing Need (WISN). WISN merupakan metode analisis yang dapat menggambarkan perkiraan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan secara lebih akurat, mudah, dan cepat berdasarkan beban kerja (6)
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al-Ihsan merupakan Rumah Sakit milik Provinsi Jawa Barat yang terklasifikasi sebagai rumah sakit Kelas B memiliki total tempat tidur adalah 645 bed dengan BOR 90% pada akhir tahun 2024. RSUD Al-Ihsan memiliki 32 instalasi, 17 klinik eksekutif, 31 klinik regular, dan 10 layanan prioritas, dan berbagai pelayanan unggulan seperti Pelayanan Jantung, Diabetic Center, dan Cancer Center. Instalasi Farmasi merupakan salah satu Instalasi yang dimiliki RSUD Al-Ihsan sebagai salah satu penunjang medik sehingga dapat tercapainya pelayanan bermutu di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi RSUD Al-Ihsan bersifat desentralisasi sehingga terdapat 10 depo farmasi yang diantaranya adalah Depo Farmasi Rawat Inap, Rawat Jalan Eksekutif, Rawat Jalan BPJS, IGD, IBS/OK, Cancer Center, Hemodialisa, Cathlab, dan Dots, serta gudang farmasi. Depo farmasi yang memiliki jumlah resep terbanyak salah satunya adalah Depo Farmasi BPJS sehingga berpotensi memiliki tingkat beban kerja yang tinggi. Hal ini menjadi pendorong untuk dilakukannya analisis kebutuhan tenaga farmasi di Depo Farmasi BPJS RSUD Al Ihsan dengan metode WISN.
Metode
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif bertujuan mengetahui kebutuhan tenaga farmasi di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian. Data dikumpulkan melalui wawancara kepada apoteker dan tenaga vokasi farmasi, data pelayanan kefarmasian, dan observasi secara langsung di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan pada Desember 2024. Analisis kebutuhan SDM menggunakan metode WISN dimulai dengan tahapan berikut :
Tahapan analisis
Menentukan Profesi dan Fasilitas Kesehatan
Profesi atau sumber daya manusia yang menjadi subjek penelitian ini adalah apoteker dan TVF di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan yang berjumlah 7 Apoteker dan 8 TVF.
Menentukkan Waktu Kerja Tersedia (WKT)
Waktu Kerja Tersedia (WKT) merupakan waktu yang dimiliki apoteker dan TVK untuk melaksanakan pekerjaanya dalam periode 1 tahun. WKT dihitung dengan total jumlah hari kerja yang dimiliki dalam periode waktu satu tahun dan dikurangin dengan ketidakhadiran karena adanya cuti tahunan, libur nasional, sakit, pelatihan, dan lainnya. WKT dihitung dengan rumus berikut :
WKT = A – (B + C + D + E)
Keterangan :
A : Jumlah hari kerja dalam 1 tahun
B : Jumlah cuti tahunan
C : Jumlah hari libur nasional
D : Jumlah ketidakhadiran karena sakit
E : Jumlah ketidakhadiran karena pelatihan dan lainnya.
Menentukkan Komponen Beban Kerja
Komponen beban kerja apoteker dan tenaga vokasi farmasi merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan di depo farmasi BPJS. Penentuannya berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan. Komponen beban kerja Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan dibagi menjadi aktivitas pokok, yaitu aktivitas utama seperti pelayanan kefarmasian atau pelayanan kesehatan. Selain itu, terdapat standar kelonggaran yang terdiri dari aktivitas pendukung dan individual
Menentukkan Standar Kegiatan
Standar kegiatan merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan aktivitas yang menjadi komponen beban kerja sesuai dengan standar. Data didapatkan dari hasil wawancara dan observasi dengan perhitungan secara langung aktivitasnya
Menentukkan Standar Beban Kerja
Standar beban kerja merupakan jumlah pekerjaan pada komponen beban kerja pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh apoteker maupun tenaga vokasi farmasi dalam periode waktu 1 tahun dengan membagi waktu kerja tersedia dengan waktu kegiatan rata-rata sebagai berikut:
Beban Kerja Standar =(Waktu kerja tersedia)/(Rata-rata waktu kerja)
Rata-rata waktu kerja didapatkan melalui hasil observasi secara langsung
Jumlah apoteker yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas pelayanan kesehatan dapat dihitung melalui rumus berikut :
Apoteker pelayanan kesehatan = (Kuantitas kegiatan pokok)/(Standar beban kerja)
Menghitung Standar Kelonggaran
Standar Kelonggaran merupakan jumlah apoteker maupun TVF yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas diluar pelayanan kesehatan yang terbagi menjadi aktivitas pendukung dan aktivitas individual. Standar Aktivitas pendukung (SAP) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh apoteker ataupun TVF yang dapat ditentukkan dengan rumus berikut :
Standar Aktivitas Pendukung (SAP) = (Rata-rata waktu kerja )/(Waktu kerja tersedia )
Penentuan jumlah apoteker ataupun TVF yang dibutuhkan dalam pelaksanaan aktivitas pendukung dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah SDM Aktivitas Pendukung = 1/(1-Total aktivitas pendukung)
Standar Aktivitas Individual (SAI) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh beberapa apoteker atau TVF yang telah ditunjuk atau ditugaskan yang dapat ditentukan dengan rumus berikut :
Standar Aktivitas Individual = Jumlah SDM x waktu kegiatan x frekuensi kegiatan dalam 1 tahun
Jumlah apoteker ataupun TVF yang dibutuhkan dalam menggantikan apoteker ataupun TVF yang sedang melaksanakan aktivitas tambahan:
Jumlah SDM Aktivitas Individual = (Total waktu aktivitas tambahan (1 tahun))/(Waktu kerja tersedia)
Menghitung Kebutuhan Total SDM
Kebutuhan apoteker maupun TVF dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:
Total Apoteker/TVF = (SDM pelayanan kesehatan x SDM aktivitas pendukung) + SDM aktivitas individual.
Menganalisis dan Menginterpretasi Hasil Perhitungan
Hasil perhitungan jumlah SDM apoteker maupun TVF yang diperlukan dengan metode WISN selanjutnya diinterpretasikan menjadi rasio WISN antara jumlah apoteker/TVF actual atau sebenarnya dengan jumlah apoteker/TVF hasil perhitungan metode WISN sebagai berikut :
Rasio WISN = SDM aktualSDM perhitungan WISN.
Hasil
Analisis kebutuhan tenaga kefarmasian di Depo BPJS RSUD Al-Ihsan dengan metode WISN dimulai dengan melakukan wawancara kepada setiap apoteker dan TVF Depo BPJS RSUD Al-Ihsan terkait jumlah hari kerja dan ketidakhadiran karena berbagai alasan seperti cuti libur nasional, cuti tahunan, cuti karena sakit, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat dihitung waktu kerja tersedia untuk apoteker dan TVF. Tahapan selanjutnya adalah menentukkan standar beban kerja dengan cara membagi waktu kerja tersedia dalam satu tahun dengan rata-rata waktu per kegiatan yang didapatkan melalui observasi secara langsung dengan menghitung waktu setiap aktivitas pelayanan kesehatan di Depo BPJS RSUD Al-Ihsan. Setelah itu, dilakukan setiap tahapannya hingga mendapatkan total kebutuhan apoteker maupun TVF yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:
Waktu Kerja Tersedia Apoteker
Tabel 1. Waktu Kerja Tersedia Apoteker

Depo farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan beroperasi selama 5 hari kerja, dan berdasarkan perhitungan pada tabel 1 waktu kerja tersedia untuk apoteker dihitung dari hari kerja apoteker dalam 1 minggu, yaitu 5 hari kerja, dalam 1 tahun terdapat 52 minggu sehingga jumlah hari kerja apoteker dalam 1 tahun adalah 260 hari. Jumlah hari kerja tersebut dikurangi dengan jumlah rata-rata cuti atau ketidakhadiran apoteker dalam 1 tahun sehingga waktu kerja tersedia adalah 217 hari dan jam kerja dalam satu hari adalah 8 jam, maka jumlah waktu kerja dalam menit dan detik sesuai dengan tabel 1.
Standar Beban Kerja Apoteker
Tabel 2. Standar Beban Kerja Apoteker

Aktivitas pelayanan kesehatan merupakan aktivitas pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan yang diantaranya adalah melakukan penyiapan obat, penyerahan obat, dan pelayanan informasi obat pada 3 loket yang digolongkan berdasarkan jenis resep, yaitu kronis, non-kronis, dan lansia. Rata-rata waktu untuk setiap kegiatan ditentukan berdasarkan perhitungan secara langsung di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan, dan dibagi dengan waktu kerja tersedia sehingga didapatkan hasil standar beban kerja untuk setiap kegiatan tersebut yang tertera pada tabel 2.
Kebutuhan Apoteker Untuk Pelayanan Kesehatan
Tabel 3. Kebutuhan Apoteker Untuk Pelayanan Kesehatan


Kebutuhan apoteker Depo BPJS RSUD Al-Ihsan khusus untuk pelayanan kesehatan didapat dari total kebutuhan SDM apoteker pada setiap kegiatan pelayanan kesehatan yaitu 8,9 apoteker yang ditunjukkan pada tabel 3.
Aktivitas Kegiatan Pendukung Apoteker
Tabel 4. Aktivitas Kegiatan Pendukung Apoteker

Aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh semua apoteker di Depo Farmasi BPJS adalah ISHOMA, rapat bulanan, stock opname dan restock dengan rata-rata waktu kegiatan sesuai pada tabel 4 menjadi aktivitas kegiatan pendukung apoteker yang dihitung SAP-nya setiap kegiatan dan jumlah SAP dari kegiatan pendukung apoteker yang didapatkan adalah 0,271 sehingga berdasarkan perhitungan didapatkan 1,4 apoteker yang dibutuhkan dalam kegiatan pendukung apoteker.
Aktivitas Kegiatan Individual Apoteker
Tabel. 5 Aktivitas Kegiatan Individual Apoteker

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara didapatkan bahwa beberapa apoteker memiliki aktivitas kegiatan individual dengan rata-rata waktu yang berbeda seperti pada tabel 5. Berdasarkan data tersebut, maka didapatkan SAI setiap kegiatan dan dihitung jumlah kebutuhan apoteker dari setiap SAI dan didapatkan 0,04 apoteker yang dibutuhkan dalam kegiatan indivual.
Total Kebutuhan Apoteker Di Depo Farmasi BPJS dan Rasio WISN
Tabel 6.Total Kebutuhan Apoteker dan Rasio WISN

Berdasarkan data yang telah dimiliki dari kebutuhan apoteker pelayanan kesehatan, pendukung, dan individual dilakukan perhitungan total kebutuhan apoteker yang dibutuhkan Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan adalah 12,5 apoteker dan rasio WISN yang didapat anatara total kebutuhan apoteker dengan jumlah apoteker yang dimiliki saat ini adalah 0,56. Nilai rasio tersebut < 1 yang menggambarkan bahwa Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan pada saat ini kekerungan apoteker yang tertera pada tabel 6.
Waktu Kerja Tersedia Tenaga Vokasi Farmasi (TVF)
Tabel 7. Waktu Kerja Tersedia TVF


Jumlah hari kerja TVF dalam satu minggu sama dengan apoteker, yaitu 5 hari kerja dan 8 jam per hari sehingga perhitungan waktu kerja yang tersedia untuk TVF dalam 1 tahun adalah 201 hari, dengan waktu kerja tersedia dalam menit dan detik ditunjukkan dalam tabel 7.
Standar Beban Kerja TVF
Tabel 8. Standar Beban Kerja TVF

Aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan TVF diantaranya adalah, skrining dan enteri resep, pemasangan etiket, pengambilan obat, pengemasan obat, serta peracikan obat dengan rata-rata waktu tiap kegiatan dan standar beban kerja ditunjukkan pada tabel 8.

Kebutuhan TVF Untuk Pelayanan Kesehatan
Tabel 9. Kebutuhan TVF Untuk Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan standar beban kerja pada setiap aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh TVF, maka dapat dihitung tiap kebutuhan SDM TVF pada setiap aktivitas tersebut dan total kebutuhan SDM TVF khusus untuk aktivitas pelayanan kesehatan adalah 70,72 TVF yang ditunjukkan pada tabel 9.
Aktivitas Kegiatan Pendukung TVF
Tabel 10. Aktivitas Kegiatan Pendukung TVF

Tabel 10 menunjukkan Aktivitas kegiatan pendukung yang dilakukan semua TVF sama dengan apoteker, yaitu ISOMA, rapat bulanan, stok opname, dan restock, maka didapatkan Total SAP nya adalah 0,272 dengan total kebutuhan TVF untuk kegiatan pendukung adalah 1,4 TVF.
Aktivitas Kegiatan Individual TVF
Tabel 11. Aktivitas Kegiatan Individual TVF

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara secara langsung, didapatkan data bahwa beberapa TVF di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan memiliki tugas individual dengan rata-rata waktu yang berbeda setiap kegiatan. Berdasarkan data tersebut dapat dilakukan perhitungan SAI tiap kegiatan dan Jumlah SDM TVF. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, maka didapatkan total TVF yang dibutuhkan dalam kegiatan individual adalah 0,09 TVF yang ditunjukkan pada tabel 11.
Total Kebutuhan TVF Di Depo Farmasi BPJS dan Rasio WISN
Tabel 12. Total Kebutuhan Apoteker dan Rasio WISN

Berdasarkan data yang telah dimiliki dari kebutuhan TVF pelayanan kesehatan, pendukung, dan individual dilakukan perhitungan total kebutuhan TVF yang dibutuhkan Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan adalah 99 TVF dan rasio WISN yang didapat antara total kebutuhan apoteker dengan jumlah apoteker yang dimiliki saat ini adalah 0,08. Nilai rasio tersebut < 1 yang menggambarkan bahwa Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan pada saat ini kekurangan TVF yang ditunjukkan pada tabel 12.
Pembahasan
Pelayanan Kesehatan menjadi salah satu hal yang berhak diperoleh oleh setiap masyarakat melalui pembangunan kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga proses mewujudkan pembangunan kesehatan membutuhkan upaya pemenuhan kesehatan yang menyeluruh dengan dukungan sumber daya kesehatan (8). Rumah sakit menjadi salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang berperan sebagai fasilitator pembangunan kesehatan yang memiliki kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminatif, dan efektif dan dalam proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan membutuhkan sumber daya manusia kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga penunjang kesehatan. Tenaga Kefarmasian termasuk ke dalam jenis tenaga kesehatan yang terdiri dari tenaga vokasi farmasi, apoteker dan apoteker spesialis (9,10).
Perencanaan kebutuhan jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan harus dihitung dan dianalisis untuk dapat memastikan bahwa beban kerja dan jumlah tenaga kerja telah seimbang sehingga pelayanan kesehatan yang bermutu terutama di bidang farmasi dapat tercapai (11) Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Di Tingkat Provinsi/Kota/Kabupaten serta Rumah Sakit dinyatakan bahwa metode WISN menjadi alat yang dapat menganalisis kebutuhan SDM dalam suatu fasilitas kesehatan salah satunya adalah rumah sakit.
RSUD Al-Ihsan sebagai rumah sakit rujukan tingkat provinsi memiliki jumlah pasien yang banyak sehingga resep yang dihasilkan setiap harinya juga semakin banyak terutama dengan adanya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka mayoritas pasien merupakan pengguna BPJS sehingga Depo Farmasi BPJS menjadi salah satu depo farmasi yang memproses resep terbanyak di RSUD Al-Ihsan. Hal ini menunjukkan Depo Farmasi BPJS memiliki beban kerja yang tinggi dan harus diimbangi dengan jumlah sumber daya tenaga kesehatan seperti apoteker dan tenaga vokasi farmasi yang sesuai agar pelayanan kesehatan yang bermutu tetap terjaga.
Depo farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan memiliki 7 apoteker dan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, waktu kerja yang tersedia untuk apoteker di Depo Farmasi BPJS dalam satu tahun adalah 1736 jam/tahun yang telah disusun sesuai pada tabel 1.
Aktivitas pelayanan kesehatan di Depo Farmasi BPJS dibagi menjadi tiga unit pelayanan obat atau loket obat, yaitu penyakit kronis, non-kronis, dan lansia. Setiap unit memiliki komponen kerja yang sama dengan hasil analisis beban kerja seperti yang tertera pada tabel 2.
Berdasarkan standar beban kerja dari aktivitas pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh apoteker di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan, maka dapat dihitung dan dianalisis kebutuhan SDM dari setiap aktivitas yang dilaksanakan tersebut pada tabel 3. Kuantitas pada aktivitas pelayanan kesehatan didapatkan dari jumlah kegiatan suatu aktivitas yang dilakukan di dalam periode satu tahun dan dikali waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan aktivitas tersebut. Jumlah aktivitas berarti merujuk pada jumlah resep yang masuk di dalam unit tersebut dalam periode satu tahun (12). Berdasarkan perhitungan kebutuhan SDM apoteker pada aktivitas pelayanan kesehatan adalah 9 apoteker. Namun, apoteker memiliki tugas atau aktivitas diluar aktivitas pelayanan kesehatan yang dibagi menjadi aktivitas kegiatan pendukung dan aktivitas kegiatan individual seperti pada tabel 4 dan tabel 5.
Standar Aktivitas Pendukung (SAP) merupakan aktivitas yang bersifat pendukung di dalam aktivitas utama IFRS yang pelaksanaannya dilakukan oleh semua anggota IFRS dalam satu tahun. Selanjutnya, melalui total SAP yang telah didapatkan maka dapat digunakan sebagai perhitungan yang menunjukkan kebutuhan SDM dari kegiatan pendukung tersebut (7)Berdasarkan perhitungan tersebut, maka didapatkan apoteker yang dibutuhkan dalam kegiatan pendukung adalah 1,4 (1-2) apoteker.
Standar Aktivitas Individual (SAI) merupakan standar yang ditetapkan untuk kegiatan tambahan yang hanya dilakukan oleh apoteker tertentu yang telah ditunjuk untuk melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan SAI yang telah diperoleh, maka dapat ditentukkan jumlah SDM apoteker yang dibutuhkan dalam memenuhi aktivitas pelayanan kesehatan sebagai kegiatan pokok agar tetap berjalan ketika apoteker yang telah ditunjuk sedang melaksanakan tugas tambahannya tersebut dengan membagi SAI sebagai waktu yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan individual tersebut dalam satu tahun untuk setiap kegiatan dengan waktu kerja tersedia dalam satu tahun (7) . Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diatas, maka apoteker yang dibutuhkan adalah 0.04.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah dihitung dan dianalisis, maka dapat dihitung total kebutuhan SDM apoteker di Depo Farmasi BPJS RSUD AL-Ihsan beserta rasio WISN pada tabel 6. Hasil tersebut menunjukkan total kebutuhan apoteker di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan adalah 13 apoteker dan rasio WISN yang diperoleh adalah 0,56 yang menunjukkan bahwa rasio WISN < 1. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah SDM apoteker yang dimiliki Depo Farmasi BPJS pada saat ini tidak mencukupi untuk melaksanakan beban kerja yang dimiliki Depo Farmasi BPJS. Hal ini menunjukkan tidak seimbangnya antara jumlah SDM dan beban kerja yang dapat menyebabkan turunnya mutu pelayanan sehingga pertimbangan untuk penambahan staf, penempatan staf, maupun pengaturan beban kerja perlu dilakukan lebih lanjut agar mutu pelayanan di depo farmasi tetap tercapai (7,13).
Perhitungan dan analisis yang sama dilakukan terhadap tenaga vokasi farmasi yang berada di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan untuk dapat mengetahui kebutuhan SDM TVF dan rasio WISN yang dapat dilihat pada tabel 7-12. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan terhadap kebutuhan SDM TVF Depo Farmasi RSUD Al-Ihsan telah didapatkan jumlah kebutuhan SDM TVF adalah 99 TVF dengan rasio WISN-nya adalah 0,08 yang menunjukkan bahwa rasio WISN yang diperoleh kurang dari 1 sehingga hal ini menggambarkan bahwa tenaga vokasi farmasi yang ada saat ini tidak mencukupi beban kerja. Oleh karena itu, kebutuhan jumlah tenaga vokasi farmasi dan beban kerja di Depo Farmasi BPJS perlu dipertimbangkan dan ditindaklanjuti agar pelayanan yang diberikan tidak menurun karena dapat berdampak terhadap hasil pengobatan pasien dan kepuasannya kepada rumah sakit.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat harus dapat terjamin keamanan dan mutunya dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga mutu pelayanan kesehatan harus terus ditingkatkan dalam berbagai faktor seperti, profesionalisme, mutu, efisiensi dan efektivitas(14). Faktor-faktor tersebut berhubungan dengan pemenuhan SDM tenaga kesehatan yang khususnya pada penelitian ini adalah tenaga kefarmasian yang melaksanakan pelayanan kefarmasian di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan. Jumlah kebutuhan SDM dapat meningkat seiring peningkatan jumlah kunjungan pasien karena beban kerja ikut meningkat yang dapat menyebabkan waktu tunggu lebih lama sehingga dapat menurunkan ketidakpuasan pasien (15). Hal ini dapat mempengaruhi informasi dan kepatuhan pasien terhadap proses pengobatan terutama dalam penggunaan obat yang tidak tepat atau adanya medication error sehingga tujuan terapi tidak tercapai dan merugikan bahkan membahayakan pasien (16). Oleh karena itu, analisis kebutuhan jumlah tenaga kefarmasian harus dirancang sedemikian rupa agar jumlah, distribusi, dan penempatan tenaga kefarmasian yang dilakukan menjadi lebih rasional dan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian jauh lebih optimal dalam mencapai hasil pengobatan yang bermutu, aman, dan efektif (17,18).
WISN menjadi metode yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran terkait kebutuhan tenaga kerja di dalam fasilitas kesehatan dengan menilai beban kerja SDM (19). Metode WISN telah banyak digunakan di berbagai fasilitas kesehatan seperti rumah sakit karena memiliki karena kemudahan dan kesederhanaan dalam penggunaannya yang berfokus pada dua aspek, yaitu ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kesehatan pada saat ini dengan yang dibutuhkan di fasilitas kesehatan, dan rasio WISN yang menunjukkan tekanan beban kerja pada SDM (20,21). Hasil analisis dengan metode WISN dinyatakan dalam bentuk selisih dan rasio yang masing-masing menunjukkan kekurangan atau kelebihan tenaga kesehatan dan menunjukkan tekanan beban kerja yang dialami tenaga kesehatan tersebut (22). Kekurangan tenaga kesehatan dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan, sedangkan kelebihan tenaga kesehatan menunjukkan adanya ketidakefisienan atau alokasi SDM yang tidak tepat (23).Hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebutuhan minimum dan maksimum tenaga kesehatan (24). Selain itu, hasil dari data WISN dapat menjadi bukti pendukung dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya pada penelitian ini di Depo Farmasi RSUD Al-Ihsan (25,26).
Analisis kebutuhan SDM dengan metode WISN telah digunakan oleh beberapa rumah sakit dalam dan luar negeri untuk menganalisis kebutuhan SDM di berbagai unit pelayanannya seperti SDM farmasi, perawat, dan lain sebagainya dengan tahapan proses yang sama, yaitu penentuan SDM yang akan dianalisis, menentukkan waktu kerja tersedia, menetapkan aktivitas standar, menetapkan standar beban kerja, menghitung standar kelonggaran, menghitung total kebutuhan SDM, dan menghitung rasio WISN (7)
Pada penelitian Annisa tahun 2016 dilakukan analisis kebutuhan tenaga di Instalasi Farmasi RS Universitas Muhammadiyah Malang (IFRS UMM) dengan metode tenaga vokasi farmasi dan beban kerja di Depo Farmasi BPJS perlu dipertimbangkan dan ditindaklanjuti agar pelayanan yang diberikan tidak menurun karena dapat berdampak terhadap hasil pengobatan pasien dan kepuasannya kepada rumah sakit.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat harus dapat terjamin keamanan dan mutunya dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga mutu pelayanan kesehatan harus terus ditingkatkan dalam berbagai faktor seperti, profesionalisme, mutu, efisiensi dan efektivitas(14). Faktor-faktor tersebut berhubungan dengan pemenuhan SDM tenaga kesehatan yang khususnya pada penelitian ini adalah tenaga kefarmasian yang melaksanakan pelayanan kefarmasian di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan. Jumlah kebutuhan SDM dapat meningkat seiring peningkatan jumlah kunjungan pasien karena beban kerja ikut meningkat yang dapat menyebabkan waktu tunggu lebih lama sehingga dapat menurunkan ketidakpuasan pasien (15). Hal ini dapat mempengaruhi informasi dan kepatuhan pasien terhadap proses pengobatan terutama dalam penggunaan obat yang tidak tepat atau adanya medication error sehingga tujuan terapi tidak tercapai dan merugikan bahkan membahayakan pasien (16). Oleh karena itu, analisis kebutuhan jumlah tenaga kefarmasian harus dirancang sedemikian rupa agar jumlah, distribusi, dan penempatan tenaga kefarmasian yang dilakukan menjadi lebih rasional dan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian jauh lebih optimal dalam mencapai hasil pengobatan yang bermutu, aman, dan efektif (17,18).
WISN menjadi metode yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran terkait kebutuhan tenaga kerja di dalam fasilitas kesehatan dengan menilai beban kerja SDM (19). Metode WISN telah banyak digunakan di berbagai fasilitas kesehatan seperti rumah sakit karena memiliki karena kemudahan dan kesederhanaan dalam penggunaannya yang berfokus pada dua aspek, yaitu ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kesehatan pada saat ini dengan yang dibutuhkan di fasilitas kesehatan, dan rasio WISN yang menunjukkan tekanan beban kerja pada SDM (20,21). Hasil analisis dengan metode WISN dinyatakan dalam bentuk selisih dan rasio yang masing-masing menunjukkan kekurangan atau kelebihan tenaga kesehatan dan menunjukkan tekanan beban kerja yang dialami tenaga kesehatan tersebut (22). Kekurangan tenaga kesehatan dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan, sedangkan kelebihan tenaga kesehatan menunjukkan adanya ketidakefisienan atau alokasi SDM yang tidak tepat (23).Hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebutuhan minimum dan maksimum tenaga kesehatan (24). Selain itu, hasil dari data WISN dapat menjadi bukti pendukung dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya pada penelitian ini di Depo Farmasi RSUD Al-Ihsan (25,26).
Analisis kebutuhan SDM dengan metode WISN telah digunakan oleh beberapa rumah sakit dalam dan luar negeri untuk menganalisis kebutuhan SDM di berbagai unit pelayanannya seperti SDM farmasi, perawat, dan lain sebagainya dengan tahapan proses yang sama, yaitu penentuan SDM yang akan dianalisis, menentukkan waktu kerja tersedia, menetapkan aktivitas standar, menetapkan standar beban kerja, menghitung standar kelonggaran, menghitung total kebutuhan SDM, dan menghitung rasio WISN (7)
Pada penelitian Annisa tahun 2016 dilakukan analisis kebutuhan tenaga di Instalasi Farmasi RS Universitas Muhammadiyah Malang (IFRS UMM) dengan metode WISN dan hasil rasio WISN yang diperoleh adalah 0,4 (< 1) menunjukkan IFRS UMM kekurangan tenaga farmasi (12). Pada penelitian Faisal tahun 2021 dilakukan analisis beban kerja tenaga teknis kefarmasian di Instalasi RSGM Universitas Padjadjaran dengan metode WISN dan hasil yang didapatkan adalah rasio WISN sebesar 1,17 (> 1) menunjukkan beban kerja dan jumlah TTK di instalasi farmasi tersebut tidak sesuai karena memiliki jumlah SDM yang berlebih (4). Pada penelitian Feli 2023 yang menganalisis kebutuhan perawat di unit hemodialisis di Rasyida Renal Specialist Hospital menunjukkan jumlah kebutuhan perawat adalah 70 perawat, sedangkan perawat yang dimiliki adalah 44 perawat sehingga rasio WISN nya adalah 0,6 (> 1) yang berarti terdapat kekurangan jumlah perawat yang dapat meningkatkan beban kerja yang lebih besar kepada setiap perawat tersebut (13). Pada penelitian Naicker 2025, analisis kebutuhan SDM diabetic workforce di South African Central and Tertiary Public Hospital memperoleh rasio WISN kurang dari 0,5 yang menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan SDM kurang dari 50% sehingga setiap staf akan mengalami tekanan beban kerja yang tinggi karena adanya kekurangan staf yang ekstrem (27). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut dapat diartikan metode WISN dapat menunjukkan apakah fasilitas kesehatan tersebut mengalami kekurangan ataupun kelebihan SDM yang akan berpengaruh terhadap beban kerja yang diterima sehingga hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam penambahan jumlah staf maupun strategi pendistribusian beban kerja yang lebih merata.
Rasio WISN memiliki rentang yang menunjukkan tingkat tekanan beban kerja yang dihadapi oleh tenaga kesehatan (7,27). WHO menjelaskan terkait interpretasi rasio tersebut, yaitu ketika rasio sama dengan 1 maka menunjukkan bahwa jumlah tenaga kesehatan telah seimbang dengan beban kerja yang ada, > 1 menunjukkan adanya kelebihan tenaga kesehatan, dan < 1 menunjukkan bahwa jumlah tenaga kesehatan yang ada saat ini tidak cukup untuk melaksanakan beban kerja tersebut (7). Rasio WISN yang didapatkan untuk apoteker dan TVF Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan masing-masing adalah 0,56 dan 0,08 yang diinterpretasikan pada beberapa studi tekanan beban kerja apoteker tergolong tinggi (rasio WISN antara 0,50 – 0,69), sedangkan tekanan beban kerja TVF tergolong sangat tinggi sekali (rasio WISN 0,1 – 0,29) (28)Nilai rasio yang didapatkan untuk TVF Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan bahkan berada dibawah nilai 0,1 yang menunjukkan beban kerja yang sangat tinggi sehingga dapat menjadi pertimbangan yang dapat ditindaklanjuti terkait kebutuhan TVF maupun apoteker di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan. Tekanan beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan kelelahan, kehabisan tenaga, dan turunnya kualitas pelayanan (29).
Aktivitas pelayanan di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan sebenarnya telah dimudahkan dengan adanya elektronik resep sehingga proses skrining dan penyiapan resep menjadi lebih ringan dan lebih cepat, tetapi tingkat kunjungan pasien di RSUD Al-Ihsan terutama BPJS ini sangat tinggi sehingga beban kerja yang dimiliki Depo Farmasi RSUD Al-Ihsan juga menjadi tetap tinggi. Namun, implementasi dari hasil WISN ini juga berdampak pada masalah finansial yang tidak terpisahkan dalam proses penambahan jumlah apoteker maupun TVF, tetapi tetap dapat dipertimbangkan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan (30,31).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait kebutuhan apoteker dan tenaga vokasi farmasi di Depo Farmasi BPJS RSUD Al-Ihsan menunjukkan belum seimbangnya antara beban kerja dan jumlah SDM yang tersedia karena rasio WISN di kedua SDM (apoteker dan TVF) tersebut menunjukkan < 1, yaitu masing-masing adalah 0,56 dan 0,08. Jumlah apoteker yang dibutuhkan sekitar 12-13 apoteker, sedangkan kebutuhan tenaga vokasi farmasi berada di rentang 99 TVF.
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. 2020.
2. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Kementerian Kesehatan RI Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. 2016.
3. Akri YJ. Analisis Pelayanan Bidang Farmasi Menggunakan Indikator Layanan Berbasis WHO: Tinjauan Sistematis. 2023;1(1).
4. Kuswandani F, Lestari D, F. Balafif F. Workload Analysis of Pharmacy Technicians at Pharmacy Department of Universitas Padjadjaran Dental and Oral Hospital Using Workload Indicators of Staffing Needs. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy. 2021 Sep 30;10(3):198–208.
5. Amelia P, Lathifah A, Haq MD, Reimann CL, Setiawan Y. Optimising Outpatient Pharmacy Staffing to Minimise Patients Queue Time using Discrete Event Simulation. Journal of Information Systems Engineering and Business Intelligence. 2021 Oct 28;7(2):102.
6. Alfajri A, Sutedjo MBD, Kumala AA. Workload Indicator Staffing Need (WISN) as A Method for Analyzing Clinic Health Personnel Needs in Surakarta. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI). 2024 Jul 5;7(7):1854–62.
7. WHO. WISN Workload indicators of staffing need User’s manual, second edition. WHO; 2023.
8. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Pedoman Penyususnan Perencaanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2015.
9. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. 2023.
10. Sagita VA, Sukmadryani Y, Politeknik ), Balikpapan N. Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kota Balikpapan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.74 Tahun 2016.
11. Susilawati Y, Komariah M, Somantri I. Beban Kerja Perawat Pelaksana Berdasarkan Metode Workload Indicator Staff Need (WISN). Journal of Telenursing (JOTING). 2023 Jan 28;5(1):20–31.
12. Annisa Susanto N, Mansur M, Djauhari T. Analisis Kebutuhan Tenaga di Instalasi Farmasi RS Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2016. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit. 2017;6(2).
13. Feli Clarisa Winvi, Sri Lestari Ramadhani Nasution, Chrismis Novalinda Ginting. Workload Indicators of Staffing Need (WISN) for the Required Estimation of Nursing Staff in a Hemodialysis Unit. Folia Medica Indonesiana. 2023 Jun 10;59(2):164–72.
14. Tuzzakiyah E, Chandra Kartika R, Ayu DP, Fitriyah D, Dewi Puspita S, Medis R, et al. Analisis Kebutuhan Tenaga Rekam Medis dengan Metode Workload Indicator Staffing Need (WISN). 2022;1(2):2829–4777.
15. Marzban S, Najafi M, Agolli A, Ashrafi E. Impact of Patient Engagement on Healthcare Quality: A Scoping Review. J Patient Exp. 2022;9.
16. Manafo E, Petermann L, Mason-Lai P, Vandall-Walker V. Patient engagement in Canada: A scoping review of the “how” and “what” of patient engagement in health research. Vol. 16, Health Research Policy and Systems. BioMed Central Ltd.; 2018.
17. Doosty F, Maleki M, Yarmohammadian M. An investigation on workload indicator of staffing need: A scoping review. Vol. 8, Journal of Education and Health Promotion. Wolters Kluwer Medknow Publications; 2019.
18. Neuraz A, Guérin C, Payet C, Polazzi S, Aubrun F, Dailler F, et al. Patient mortality is associated with staff resources and workload in the icu: A multicenter observational study. Crit Care Med. 2015;43(8):1587–94.
19. Ahmat A, Millogo JJS, Illou MMA, Maritza T, Bamogo F, Okoroafor SC, et al. Workloads and activity standards for integrated health service delivery: insights from 12 countries in the WHO African region. BMJ Glob Health. 2021;7.
20. Riazi-Isfahani S, Ahmadnezhad E, Ehsani-Chimeh E, Abdi Z, Haghdoost B, Akbari-Sari A, et al. Survey protocol: implementing Workload Indicators of Staffing Need in Iranian primary healthcare services. Prim Health Care Res Dev. 2025 Mar 31;26.
21. Mcquide PA, Kolehmainen-Aitken RL, Forster N. Applying the workload indicators of staffing need (WISN) method in Namibia: challenges and implications for human resources for health policy [Internet]. 2013. Available from: http://www.human-resources-health.com/content/11/1/64
22. Mortuja SG, Dasgupta S, Bhattacherjee S, Mukherjee A. Nursing Personnel Workload and Staffing Need for Rural Hospitals of Darjeeling District, India: Assessment by Application of Workload Indicators of Staffing Need Tool (World Health Organization). Indian J Public Health. 2023 Oct 1;67(4):654–9.
23. Joarder T, Tune SNBK, Nuruzzaman M, Alam S, De Oliveira Cruz V, Zapata T. Assessment of staffing needs for physicians and nurses at Upazila health complexes in Bangladesh using WHO workload indicators of staffing need (WISN) method. BMJ Open. 2020 Feb 13;10(2).
24. Parial LLB, Leyva EWA, Siongco KLL, Dones LBP, Bernal ABS, Lupisan JAC, et al. Staffing and Workload in Primary Care Facilities of Selected Geographically Isolated and Disadvantaged Communities in the Philippines. Acta Med Philipp. 2024 Jul 1;58(12):21–34.
25. Aytona MG, Politico MR, McManus L, Ronquillo K, Okech M. Determining staffing standards for primary care services using workload indicators of staffing needs in the Philippines. Hum Resour Health. 2022 Jan 1;19.
26. Kovacs R, Lagarde M. Does high workload reduce the quality of healthcare? Evidence from rural Senegal. J Health Econ. 2022 Mar 1;82.
27. Naicker VN, Muchiri JW, Naidoo K, Legodi MH. Application of the workload indicators of staffing need (WISN) to assess dietetic workforce needs in South African central and tertiary public hospitals. Sci Rep. 2025 Dec 1;15(1):1707.
28. Nuruzzaman M, Zapata T, De Oliveira Cruz V, Alam S, Tune SNBK, Joarder T. Adopting workload-based staffing norms at public sector health facilities in Bangladesh: evidence from two districts. Hum Resour Health. 2022 Jan 1;19.
29. Joarder T, Mahmud I, Sarker M, George A, Rao KD. Development and validation of a structured observation scale to measure responsiveness of physicians in rural Bangladesh. BMC Health Serv Res. 2017 Nov 21;17(1).
30. Namaganda GN, Whitright A, Maniple EB. Lessons learned from implementation of the Workload Indicator of Staffing Need (WISN) methodology: an international Delphi study of expert users. Hum Resour Health. 2022 Jan 1;19.
31. Gagliardi AR, Webster F, Brouwers MC, Baxter NN, Finelli A, Gallinger S. How does context influence collaborative decision-making for health services planning, delivery and evaluation? BMC Health Serv Res. 2014;14(1).
cara mengutip artikel
https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/63857/0