Pendekatan Nanoteknologi Untuk Penghantaran Bahan Aktif Farmasi Dalam Terapi Acne Vulgaris

Majalah Farmasetika, 8 (4) 2023, 283-304

https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v8i4.45498

Artikel Review

Dilla Anggraeni*, Marita Kaniawati, Ganardi Jafar

Universitas Bhakti Kencana
*E-mail: dilaanggraeni51@gmail.com

(Submit 20/02/2023, Revisi 09/03/2023, Diterima 31/03/2023, Terbit 23/05/2023)

Abstrak

Jerawat (Acne vulgaris) adalah kelainan kulit yang terjadi akibat penumpukan sebum yang dihasilkan oleh kelenjar minyak yang ada di kulit. Penumpukan sebum tersebut akan menstimulus pertumbuhan P. acne yang akan menyebabkan pertumbuhan jerawat. Terapi untuk jerawat telah banyak dikembangkan untuk berbagai bahan aktif dan metode yang digunakan sudah beragam dari yang konvensional hingga teknologi terbarukan. Penghantaran terbarukan seperti nanoteknologi dipilih karena dapat meningkatkan stabilitas bahan aktif, meningkatkan penetrasi pada kulit serta dapat menghantarkan zat aktif ke daerah terapi yang tertarget. Tujuan: review yang disusun untuk menjadi bahan acuan komprehensif mengenai jerawat. Metode: metode yang digunakan adalah pengumpulan artikel ilmiah dari sumber nasional dan internasional. Hasil: hasil yang didapatkan adalah metode nanopartikel adalah metode yang paling baik dalam penghantaran sediaan topikal khususnya untuk terapi jerawat. Adapun berbagai pengembangan terbarukan yaitu lipid nanopartikel, polimer nanopartikel dan metal nanopartikel. Review ini akan mengulas secara lengkap berbagai studi mengenai penghantaran terbarukan zat aktif dalam penghantaran nano teknologi untuk terapi jerawat.

Kata kunci: Jerawat, Kulit, Nanopartikel,

Teks Lengkap:

PDF

Pendahuluan

Kulit adalah lapisan jaringan terluar yang melapisi seluruh permukaan tubuh. Kulit menjadi bagian yang melindungi tubuh dari paparan lingkungan. Kulit memiliki ciri yang khas dan tersendiri tergantung pada jenis kelamin, usia, ras dan iklim. Kulit memiliki beberapa lapisan yaitu epidermis, dermis dan subkutan. Pada lapisan epidermis yang menjadi lapisan terluar terdapat kelenjar keringat yang mengeluarkan produk limbah melalui pori-pori yang disebut dengan keringat [1]. Lapisan keringat yang menyumbak pori akan menjadi gangguan pada kulit yang disebut dengan jerawat (Acne vulgaris). Acne vulgaris atau yang biasa disebut dengan jerawat adalah gangguan yang terjadi pada kulit akibat produksi sebum yang meningkat sehingga menyebabkan terjadinya lesi, inflamasi, papul dan kemerahan pada kulit [2]. Jerawat juga distimulus dengan adalanya pertumbuhan bakteri P. acne karena adanya penumpukan sebum pada pori-pori. Jerawat ditandai juga dengan area kulit merah bersisik, timbulnya komedo, papula, nodul hingga jaringan parut. Lesi tersebut  sering terjadi pada wajah, leher dan punggung. Jerawat menjadi salah satu penyakit kulit yang paling banyak diderita oleh kalangan masyarakat. Jerawat mempengaruhi hampir 9.4% dari populasi global sehingga menjadi salah satu penyakit kelainan kulit yang paling banyak diderita di dunia. Jerawat dianggap sebagai salah satu penyakit kulit yang ekstrim keparahan jerawat mengakibatkan depresi dan gangguan mental pada penderita. Terbukti penderita jerawat memiliki kecemasan dua kali lebih tinggi dari yang bukan penderita jerawat. Keparahan jerawat dipengaruhi oleh kondisi fisiologis penderita dan kondisi lingkungan [3]. Beberapa bahan aktif telah dikembangkan untuk terapi jerawat seperti asam salisilat, sulfur hingga golongan retinoid [4]. Bahan aktif ini dapat mengurangi produksi sebum dan mempercepat pematangan jerawat. Beberapa cara konvensional dalam terapi jerawat seperti topikal menggunakan krim dan gel yang mengandung bahan aktif untuk terapi jerawat. Namun cara konvensional ini sudah mendapat pembaruan tentang pendekatan sebagai terapi anti jerawat seperti pendekatan nanoteknologi untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari bahan aktif yang digunakan. Pendekatan nanoteknologi untuk pengantaran bahan aktif jerawat dianggap dapat mempercepat penetrasi ke dalam lapisan kulit serta dapat meningkatkan stabilitas zat aktif. Pada review ini akan diulas secara lengkap mengenai faktor penyebab jerawat, terapi jerawat serta pendekatan terbaru nanoteknologi sebagai anti jerawat. Review artikel ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan metode untuk preparasi berbagai bahan aktif untuk anti jerawat khusunya dalam penghantaran nanopartikel sehingga atikel review ini harus menjadi salah satu riset pendukung.

Metode

Review artikel ini disusun berdasarkan artikel ilmiah mengulas tentang penghantaran nanoteknologi untuk terapi jerawat dalam rentang 10 tahun terakhir (2012-2023). Original artikel yang didapatkan berjumlah 135 dengan 33 artikel pokok dan 23 artikel pendukung.  Referensi yang digunakan diambil dari Scopus, PubMed, Elsevier, NCBI dengan  kata kunci “solid lipid nanoparticle for acne”, “nanostructured lipid carrier for acne”, “nano emulsion for acne”, “liposom for acne”, “niosom for acne”, “etosom for acne”, “transfersome for acne”, “polymeric nanoparticle for acne”, “nanofibers for acne”, “silver nanoparticle for acne”, “gold nanoparticle for acne”. Gambar 1. Bagan Alir Studi Literatur. 

Gambar 1. Bagan alir literatur

Pembahasan

1.  Etiologi Acne vulgaris

Faktor penyebab jerawat bisa terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang menyebabkan terjadinya jerawat adalah peningkatan sekresi sebum, hiperkeratosis, penyumbatan folikel serta koloni bakteri (Propionibacterium acnes). Faktor eksternal berupa inflamasi karena redikal, stres, iklim, suhu, kelembaban, kosmetik dan makanan. Penyebab pasti jerawat masih belum jelas namun faktor internal dan eksternal tersebut dianggap sebagai agen pencetus jerawat dan dapat memperparah jerawat [5]. Jerawat juga terjadi karena hipersensitivitas kelenjar sebaceous ke tingkat androgen dalam sirkulasi normal yang diperburuk oleh bakteri P. acnes dan peradangan. Penyebab jerawat juga dari penggunaan obat-obatan seperti litium, steroid, dan antikonvulsan serta pengaruh lainnya seperti terpapar sinar matahari berlebih, penggunaan pakaian yang oklusif seta gangguan endokrin dan keturunan [3]. Jerawat berkembang karena penyumbatan folikel karena produksi sebum yang berlebih, terbetuknya kreatinin secara  berlebih hingga terjadi penyumbatan pada bagian pori kulit oleh kotoran. Dengan meningkatnya produksi androgen sehingga menyebabkan kelenjar sebaseus membesar dan meningkatkan sekresi sebum [3], [6], [7].

Gambar 1 Etiologi Acne vulgaris

2. Patofisiologi Acne vulgaris

Peningkatan hormon androgen ini dapat memicu produksi sebum yang berlebih sehingga dapat memicu pertumbuhan papula berisi nanah yang biasa dikenal dengan jerawat. Pada saat pubertas juga menjadi faktor terjadinya jerawat [8]. Hal ini karena pada saat masa pubertas hormon androgen terjadi reuptake membentuk kompleks reseptor androgen di sitoplasma kemudian memasuki nukleus melalui nukleoporidan mengubah urutan gen tertentu yang dapat meningkatkan produksi sebum oleh sebosit [9]. Ketika produksi sebum berlebih maka sebum akan mengalir melalui saluran pilosebaceous dan akan menumpuk di permukaan kulit. Selama menumpuk pada permukaan kulit, sebum akan menghasilkan asam linoleat yang akan menyebabkan penyumbat folikel rambut hak ini menjadi tahapan awal terbentuknya jerawat. Selain asal linoleat yang terbentuk karena produksi sebum ada pula asam lemak bebas yang dibentuk oleh bakteri P. acnes. Asam lemak ini terbentuk dari mekanime pembentukan trigliserida yang juga akan menghambat folikel rambut [1]. Penghambatan folikel ini juga terjadi dari tekanan oksigen dan pembentukan radikal bebas oleh fagosit sebagai respon terhadap infeksi mikroorganisme. Asam lemak yang menghambat bersifat kemotaktik dan akan mengarah pada produksi sitokin yang merupakan agen inflmasi seperti IL-8 dan IL-1α [10]. Agen inflamasi ini akan menyebabkan peradangan dan pembentukan keratin. Pembentukan keratin ini ketika berlebih akan menyebabkan hiperkeratosis yang akan menyebabkan hiperkornifikasi dan pembentukan duktus dari

lamela. Hiperkeratosis ini akan menjadi mikro komedo yang selanjutnya akan menjadi komedo dan semakin berkembang menjadi jerawat [11], [12].

3.  Bahan Aktif Untuk Acne vulgaris

Tabel 1 Bahan Aktif dan Bentuk Sediaan yang Beredar di Pasaran

a.  Benzoil Peroksida

Penggunaan benzoil peroksida bisa memperkecil resiko resistensi antibiotik pada   bakteri hal ini dibuktikan dengan kombinasi benzoil peroksida dengan topikal   antibiotik seperti klindamisin dapat memperkecil iritasi kulit dengan menurunkan   konsentrasi klindamisin tanpa menurunkan efektivitasnya [13]. Namun aktivitas   benzoil peroksida akan meningkat jika digunakan bersamaan dengan eritromisin   topikal yang artinya benzoil beroksida dan eritromisin memiliki aktivitas yang   sinergis dan dapat meningkatkan efek terapi jika digunakan bersama. Sediaan   yang mengandung benzoil peroksida sudah beredar di pasaran dan banyak   digunakan sebagai agen anti jerawat dengan konsentrasi 2.5% sampai 10%.   Kombinasi dari benzoil peroksida dan antibiotik topikal [14]. Kombinasi antara   benzoil peroksida, adapalen dan retinoid dapat mengobati jerawat rendah hingga   sedang dengan durasi kurang dari 12 minggu [4]. Efek samping utama yang   terkait dengan benzoil peroksida adalah iritasi sementara pada kulit, kontak   alergi seperti dermatitis. Dalam jangka panjang atau bersamaan dengan   antibiotik oral mereka dapat digunakan dalam penyembuhan tipe sedang [15].

      b.  Asam Azaleat

Asam azaleat adalah turunan dari asam karboksilat. Zat ini memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan bersifat keratolitik. Sifat dari asam azaleat adalah menyebabkan perubahan komposisi asam lemak bebas dari permukaan kulit sehingga mengurangi penghambatan pada folikel rambut tetapi asam azaleat ini menyebabkan iritasi lokal dan fotosensitivitas [16]. Perawatannya umumnya

  terbatas hingga 6 bulan. Asam azaleat ini dapat digunakan dalam konsentrasi   20% dan dapat digunakan dua kali sehari. Asam azaleat memiliki efektivitas   sebagai anti inflamasi, anti infeksi, dan agen antioksidan [17]. Asam azalea  dapat menurunkan hiperpigmentasi dengan menghambat enzim tirosinase dan   menekan produksi melanin. Studi membuktikan 15% asam azaleat dapat   memberikan efektivitas dalam penyembuhan jerawat [18]. Studi lain menyatakan   bahwa konsentrasi 10 hingga 20% asam azaleat dapat menghambat inflamasi   pada tikus percobaan dalam 8 minggu. Selain itu asam azaleat dengan   konsentrasi 15% dikombinasikan dengan tretinoin dapat memberikan   penyembuhan scars bekas jerawat dengan efektif [2], [19], [20].

     c.   Retinoid

  Retinoid adalah bahan aktif yang penggunaanya luas dalam dermatologis.   Retinoid memiliki aktivitas sebagai anti jerawat, anti aging dan agen   depigmentasi. Penggunaan retinoid terkhusus pada jerawat ringan hingga   sedang pada penggunaan 2 sampai 3 kali sehari [2]. Bahan aktif golongan   retinoid tersedia dalam bentuk gel dan krim yang telah banyak digunakan di   pasaran. Pada sediaan krim lebih disarankan untuk formulasi sediaan dengan   kandungan retinoid karena bersifat oklusi dan dapat mempelama kontak retinoid   pada kulit. Selain itu formulasi krim retinoid memiliki akitvitas komedolitik atau   penghancur komedo [16]. Retinoid menjadi lini pertama terapi untuk pengobatan   jerawat sedang hingga parah, tunggal ataupun dikombinasi. Efek samping yang   sering terjadi pada penggunaan retinoid adalah gejala iritasi ringan dan dapat   ditanggulangi dengan mengurangi frekuensi pemberian dan kuantitas pemberian.   Golongan retinoid tidak disarankan pada penggunaan ibu hamil karena dapat   menyebabkan malformasi janin [21]. Turunan dari retinoid yang juga sering   digunakan adalah isotretinoin. Isotretinoin atau yang dikenal retinol adalah bahan   aktif yang digunakan sebagai terapi anti jerawat parah. Isotretinoin menurunkan   aktivitas produksi asam lemak, yang dapat menyebabkan penurunan dalam   produksi sebum sehingga menghasilkan penurunan yang signifikan dalam   populasi P. acnes. Konsentrasi retinol meningkat pada daerah kulit dan dapat   mengganggu metabolisme dengan vitamin A endogen. Sebagian besar pasien   memerlukan terapi minimal 4 bulan tetapi pada 15% dari kasus diperlukan   periode waktu yang lebih lama. Dari semuanya, 40% dari pasien sembuh dan   tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, dan lebih lanjut 21% membutuhkan   pengobatan topikal saja. Sekitar 39% kekambuhan terjadi di dalam 3 tahun. Dari   semuanya, 16% membutuhkan antibiotik oral dan 23% membutuhkan lebih lanjut   kursus isotretinoin. Terlepas dari tingginya biaya isotretinoin relatif murah untuk   mengobati jenis jerawat sedang atau parah dengan itu dibandingkan dengan   antibiotik lain yang tersedia [22].

      d.  Terapi Hormon

  Peradangan pada lapisan epidermis menghasilkan pembentukan jerawat.   Hormon sangat mempengaruhi proses tumbuhnya jerawat karena menyangkut   pematangan hormon androgen pada tubuh. Ada beberapa studi yang dilakukan  

  menyatakan bahwa usia sangat berpengaruh pada resiko terjadinya jerawat hal   ini karena pada usia 18-32 tahun manusia mengalami masa pubertas dengan   perkembangan dan perubahan fisik yang cukup signifikan yang disebabkan   perubahan hormon yang cukup signifikan pula [23]. Sekitar 46% populasi wanita   yang menderita jerawat memiliki sedikit kadar testosteron dan juga   penghambatan globulin yang merupakan peningkat hormon seks [24]. Untuk itu   penyembuhan bisa dilakukan dengan antiandrogen seperti cyproterone acetate 2   mg bersama dengan etinil estradiol 35 mg yang sama efektifnya dengan   tetrasiklin oral tetapi durasi pengobatan adalah 3-6 bulan bila digunakan   tunggal[24]. Cyproterone asetat (50 atau 100 mg) dari hari ke 5-15 dari siklus   menstruasi di samping 35 mg etinil estradiol dari hari ke 5-26  menunjukkan lebih   banyak efek terapi yang baik. Pil kontrasepsi kombinasi dapat memperparah   jerawat, misalnya itu mengandung norethisterone atau levonorgestrel, tapi ini   tidak sama untuk keseluruhan kasus, misalnya yang mengandung desogestrel   atau gestodena [22].

       4. Pendekatan Nanoteknologi

   Tabel 2. Pendekatan Nanoteknologi untuk Terapi Acne

       

a.  Lipid Nanopartikel

  Nanopartikel  lipid   adalah   pengantaran    terbarukan   dari   pengobatan   jerawat. Nanopartikel lipid memiliki ukuran 50-100 nm   dimana lipid   sebagai pembawa utama dan distabilkan oleh surfaktan dan polimer   tambahan. nanopartikel lipid ini merupakan golongan  besar dimana   didalamnya termasuk solid lipid nanoparticle, nanostructured lipid carriers,   nanoemulsion dan vesicular nanosystem. Nanopartikel lipid memiliki   penetrasi lebih baik pada membran kulit karena mengandung lipid sebagai   pembawanya yang akan lebih mudah terpenetrasi di lapisan epidermis   [44]. Beberapa kelebihan dari nanopartikel pembawa lipid yaitu pelepasan   bahan    aktif  berkelanjutan    dan     memiliki    durasi    yang     lama,   mempertahankan stabilitas bahan aktif dan juga menghindari degradasi   [45].   Pemabawa   lipid   juga dapat   membentuk   lapisan   tipis   pada   permukaan kulit yang dapat meningkatkan retensi air sehingga kulit dapat   terhidrasi lebih lama dan dapat  meningkatkan  daya   serap  zat   aktif [2].

       b.   Solid Lipid Nanoparticle

  Solid lipid nanoparticle (SLn) adalah sistem pengantaran dengan ukuran   partikel 50-1000 nm. Komponen pembawa utama adalah lipid dengan   konsentrasi 0.1%-30% (w/w). Komponen penstabilnya adalah surfaktan   golongan amfifilik dengan konsentrasi 0.5% hingga 5% (w/w). Konsentrasi   demikian dianggap sudah dapat menstabilkan nanopartikel [46]. Selain   sebagai  pembawa  utama , lipid  juga  merupakan  komponen  yang   memberikan kontribusi pada pengecilan ukuran partikel, mengontrol   pelepasan dan meningkatkan penetrasi  pada  kulit  [47].  Beberapa   golongan lipid yang sering digunakan dalam nanopartikel yakni golongan   asam lemak, gliserol dan wax. Dalam terapi jerawat penghantaran SLn   memiliki kapasitas enkapsulasi yang baik, tidak hanya pada bahan aktif   nonpolar namun juga pada bahan aktif polar. Pada beberapa penelitian   yang menyatakan bahwa tambahan pembawa dalam nanopartikel lipid   juga memberikan kontribusi dalam terapi. Kitosan yang  merupakan  

  polimer yang biasa digunakan dalam nanopartikel memberikan
  percepatan dalam anti inflamasi [45]. Pada bahan aktif  neem oil
  digunakan lechitin sebagai pembawa lipid di nanopartikel hal ini
  menunjukan pelepasan yang terkontrol dari bahan aktif dengan adanya
  variasi konsentrasi dari lechitin [48]. Pengembangan dan optimasi juga
  dilakukan pada golongan antibiotik eritromisin yang dikehendaki memiliki
  durasi pelepasan terkendali. Eritromisin diformulasi dalam sediaan gel
  berbasis SLn. SLn yang memuat eritromisin dianggap memiliki stabilitas
  yang baik berdasarkan uji PDI, zeta potensial dan efisiensi penjerapan
  yang man hasil memenuhi syarat. Berdasarkan uji ini juga didapatkan rilis
  in-vitro SLn eritromisin lebih tinggi yaitu 90.94% dibandingkan gel
  eritromisin biasa 87.94% [38].

       c.  Nanostructured lipid carriers

  Nanostructured lipid carriers (NLC) adalah pengantaran dengan
  menggunakan lipid cair yang terperangkap dalam matriks lipid padat.
  Daya penjerapan zat aktif dalam matriks lebih unggul dan dapat
  mempertahankan stabilitas lebih baik dari pada pengantaran solid lipid
  nanopartikel. Hal ini karena pada NLC tidak memungkinkan terjadinya
  rekristalisasi padatan lipid sehingga stabilitas dan ukuran partikel dapat
  dipertahankan dalam durasi penyimpanan [45]. NLC umumnya terdiri dari
  kombinasi lipid cair dan padatan yang memebentuk matriks kompleks
  nanopartikel dengan ukuran 50 nm hingga 1000 nm. Lipid padat yang
  digunakan sama dengan yang digunakan pada SLN dan lipid cair yang
  digunakan adalah trigliserida rantai menengah, trigliserida asam kaprilat
  dan kaprat, serta asam oleat [13]. Metode NLC memiliki keunggulan dari
  model nanopartikel lainnya dalam skala sclae up  karena memiliki tingkat
  degradasi lebih rendah serta penjerapan zat aktif dalam matriks yang
  maksimal [45]. Pada masa kini NLC lebih banyak dikembangkan untuk zat
   aktif yang memiliki kelarutan rendah seperti isotretinoin. Gel isotretinoin
  yang diformulasikan dalam sediaan gel dengan penghantaran NLC
  menunjukan onset cepat dan efek yang berkepanjangan. Gel ini juga
  memiliki resiko iritasi yang kecil dan penerimaan yang baik dalam
  penggunaan topikal [45]. NLC dengan zat aktif klindamisin untuk terapi
  acne juga menunjukan 90% efisiensi pada enkapsulasi yang menunjukan
  stabilitas yang optimum [49], [50]. Pada penelitian lain mengembangkan,
  mengkarakterisasi dan mengevaluasi potensi (NLC) dengan zat aktif
  dapsone sebagai pengobatan topikal untuk jerawat. Formulasi NLC
  dengan berhasil dengan menggunakan metode emulsifikasi/sonikasi.
  Ukuran partikel berkisar dari 106,2 ± 5,6 nm hingga 151,3 ± 7,4 nm, dan
  NLC memiliki muatan permukaan yang stabil, tergantung pada
  pengemulsi yang   digunakan (Tween 80, Transcutol P, atau
  cetyltrimethylammonium bromide). Efisiensi penjerapan berkisar antara
  76,5±3,8 % hingga 91,1±3,9. Berdasarkan pelepasan in-vitro, permeasi
  kulit ex-vivo, khasiat dan keamanan farmakologis yang dibandingkan
  dengan larutan hidroalkohol menunjukan dapsone dengan pembawa

matriks lipid NLC dan memiliki sistem pelepasan terkontrol dengan efek
  oklusif yang lebih baik [7]. Pada zat aktif adapalane yang memiliki
  efektivitas untuk jerawat diformulasi dengan pembawa NLC terbukti dapat
  meningkatkan kelarutan, penghantaran tertarget, pelepasan terkontrol,     dan stabilitas yang dapat dipertahankan [13].

       d.  Nano Emulsi

  Nano emulsi adalah bentuk penghantaran nanoteknologi yang terdiri dari   fase minyak dan fase air  serta  bahan  aktif.  Bahan  aktif   hidrofilik   dipertahankan dalam fase air dan lipofilik pada fase minyak. Nanoemulsi   memiliki berbagai keuntungan seperti meningkatkan kelarutan bahan aktif   dalam minyak dengan mendispersikan dahulu pada air, memudahkan   penetrasi bahan  aktif  hidrofilik  pada  kulit [50].  Nano  emulsi  juga   merupakan penghantaran tertarget yang digunakan dalam terapi jerawat.   Aktivitas anti bakteri dan anti inflamasi dari Thymus vulgaris meningkat   setelah di formulasi dalam penghantaran nano emulsi hal ini telah diuji   dalam secara in-vivo serta studi in-vitro dimana menunjukkan bahwa   Thymus vulgaris memiliki aktivitas antimikroba paling kuat, dengan fenolat   dan terpenoid sebagai konstituen antimikroba utama [51]. Selain itu   minyak   atsiri   dari  Origanum  vulgare  L.  juga  diformulasi  dalam   penghantaran  nano  emulsi  serta  diuji  secara in-vitro  dan  in-vivo.   Didapatkan hasil penyembuhan ya ng unggul  dibandingkan  dengan   antibiotik kontrol, serta secara kolektif menunjukan bahwa nano emulsi   minyak atsiri Origanum vulgare L. memiliki efek potensial dalam terapi   jerawat dan mengatasi resistensi antibiotik [21].  Zat aktif isotretinoin juga   diformulasi dalam penghantaran nanoemulsi menunjukan efek yang   optimum  sebagai  anti  jerawat  secara   in-vivo [37].   Karakterisasi   Nanoemulsi juga dilakukan pada zat aktif rifampisin dengan penghantaran   nano  emulsi  dan  melakukan   evaluasi efek   antibakterinya   pada   Staphylococcus aureus dan Stapilococcus epidermidis yang di isolasi dari   jerawat   dimana  hasil  yang  didapatkan  bahwa  sediaan   dengan   penghantaran nano emulsi mendapat hasil anti bakteri yang signifikan   [36].

       e.  Liposom

  Liposom adalah bentuk penghantaran  vesikular  yang  paling  awal   dikembangkan. Liposom terdiri dari beberapa lapisan yang mengandung   fosfolipid dan kolesterol.  Kombinasi  keduanya  dikhususkan  untuk   meningkatkan stabilitas dengan membentuk lapisan ganda. Lipososm
  dicirikan berdasarkan ukuran dan jumlah lapisan. Vesikel multilamelar   memiliki ukuran lebih besar dari 0.5 μm, sedangkan vesikel unilamelar   kecil memiliki ukuran 20 nm hingga 100 nm dan unilamelar besar memiliki   ukuran lebih dari 100 nm. Fosfolipid yang banyak digunakan adalah f  osfatidiletanolamin,  fosfatidilserin dan  fosfatidilkolin.  Fosfolipid  ini  

  merupakan komponen terbesar dalam vesikel liposom
  dengan konsentrasi   hingga 30%. Bagian fosfolipid ini dipisahkan oleh air
  sehingga liposom tidak hanya penghantaran untuk bahan aktif lipofilik
  namun juga bisa untuk  hidrofilik [33]. Formulasi liposom dikembangkan
  pada ekstrak   Rhodomyrtone   tomentosa   dan  secara  klinis  telah  diuji 
  dengan membandingkan bersama gel klindamisin 1%. Hasil yang
  didapatkan   adalah liposom ekstrak Rhodomyrtone tomentosa terbukti
  efektif dan   aman untuk pengobatan lesi dan inflamasi jerawat. Pada
  akhir uji klini   menunjukan pada kelompok ekstrak Rhodomyrtone
  tomentosa
berkurang secara signifikan 36.36%  dan 34.70% untuk gel
  klindamisin [33]. Pada antibiotik klindamisin juga telah diuji dengan
  penghantaran liposom efektif dalam  pengobatan  dan  penghambatan 
  jerawat.   Selain  itu   juga   dikembangkan teh hijau yang dijerap dalam
  liposom. Dibandingkan gel   liposom     klindamisin     (77,5%)   da the  
  hijau (74,8%)   menunjukan penghambatan dalam waktu 24 jam  [52].

       f.  Niosom

  Niosom adalah pengahantaran vesikular  yang terdiri dari  surfaktan   nonionik, kolesterol dan agen penginduksi muatan. Kolesterol digunakan   untuk  memperkuat   lapisan  bilayer  vesikular,    surfaktan   seperti   polioksietilen alkil eter dan ester dapat meningkatkan  stabilitas dan   mencegah degradasi kimia serta penginduksi muatan seperti dichetil   fosfat dan stearylamine berkontribusi terhadap tolakan elektrostatik untuk   menjaga stabilitas antar vesikular. Niosom memiliki keunggulan yaitu   memiliki waktu kontak lama terhadap kulit, mengurangi penyerapan   sistemik serta komponen yang lebih stabil untuk bahan aktif hidrofilik dari   pada liposom namun niosom juga memiliki kekurangan seperti stabilitas   fusi, agregasi dan kebocoran dalam penyimpanan jika tidak tepat dalam   penentuan perbandingan konsentrasi penyusun vesikular [32]. Beberapa   zat aktif diformulasikan dengan penghantaran niosom. Doksisiklin sebagai   antibiotik terapi jerawat diformulasi menggunakan lipid kolesterol dan   surfaktan span 60. Uji toksisitas niosom doksisiklin dilakukan pada Human   Dermal Fibroblast (HDF) dengan metode MTT setelah 72 jam, dan uji   aktivitas anti bakteri penyebab utama jerawat melalui uji antibiogram serta   pengaruhnya terhadap kulit tikus Wistar diukur. Didapatkan hasil terjadi   peningkatan viabilitas sel, peningkatan aktivitas antibakteri, dan tiga kali   lipat  peningkatan  deposisi  obat  dalam  formulasi niosom.  Secara   keseluruhan,   penelitian   ini   menunjukkan   kemampuan   niosom   mengandung doksisiklin efektif untuk mengatasi jerawat [53]. Gel anti
  jerawat niosom dengan bahan aktif ekstrak Piper betlr L. telah dilakukan   pengembangan dengan variasi surfaktan pada dua formula dimana hasil   menunjukan   formula   dengan   konsentrasi  surfaktan  lebih  tinggi   menghasilkan stabilitas  yang  lebih  baik [54].  Pada  penelitian lain   menunjukan efektifitas niosom rifampisin efektif terhadap penghambatan Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang diisolasi   dari jerawat [36].

       g.  Etosom

  Etosom   adalam   bentuk   penghantaran  vesikular yang  terdiri   dari   fosfatidilkolin, kolesterol dan etanol serta air. Penggunaan etanol menjadi   ciri khusus dari etosom. Jumlah etanol yang tinggi mencapai 20%-50%   digunakan untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif di kulit. Penggunaan
  fosfatidilkolin dan kolesterol dapat memperkuat lapisan vesikular dan
  dapat meningkatkan elastisitas penetrasi pada kulit [25]. Pengantaran
  dengan sistem etosom telah banyak dikembangkan untuk zat aktif salah
  satunya adalah asam azaleat. Pada formulasi ini mendapatkan hasil
  vesikel bulat, unilamellar dengan permukaan halus, menunjukkan ukuran
  4,25 ± 1,35 μm dan efisiensi penjeratan 91,86 ± 2,25%.  Formulasi ini
  menunjukkan peningkatan aktivitas anti jerawat dibandingkan dengan gel
  konvensional dan krim yang dipasarkan [25]. Pada penelitan lain juga
  mengembangkan etosom asam azaleat dimana hasil juga menunjukan
  bahwa etosom asam azalet efektif dalam penghantaran obat anti jerawat
  [28]. Optimasi etosom juga dilakukan pada thymoquinon untuk terapi
  jerawat. Didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa formulasi etosom
  yang dikembangkan telah menunjukkan efek yang cukup besar pada unit
  kelenjar sebaceous dengan mengurangi jumlah dan ukuran kelenjarnya.   Studi iritasi kulit lebih lanjut mengungkapkan bahwa formulasi yang
  dikembangkan ini aman, tidak mengiritasi dan formulasi yang dapat
  ditoleransi dengan baik untuk penggunaan topikal [27]. Studi lain
  mengembangkan etosom dengan zat aktif cryptotanshinone dan
  diformulasikan dalam sediaan gel topikal untuk pengobatan jerawat. Studi
  ini menunjukkan formulasi etosom adalah sistem pengiriman dermal yang
  efektif untuk cryptotanshinone, dan etosom cryptotanshinone gel efektif
  dalam perawatan jerawat [30].

       h.  Transfersom

  Transfersom adalah bentuk penghantaran vesikular yang pada
  komponennya ditambahkan surfaktan sehingga memiliki sifat yang ultra
  fleksibel dan elastis. Vesikel transfersom terdiri dari bilayer fosfolipid
  kompleks dan aktivator tepi yakni surfaktan seperti natrium deoksikolat,
  natrium cholate, span 60, span 65 dan span 80. Penggunaan surfakatan
  tersebut yang membuat vesikel transfersome ultra fleksibel dan dapat
  melewati pori yang kecil [42]. Pada penelitan terbaru dikembangkan terapi
  jerawat photodynamic menggunakan P. acnes lipase-sensitive
  transfersome
(DSPE-PEGPheo A (DPP) transfersome). Untuk
  meningkatkan selektivitas dan penetrasi kuli serta efisiensi, transfersom
  DPP dibuat dari 1,2-distearoyl-sn-glycero-3-fosfoetanolamin-N-
  [amino(polietilen glikol)-2000], feoforbida A (Pheo A), kolesterol, dan
  Tween-80. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa DPP terapi

  fotodinamik yang dimediasi transfersome dapat digunakan sebagai
  alternatif untuk mengobati infeksi bakteri kulit seperti jerawat [42].

         iNanopartikel Polimer

  Nanopartikel polimer adalah pengahantaran nanopartikel dengan
  menggunakan polimer sebagai pembungkus vesikular yang membawa zat
  aktif mencapai targetnya. Nanopartikel yang menggunakan polimer
  sebagai bahan vesikel termasuk dalam golongan nanosphere,
 
nanocapsule dan lipid based nanocapsules. Nanopartikel yang
  menggunakan polimer memiliki ukuran rentang antara 20-1500 nm
  dimana matriks polimer ini dapat mengabsorbsi bahan aktif lipofilik dan
  menstabilkan pada permukaannya. Nanopartikel polimer tersusun dari
  beberapa lapisan dimana terdapat inti hidroflik dan inti lipofilik. Inti
  hidrofilik akan menjerap zat aktif polar sedang untuk zat aktif nonpolar
  akan terjerap pada inti lipofilik [17]. Pada zat aktif asam azaleat
  diformulasikan menggunakan polimer PLGA (poly(lactide-co-glycolide))
  diuji berpotensi meningkatkan aktivitas anti jerawat (catarina pablo).
  Polimer delonix digunakan sebagai penghantaran isotretinoin untuk terapi
  jerawat. Hasil yang didapatkan adalah polimer delonix berhasil
  mempertahankan stabilitas dan meningkatkan efektivitas anti jerawat dari
  isotretinoin (Reis et al., 20s14).

         j.  Nanofiber

  Nano fibers adalag pengahantaran vesikular dengan susunan fiber atau
  serat yang berukuran 50 hingga 100 nm. Fiber yang memiliki ukuran nano
  dapat mempertahankan sifat fisik dari vesikular serta memiliki fleksibilitas
  yang baik. Komponen utama dari racun lebah yang memiliki aktivitas
  antibakteri dan antiinflamasi diformulasi dalam nano fiber menggunakan
  polimer  kitosan. Kitosan merupakan polisakarida biodegradable yang
  juga memiliki aktivitas antiinflamasi, antimikroba, dan sifat regeneratif.
  Pada penelitian ini kitosan memiliki serat nano  0,001 dan 0,003% yang
  memiliki efek dalam pengobatan topikal jarawatb [46], [55]

        k.  Silver nanopartikel

  Nanopartikel dengan menggunakan silver sebagai penghantarnya.
  Keunggulan dari nanopartikel silver adalah memiliki konduktivitas listrik
  yang besar, sifat optik, biologis dan sifat termal yang dapat
  mempertahankan stabilitas dari nanopartikel [56]. Nanopartikel siler juga
  digunakan sebagai agen tunggal yang dapat membantu efekstivitas bahan   aktif khususnya sebagai antibakteri. Pada penelitian yang telah dilakukan
  yaitu sintesis silver nanoparticle dengan bahan aktif saponin dari ekstrak
  Chenopodium album L. Peningkatan konsentrasi berbanding lurus dengan
  peningkatan aktivitas dalam proses optimasi. Studi pendahuluan ini
  menunjukkan potensi anti jerawatnya, yang dapat digunakan dalam terapi

  di masa depan [43]. Silver nanoparticle juga disintesis dari ekstrak
  Coriandrum sativum memiliki aktivitas anti jerawat, anti ketombe dan anti
  kanker payudara [41].     

            l.  Gold nanopartikel

  Gold nanopartikel merupakan jenis nanopartikel dengan menggunakan
  emas sebagai salah satu penyusun vesikel. Nanopartikel emas ini
  dianggap sebagai bahan yang ideal untuk aplikasi biosensing dan
  biomedis. Nanopartikel jenis ini memiliki sifat yang unik seperti
  dispersibilitas yang tinggi dalam air, mudah disintesis dan dapat memiliki
  sifat yang spesifik sesuai dengan ukuran dan bentuknya serta dapat
  mempunyai fungsi melapisi permukaan bahan dan mempertahankan
  tegangan antar muka dari vesikel [57]. Berdasarkan tinjauan yang telah
  dilakukan nanopartikel dengan penghantaran emas ini telah banyak
  dikembangkan khusunya sebagai penghantarab agen anti bakteri [40].
  Dalam penelitian dilakukan uji terhadap bakteri P. acnes menggunakan
  metode lempeng dan metode difusi hasilnya menunjukan nanopartikel
  dengan pembawa emas menjadi agen prospektif untuk menggantikan
  antibiotik sebagai anti bakteri penyebab jerawat [58]. Aktivitas antibakteri
  suspensi nanopartikel emas dari fungsi permukaan berbeda diselidiki
  terhadap strain standar Staphylococcus aureus dan Propionibacterium
  acnes
, dengan mempertimbangkan dua faktor yang umumnya
  “diabaikan”: stabilitas koloid suspensi setelah dicampur dengan media
  pertumbuhan bakteri dan kemungkinan kontribusi “kotoran/molekul” dalam
  suspensi terhadap aktivitas antibakteri yang diamati [39]. Penelitian lain
  dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dan potensi
  penyembuhan luka dari nanopartikel emas dengan zat aktif ekstrak
  tanaman Plectranthus aliciae yang merupakan tanaman endemik Afrika
  Selatan senyawa utamanya asam rosmarinic. Studi ini menyimpulkan
  bahwa nanopartikel emas dengan asam rosmarinic berpotensi digunakan
  untuk mengobati luka dengan aktivitas antibakteri [12].

       m.  Titanium dioxide nanopartikel

  Titanium dioxide TiO2 dan ZnO banyak dikembangkan sebagai
  penhantaran nanopartikel. Pada penggunaan sebagai penghantaran
  bahan aktif anti jerawat kombinasi keduanya akan menghasilkan sifat
    |katalitik yang kuat, aktivitas termodinamika yang stabil serta dapat
    memberikan perlindungan terhadap radiasi matahari. Aplikasi dalam
  bentuk sediaan juga memiliki keuntungan seperti transparansi,
  kemudahan dalam aplikasi, tekstur yang menyenangkan, dapat jauh
  ditoleransi oleh kulit dalam segi toksisitasnya. Adapun nilai tambah dalam
  terapi jerawat adalah perlindungan terhadap UV hal ini karena kulit
  berjerawat harus mendapat proteksi lebih dari sinir UV [57].

Kesimpulan

Pengembangan nanoteknologi untuk pengobatan jerawat telah banyak dilakukan pada berbagai zat aktif sintesis maupun alami. Pengembangan tersebut untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan stabilitas zat aktif, meningkatkan penetrasi ke membran kulit, menghantarkan obat tertarget serta memperpanjang waktu kontak. Berdasarkan ulasan yang telah dilakukan didapatkan bahwa macam penghantaran nanopartikel cenderung menggunakan lipid untuk menstabilkan zat aktif serta mempertahankan stabilitas zat aktif. Penggunaan surfaktan dan etanol juga digunakan untuk menstabilkan teganagan antar muka dari partikel.Pengembangan nanoteknologi ini diharapkan dapat menjadi alternatif untuk zat aktif yang memiliki kelarutan buruk serta stabilitas yang buruk.

Daftar Pustaka

[1]  A. H. S. Heng, Y. H. Say, Y. Y. Sio, Y. T. Ng, and F. T. Chew, “Epidemiological Risk Factors Associated with Acne Vulgaris Presentation, Severity, and Scarring in a Singapore Chinese Population: A Cross-Sectional Study,” Dermatology, vol. 238, no. 2, pp. 226–235, 2022, doi: 10.1159/000516232.

[2]  E. Touitou and H. Natsheh, “Topikal administration of drugs incorporated in carriers containing phospholipid soft vesicles for the treatment of skin medical conditions,” Pharmaceutics, vol. 13, no. 12, 2021, doi: 10.3390/pharmaceutics13122129.

[3]  F. A. Khamdan, M. A. Shah, M. A. Khamdan, and E. Albasri, “Acromegaly Presenting with Resistant Acne Vulgaris,” Case Rep. Dermatol., vol. 14, no. 2, pp. 151–156, 2022, doi: 10.1159/000525069.

[4]  J. Tan, R. Bissonnette, D. Gratton, N. Kerrouche, and J. M. Canosa, “The safety and efficacy of four different fixed combination regimens of adapalene 0.1%/benzoyl peroxide 2.5% gel for the treatment of acne vulgaris: results from a randomised controlled study,” Eur. J. Dermatology, vol. 28, no. 4, pp. 502–508, 2018, doi: 10.1684/ejd.2018.3367.

[5]  M. Bertolani et al., “The influence of Mediterranean diet in acne pathogenesis and the correlation with insulin-like growth factor-1 serum levels: Implications and results,” Dermatology Reports, vol. 14, no. 1, pp. 11–14, 2022, doi: 10.4081/dr.2022.9143.

[6]  N. Afshari, M. Amirnia, D. Ahmadi, S. Kashefi, and V. Aghamohammadi, “Comparing the efficacy of intense pulsed light combined with oral azithromycin versus oral azithromycin alone in the treatment of moderate to severe papulopustular acne vulgaris,” Med. J. Tabriz Univ. Med. Sci., vol. 42, no. 6, pp. 621–626, 2021, doi: 10.34172/mj.2021.001.

[7]  M. Elmowafy et al., “Impact of nanostructured lipid carriers on dapsone delivery to the skin: in vitro and in vivo studies,” Int. J. Pharm., vol. 572, p. 118781, 2019, doi: 10.1016/j.ijpharm.2019.118781.

[8]  S. Pena, D. Hill, and S. R. Feldman, “Use of topikal retinoids by dermatologists and non-dermatologists in the management of acne vulgaris,” J. Am. Acad. Dermatol., vol. 74, no. 6, pp. 1252–1254, 2016, doi: 10.1016/j.jaad.2016.01.011.

[9]  W. Sonyot et al., “In vitro antibacterial and anti-inflammatory effects of novel insect fungus polycephalomyces phaothaiensis extract and its constituents against propionibacterium acnes,” Antibiotics, vol. 9, no. 5, 2020, doi: 10.3390/antibiotics9050274.

[10]  A. M. O’Neill et al., “Antimicrobial production by perifollicular dermal preadipocytes is essential to the pathophysiology of acne,” Sci. Transl. Med., vol. 14, no. 632, 2022, doi: 10.1126/scitranslmed.abh1478.

[11]  N. Kirsten, N. Mohr, and M. Augustin, “Prevalence and cutaneous comorbidity of acne vulgaris in the working population,” Clin. Cosmet. Investig. Dermatol., vol. 14, pp. 1393–1400, 2021, doi: 10.2147/CCID.S322876.

[12]  P. Mawardi, I. Ardiani, P. P. Primisawitri, and A. Nareswari, “Dual role of cutibacterium acnes in acne vulgaris pathophysiology,” Bali Med. J., vol. 10, no. 2, pp. 486–490, 2021, doi: 10.15562/bmj.v10i2.2358.

[13]  S. Ahmad Nasrollahi, F. Koohestani, A. Naeimifar, A. Samadi, A. Vatanara, and A. Firooz, “Preparation and evaluation of adapalene nanostructured lipid carriers for targeted drug delivery in acne,” Dermatol. Ther., vol. 34, no. 2, pp. 1–10, 2021, doi: 10.1111/dth.14777.

[14]  R. Pugashetti and K. Shinkai, “Treatment of acne vulgaris in pregnant patients,” Dermatol. Ther., vol. 26, no. 4, pp. 302–311, 2013, doi: 10.1111/dth.12077.

[15]  N. Hayashi et al., “Clindamycin phosphate 1.2%/benzoyl peroxide 3% fixed-dose combination gel versus topikal combination therapy of adapalene 0.1% gel and clindamycin phosphate 1.2% gel in the treatment of acne vulgaris in Japanese patients: A multicenter, randomized, invest,” J. Dermatol., vol. 45, no. 8, pp. 951–962, 2018, doi: 10.1111/1346-8138.14497.

[16]  A. Bisht et al., “Hydrogel composite containing azelaic acid and tea tree essential oil as a therapeutic strategy for Propionibacterium and testosterone-induced acne,” Drug Deliv. Transl. Res., vol. 12, no. 10, pp. 2501–2517, 2022, doi: 10.1007/s13346-021-01092-4.

[17]  C. P. Reis, N. Martinho, C. Rosado, A. S. Fernandes, and A. Roberto, “Design of polymeric nanoparticles and its applications as drug delivery systems for acne treatment,” Drug Dev. Ind. Pharm., vol. 40, no. 3, pp. 409–417, 2014, doi: 10.3109/03639045.2013.767826.

[18]  V. D. Callender, H. Baldwin, F. E. Cook-Bolden, A. F. Alexis, L. Stein Gold, and E. Guenin, “Effects of Topikal Retinoids on Acne and Post-inflammatory Hyperpigmentation in Patients with Skin of Color: A Clinical Review and Implications for Practice,” Am. J. Clin. Dermatol., vol. 23, no. 1, pp. 69–81, 2022, doi: 10.1007/s40257-021-00643-2.

[19]  K. Chilicka, A. M. Rogowska, R. Szyguła, I. Dzieńdziora-Urbińska, and J. Taradaj, “A comparison of the effectiveness of azelaic and pyruvic acid peels in the treatment of female adult acne: a randomized controlled trial,” Sci. Rep., vol. 10, no. 1, pp. 1–8, 2020, doi: 10.1038/s41598-020-69530-w.

[20]  S. St. Surin-Lord and J. Miller, “Topikal Treatment of Truncal Acne with Tretinoin Lotion 0.05% and Azelaic Acid Foam,” Case Rep. Dermatol. Med., vol. 2020, 2020, doi: 10.1155/2020/5217567.

[21]  K. Balighi, M. Daneshpazhooh, V. Lajevardi, S. Talebi, and A. Azizpour, “Cheilitis in acne vulgaris patients with no previous use of systemic retinoid products,” Australas. J. Dermatol., vol. 58, no. 3, pp. 211–213, 2017, doi: 10.1111/ajd.12476.

[22]  M. Yaldiz, A. Kara, M. Guven, B. Solak, R. Kara, and M. T. Erdem, “Assessment of auditory function and lipid levels in patients receiving oral isotretinoin (13-cis retinoid) therapy for acne vulgaris,” Postep. Dermatologii i Alergol., vol. 37, no. 3, pp. 360–363, 2020, doi: 10.5114/ada.2018.79566.

[23]  S. E. Koçyiğit, M. Şahin, Y. Houshyar, F. S. Dost Günay, and D. Çorapçioğlu, “Effects of isotretinoin treatment on levels of hormones involved in the etiopathogenesis of acne,” Turkish J. Endocrinol. Metab., vol. 24, no. 3, pp. 237–246, 2020, doi: 10.25179/tjem.2020-75230.

[24]  E. Soebakti, M. Y. Listiawan, and E. Ervianti, “Kadar Hormon 17Α – Hydroxyprogesteron ( 17- OHP ) Serum pada Pasien Pria dengan Akne Vulgaris Sedang-Berat dan tanpa Akne Vulgaris ( Hormone Levels of 17α -Hydroxyprogesterone ( 17-OHP ) Serum in Male Patients with Acne Vulgaris Moderate-Severe and Withou,” Berk. Ilmu Kesehat. Kulit dan Kelamin, vol. 30, no. 1, p. 1, 2018.

[25]  A. Mistry and P. Ravikumar, “Development and evaluation of azelaic acid based ethosomes for topikal delivery for the treatment of acne,” Indian J. Pharm. Educ. Res., vol. 50, no. 3, pp. S232–S243, 2016, doi: 10.5530/ijper.50.3.34.

[26]  Z. Yu, H. Lv, G. Han, and K. Ma, “Ethosomes Loaded with cryptotanshinone for acne treatment through topikal gel formulation,” PLoS One, vol. 11, no. 7, pp. 1–11, 2016, doi: 10.1371/journal.pone.0159967.

[27]  H. Kausar et al., “Optimization of ethosomes for topikal thymoquinone delivery for the treatment of skin acne,” J. Drug Deliv. Sci. Technol., vol. 49, pp. 177–187, 2019, doi: 10.1016/j.jddst.2018.11.016.

[28]  R. R. Mustofa and Iskandarsyah, “Preparation and characterization of anti-acne ethosomes using cold and thin-layer hydration methods,” Int. J. Appl. Pharm., vol. 10, no. Special Issue 1, pp. 338–342, 2018, doi: 10.22159/ijap.2018.v10s1.75.

[29]  A. Jain, “Topikal Delivery of Erythromycin Through Cubosomes For Acne,” Pharm. Nanotechnol., vol. 06, pp. 38–47, 2018, doi: 10.2174/2211738506666180209100222.

[30]  T. Zuo et al., “Cryptotanshinone-loaded cerasomes formulation: In vitro drug release, in vivo pharmacokinetics, and in vivo efficacy for topikal therapy of acne,” ACS Omega, vol. 1, no. 6, pp. 1326–1335, 2021, doi: 10.1021/acsomega.6b00232.

[31]  G. Jafar, M. Abdassah, T. Rusdiana, and R. Khairunisa, “Development and characterization of precirol ato 88 base in nanostructured lipid carriers (Nlc) formulation with the probe sonication method,” Int. J. Appl. Pharm., vol. 13, no. special issue 3, pp. 43–46, 2021, doi: 10.22159/IJAP.2021.V13S3.08.

[32]  B. A. Habib, N. F. Abdeltawab, and I. Salah Ad-Din, “D-optimal mixture design for optimization of topikal dapsone niosomes: in vitro characterization and in vivo activity against Cutibacterium acnes,” Drug Deliv., vol. 29, no. 1, pp. 821–836, 2022, doi: 10.1080/10717544.2022.2048131.

[33]  S. Wunnoo et al., “Rhodomyrtone as a new natural antibiotic isolated from rhodomyrtus tomentosa leaf extract: A clinical application in the management of acne vulgaris,” Antibiotics, vol. 10, no. 2, pp. 1–12, 2021, doi: 10.3390/antibiotics10020108.

[34]  S. Rahnama et al., “Development and characterization of the electrospun melittin-loaded chitosan nanofibers for treatment of acne vulgaris in animal model,” J. Ind. Text., vol. 52, pp. 1–24, 2022, doi: 10.1177/15280837221112410.

[35]  A. Hadjizadeh, “Niosome encapsulated doxycycline-hyclate for potentiation of acne therapy : formulation and characterization,” 2021.

[36]  M. Dominic, R. Joseph, P. M. S. Begum, P. Kanoth, J. Chandra, and S. Thomas, “ur na l P of,” Carbohydr. Polym., p. 115620, 2019, doi: 10.1016/j.hermed.2021.100453.

[37]  A. T. OGUNJIMI, “Isotretinoin-loaded Delonix polymeric nanoparticles prospects as a delivery tool in the treatment of acne,” 2018.

[38]  P. Dhillon, M. A. Mirza, M. K. Anwer, A. S. Alshetaili, S. M. Alshahrani, and Z. Iqbal, “Development and optimization of erythromycin-loaded lipid-based gel by Tdesign: In vitro characterization and antimicrobial evaluation,” Brazilian J. Pharm. Sci., vol. 55, pp. 1–9, 2019, doi: 10.1590/s2175-97902019000217395.

[39]  N. N. Mahmoud, A. M. Alkilany, E. A. Khalil, and A. G. Al-Bakri, “Antibacterial activity of gold nanorods against staphylococcus aureus and propionibacterium acnes: Misinterpretations and artifacts,” Int. J. Nanomedicine, vol. 12, pp. 7311–7322, 2017, doi: 10.2147/IJN.S145531.

[40]  H. Hidayat et al., “Antibacterial and photocatalytic activity of visible-light-induced synthesized gold nanoparticles by using Lantana camara flower extract,” Green Process. Synth., vol. 11, no. 1, pp. 1072–1082, 2022, doi: 10.1515/gps-2022-0091.

[41]  I. A. Lambrechts et al., “Targeting Acne Bacteria and Wound Healing In Vitro Using Plectranthus aliciae, Rosmarinic Acid, and Tetracycline Gold Nanoparticles,” Pharmaceuticals, vol. 15, no. 8, 2022, doi: 10.3390/ph15080933.

[42]  H. Park et al., “Lipase-Sensitive Transfersomes Based on Photosensitizer/Polymerizable Lipid Conjugate for Selective Antimicrobial Photodynamic Therapy of Acne,” Adv. Healthc. Mater., vol. 5, no. 24, pp. 3139–3147, 2016, doi: 10.1002/adhm.201600815.

[43]  J. K. Sharma, P. Srivastava, S. Ameen, M. S. Akhtar, S. K. Sengupta, and G. Singh, “Phytoconstituents assisted green synthesis of cerium oxide nanoparticles for thermal decomposition and dye remediation,” Mater. Res. Bull., vol. 91, pp. 98–107, 2017.

[44]  N. Karimi, B. Ghanbarzadeh, H. Hamishehkar, and B. Mehramuz, “Antioxidant , Antimicrobial and Physicochemical Properties of Turmeric Extract-Loaded Nanostructured Lipid Carrier ( NLC ),” vol. 22, no. November 2017, pp. 18–24, 2018, doi: 10.1016/j.colcom.2017.11.006.

[45]  S. L. Patwekar, S. R. Pedewad, and S. Gattani, “Development and evaluation of nanostructured lipid carriers-based gel of isotretinoin,” Part. Sci. Technol., vol. 36, no. 7, pp. 832–843, 2018, doi: 10.1080/02726351.2017.1305026.

[46]  R. Goyal, L. K. Macri, H. M. Kaplan, and J. Kohn, “Nanoparticles and nanofibers for topikal drug delivery,” J. Control. Release, vol. 240, pp. 77–92, 2016, doi: 10.1016/j.jconrel.2015.10.049.

[47]  M. Maria Leena, L. Mahalakshmi, J. A. Moses, and C. Anandharamakrishnan, Nanoencapsulation of nutraceutical ingredients. Elsevier Inc., 2020. doi: 10.1016/B978-0-12-816897-4.00014-X.

[48]  E. Alğin Yapar, “Skin whiteners an overview,” Marmara Pharm. J., vol. 21, no. 1, pp. 48–53, 2017, doi: 10.12991/marupj.259880.

[49]  N. Fatima, S. Rehman, B. Nabi, S. Baboota, and J. Ali, “Harnessing nanotechnology for enhanced topikal delivery of clindamycin phosphate,” J. Drug Deliv. Sci. Technol., vol. 54, no. September, p. 101253, 2019, doi: 10.1016/j.jddst.2019.101253.

[50]  S. Tolentino, M. N. Pereira, M. C. de Sousa, M. Cunha-Filho, G. M. Gelfuso, and T. Gratieri, “The influence of sebaceous content on the performance of nanosystems designed for the treatment of follicular diseases,” J. Drug Deliv. Sci. Technol., vol. 59, p. 101895, 2020, doi: 10.1016/j.jddst.2020.101895.

[51]  M. A. Hossain, K. A. S. AL-Raqmi, Z. H. AL-Mijizy, A. M. Weli, and Q. Al-Riyami, “Study of total phenol, flavonoids contents and phytochemical screening of various leaves crude extracts of locally grown Thymus vulgaris,” Asian Pac. J. Trop. Biomed., vol. 3, no. 9, pp. 705–710, Sep. 2013, doi: 10.1016/S2221-1691(13)60142-2.

[52]  F. Li and A. V. Singh, “Recent advancements to enhance the therapeutic efficacy of antiepileptic drugs,” Acta Pharm., vol. 71, no. 4, pp. 527–544, 2021, doi: 10.2478/acph-2021-0041.

[53]  M. S. Adel Mehraban et al., “Effect of rose oil on Gastroesophageal Reflux Disease in comparison with omeprazole: A double-blind controlled trial,” Complement. Ther. Clin. Pract., vol. 43, no. March, p. 101361, 2021, doi: 10.1016/j.ctcp.2021.101361.

[54]  M. Jufri, M. Muthaharrah, E. Humairah, and E. H. Purwaningsih, “Stability of anti-acne niosome gels containing betel leaf (Piper betle L.) essential oil,” Int. J. Appl. Pharm., vol. 9, pp. 130–134, 2017, doi: 10.22159/ijap.2017.v9s1.72_79.

[55]  F. Tuğcu-Demiröz, S. Saar, A. A. Kara, A. Yıldız, E. Tunçel, and F. Acartürk, “Development and characterization of chitosan nanoparticles loaded nanofiber hybrid system for vaginal controlled release of benzydamine,” Eur. J. Pharm. Sci., vol. 161, no. March, 2021, doi: 10.1016/j.ejps.2021.105801.

[56]  S. Gurusamy et al., “Environmental friendly synthesis of TiO 2 -ZnO nanocomposite catalyst and silver nanomaterilas for the enhanced production of biodiesel from Ulva lactuca seaweed and potential antimicrobial properties against the microbial pathogens,” J. Photochem. Photobiol. B Biol., vol. 193, no. February, pp. 118–130, 2019, doi: 10.1016/j.jphotobiol.2019.02.011.

[57]  S. V. Sheen Mers, E. T. Deva Kumar, and V. Ganesh, “Gold nanoparticles-immobilized, hierarchically ordered, porous TiO2 nanotubes for biosensing of glutathione,” Int. J. Nanomedicine, vol. 10, pp. 171–182, 2015, doi: 10.2147/IJN.S80054.

[58]  P. T. Huynh et al., “One-Pot, Surfactant-Free Synthesis of Gold Nanostars and Evaluation of Their Antibacterial Effects against Propionibacterium acnes,” J. Nanomater., vol. 2021, 2021, doi: 10.1155/2021/6650661.

cara mengutip artikel ini

https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/45498/0

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Pemetaan Suhu Chiller Penyimpanan Produk Rantai Dingin Pada Salah Satu PBF (Pedagang Besar Farmasi) di Jakarta

Majalah Farmasetika, 8 (4) 2023, 373-385https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v8i4.46676Artikel PenelitianPutri Pamungkas1*, Ida Musfiroh21Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *