Uji Performa Pengaruh Gliserin dalam Formulasi Sabun Cair Cuci Piring

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 429-442

https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.56837

Artikel Penelitian

Neny Rasnyanti M Aras*, Mega Fia Lestari


Program Studi Analisis Kimia, Akademi Komunitas Industri Manufaktur, Sulawesi Selatan, Indonesia

*E-mail : neny.aras@akom-bantaeng.ac.id

(Submit 02/08/2024, Revisi 03/08/2024, Diterima 23/09/2024, Terbit 30/09/2024)

Abstak

Sabun merupakan produk yang wajib ada di rumah yang berpotensi untuk dikembangkan guna kenyamanan konsumen. Pembuatan sabun cuci cair menggunakan surfaktan sebagai bahan utama dengan berbagai bahan tambahan berguna meningkatkan kinerjanya. Dalam penelitian ini enam formulasi dibuat untuk menguji kinerja sabun cair cuci piring dengan menambahkan gliserin pada berbagai konsentrasi dengan bahan utama SLES (Sodium Lauryl Ether Sulphate) menggunakan metode dingin. Dengan memasukkan gliserin, SLES, dan bahan ramah lingkungan lainnya dalam formulasi sabun, dimungkinkan untuk menciptakan sabun berkualitas tinggi yang tidak hanya membersihkan secara efektif tetapi juga memberikan nutrisi dan hidrasi pada kulit, memenuhi permintaan yang terus meningkat akan produk yang berkelanjutan dan ramah kulit di industri kosmetik. Keenam variasi yang dihasilkan diukur sifat organoleptik fisik dan kimianya. Kinerja deterjen terbaik dalam hal kelembaban dan tinggi busa ditunjukkan pada formulasi F3 dengan bau yang tidak menyengat berwarna transparan, nilai FFA sebesar 0,09+0,00 dan pH 5,77+0,01 dengan kecenderungan viskositas dan kelembaban yang proporsional satu sama lain dengan campuran gliserin seiring dengan bertambahnya gliserin pada batas tertentu. Secara umum kinerja sabun yang dibuat pada enam formulasi untuk semua parameter tidak terpengaruh dengan penambahan gliserin. Dimana warna  sabun yang dihasilkan transparan, bau yang agak menyengat, kesat, pH diantara 5,85 – 5,91 dan Free Fatty Acid (FFA) sebesar 0.09 %.

Kata kunci: gliserin, SLES, kelembaban, sabun cair cuci piring.

Teks Lengkap:

PDF

Pendahuluan

      Deterjen merupakan salah satu formulasi pembersih yang terdiri dari kombinasi beragam zat kimia. Komponen utama dalam deterjen adalah surfaktan (zat aktif permukaan), bahan pemutih, dan bahan pengharum (1,2). Deterjen umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kategori yakni pembersih permukaan keras, deterjen cucian, dan deterjen pencuci piring sesuai dengan aplikasinya (3). Sabun yang merupakan desinfektan digunakan untuk membersihkan debu, mikroorganisme, noda yang fungsinya meliputi pencucian pakaian, peralatan rumah tangga, dan peralatan industri. Bahan umum sabun adalah lemak dan minyak, dan sabun dibuat melalui proses saponifikasi (4).

Pada pembuatan sabun alami SLES dan gliserin dapat digunakan. SLES merupakan surfaktan sintetis yang diketahui dapat menyebabkan iritasi kulit dan reaksi alergi, sehingga mendorong pencarian alternatif alami seperti gliserin (5). Gliserin, komponen alami, berperan dalam melawan oksidasi, menutrisi kulit, dan dapat digunakan dalam resep sabun alami (6).  Namun, saat membuat sabun alami, penting untuk mempertimbangkan potensi manfaat dan kekurangan setiap bahan untuk kulit. Sementara SLES dikaitkan dengan iritasi kulit, gliserin dikenal karena sifatnya yang melembabkan dan menutrisi kulit (5). Oleh karena itu, dalam resep sabun alami, disarankan untuk memprioritaskan penggunaan bahan alami seperti gliserin daripada surfaktan sintetis seperti SLES untuk memastikan produk yang ramah kulit dan efektif (5,6). Oleh karena itu, penambahan SLES dan gliserin dalam resep sabun alami dapat meningkatkan sifat pembersihan dan pelembab sabun sambil memanfaatkan bahan-bahan yang berkelanjutan dan mudah didapat.

SLES, surfaktan alami, efektif dalam menghilangkan noda (7) sementara gliserin, produk sampingan dari produksi biodiesel, berlimpah dan dapat diubah menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi seperti sabun karena sifatnya yang melembabkan (8). Fleksibilitas gliserin dalam produksi sabun terbukti dalam pencampuran formulasi sabun ramah lingkungan (8). Selain itu, proses pembuatan sabun cair alami melibatkan penggabungan gliserin dengan lapisan air untuk membuat produk sabun yang melembabkan (5). Dengan memanfaatkan SLES dan gliserin dalam resep sabun, seseorang dapat membuat produk yang tidak hanya membersihkan secara efektif tetapi juga memberikan kelembaban, memanfaatkan bahan-bahan yang berkelanjutan.

Gliserin adalah salah satu bahan yang umum digunakan dalam formulasi kosmetik dan farmasi, terutama untuk produk perawatan kulit seperti sabun, karena sifatnya yang melembapkan dan dapat memperbaiki kualitas produk akhir. SLES dan gliserin memang dapat digunakan dalam resep sabun alami, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian yang diberikan. SLES merupakan surfaktan alami yang berperan penting dalam menghilangkan noda (6), sedangkan gliserin, produk sampingan dari produksi biodiesel, tersedia secara melimpah dan dapat diubah menjadi produk bernilai tambah tinggi, termasuk sabun karena sifat pelembabnya (9).

Meskipun teknologi produksi pangan telah dimodernisasi, masalah keamanan pangan terus mendapat perhatian yang meningkat karena keberadaan bakteri, jamur, dan mikroorganisme patogen lainnya di mana-mana (10). Tangan manusia merupakan saluran pertukaran mikroorganisme antara lingkungan dan tubuh. Tangan dapat menampung spesies patogen, termasuk Staphylococcus aureus atau Escherichia coli yang resisten metisilin; khususnya di lingkungan berisiko tinggi, seperti layanan kesehatan dan tempat penanganan makanan seperti pada permukaan dapur  (11).  Kebersihan peralatan makan menjadi perhatian utama karena kontaminasi peralatan makan dengan mudah memindahkan berbagai jenis bakteri. Pembersihan dengan deterjen dapat secara efektif mengurangi jumlah bakteri pada permukaan peralatan makan (12–14).

Sabun gliserin mengandung gliserol yang berasal dari lemak atau minyak dan berbeda dari sabun lain karena tembus cahaya, yang diperoleh melalui penambahan alkohol dan gula (15). Sabun gliserin dengan komponen berupa 95% gliserol digunakan untuk orang yang memiliki kulit sensitif atau kering karena gliserin memiliki kelembaban yang tinggi dengan cara memepeerlambat proses penguapan pada permukaan kulit. 

Deterjen cair biasanya mengandung garam natrium dan surfaktan untuk biaya rendah dan peningkatan viskositas. Produk berkualitas tinggi menggunakan garam amonium atau trietanol yang lebih larut, meski lebih mahal. Pelarut organik atau gliserin, yang lebih terjangkau, digunakan sebagai alternatif untuk menekan biaya produksi. Gliserin, pelarut mirip air dan alkohol sederhana, larut sempurna dengan air, metanol, etanol, fenol, glikol, dan amina, tetapi kurang larut dalam aseton, dietil eter, dan hidrokarbon (16). Sifatnya yang alami dan tidak beracun membuatnya sering dipakai dalam pembuatan sabun karena dapat melembutkan tangan namun tetap mampu memberishkan kotoran dan aman bagi lingkungan.

Gliserin memiliki sifat antimikroba alami yang membantu menghambat pertumbuhan bakteri, meningkatkan kebersihan. Sebagai humektan, gliserin menarik kelembaban, memperpanjang daya tahan gelembung dalam cairan pencuci piring, dan meminimalkan kehilangan air dari kulit karena sifat higroskopisnya, menjaga kelembapan lebih lama (17).

Mengingat pertimbangan yang diuraikan di atas, solusi yang baik adalah dengan penggunaan gliserin tingkat teknis, yang saat ini harganya sangat murah, untuk pembuatan formulasi sabun cucian cair yang mengandung zat aktif dalam jumlah besar. Solusi seperti ini belum digunakan secara luas di industri hingga saat ini, terutama karena tidak menguntungkan. Akibatnya, penelitian ini merupakan upaya untuk menentukan apakah lebih menguntungkan menggunakan kombinasi gliserin dan surfaktan dalam bentuk garam natrium dibandingkan garam amonium kalium atau trietanol yang umum digunakan untuk menghasilkan formulasi yang ditandai dengan parameter fungsional tinggi yang sesuai.  Dalam penelitian ini, kami mengeksplorasi pengaruh penambahan gliserin terhadap parameter kualitas sabun yang diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu pH dan kadar Asam Lemak Bebas (FFA) serta uji organoleptiknya. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana penambahan gliserin dapat mempengaruhi stabilitas pH dan kadar FFA, yang merupakan indikator penting dalam menentukan keamanan, efektivitas, dan kualitas produk kosmetik.


Metode


Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni gelas ukur 100 mL, gelas kimia 1L, pH meter (Lutron YK 2005WA), stativ dan klem, batang pengaduk, neraca analitik (FUJITSU FS – AR 210 GRAM & AND GR-20), labu takar 100 mL, 500 mL (IWAKI), buret 50 mL (IWAKI), Erlenmeyer 250 mL (IWAKI), corong


Bahan

Akuades, gliserin (teknis), texapone, sodium sulfat (teknis), amfitol (teknis), NaCl (teknis), pewangi, KOH/HCl (merck), alkoholis 0,1N, indikator pp 1%, EDTA (merck).

 
Prosedur

Pembuatan sabun cair

SLES sebanyak 12%, NaCl 5%, sodium sulfat, EDTA 0,1% dicampurkan terlebih dahulu dalam gelas kimia, Setelah homogen campuran kemudian ditambahkan dengan amfitol sebesar 1 % dan gliserin sebanyak 0%, 0,7%, 0,8% dan 0,9%, 1%, dan 1,1% yang dapat dilihat pada Tabel 1. Setelah semua campuran homogen kemudian dilanjutkan dengan penambahan akuades hingga campuran melarut dengan baik. Setelah itu campuran didiamkan selama 24 jam dan terakhir ditambahkan dengan pewangi.

Tabel 1. Formula sabun dengan penambahan variasi gliserin

FormulaSLES (%)NaCl (%)Sodium sulfat (%)Amfitol (%)EDTA (%)Gliserin (%)
Kontrol12%5%4%1%0,1%0,0%
F112%5%4%1%0,1%0,7%
F212%5%4%1%0,1% 0,8 %
F312%5%4%1%0,1%0,9%
F412%5%4%1%0,1%1,0%
F512%5%4%1%0,1%1,1%

Uji tinggi busa (Santi, 2020).

Sebanyak 1 gram dari tiap formulasi ditimbang dan dimasukan dalam tabung reaksi yang telah berisi 10 mL akuades. Tabung reaksi kemudian ditutup dan dibolak-balikan selama 20 detik. Tinggi busa sabun kemudian diukur sebelum dan setelah sampel didiamkan selama 5 menit.

 % busa = (tinggi busa akhir)/(tinggi busa awal) x100%

Uji alkali atau asam lemak bebas pada sabun

Pengujian kadar FFA di lakukan sesuai SNI 2588:2017.

Timbang dengan teliti lebih kurang 5 g contoh dan masukkan ke dalam alkohol netral panaskan hingga hampir mendidih lalu tambahkan indikator pp. Apabila larutan tidak bersifat alkalis (tidak berwarna merah), didinginkan sampai suhu 70° C dan titrasi dengan larutan KOH 0,1 N dalam alkohol, sampai timbul warna merah yang tahan sampai 15 detik.

Uji organoleptik

Tiap formulasi diambil sebanyak 20 mL kemudian diamati  warna, bau, kekentalan, dan teksturnya diamati secara langsung melalui indra secara organoleptik. Uji kekentalan dilakukan dengan cara mengaduk sabun yang secara manual kemudian dibandingkan antara formulasi satu dengan yang lainnya.

 
Hasil

Parameter yang diuji pada sabun yang dibuat adalah parameter organoleptik (bau,warna, tekstur), kekentalan, tinggi busa, kekesatan, pH dan FFA. Berikut adalah hasil analisis parameter sabun yang telah diujikan. Pengujian duplo digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan kepresisian data menurut SNI jika data simplo dan duplo tidak berbeda maka pengujian dapat dilakukan secara duplo.

Tabel 2. Parameter organoleptik sabun cair cuci piring pada berbagai variasi

VariasiParameter Ukur
BauWarnaKelembabanKekesatan
Kontrol++++++++
F1++++++++
F2+++++++++++
F3+++++++++++++
F4++++++++++++
F5++++++++++++

Keterangan :

+  : kurang berbau/transparan/homogen

++  : cukup berbau/transparan/homogen

+++  : berbau agak menyengat/transparan/homogen

++++  : berbau menyengat/ sangat transparan/homogen


Tabel 3.
Parameter fisika sabun cair cuci piring pada berbagai variasi

VariasiParameter Ukur
KekentalanTinggi Busa (%)
Rata-rataRata-rata
Kontrol+++89,75 ± 0,35
F1+++94,25 ± 1,34
F2+++85,85 ± 2,33
F3++++96,00 ± 0,00
F4+++89,85 ± 2,62
F5++89,70 ± 0,42

Keterangan :

F1   : 0,7 % gliserin   F3 : 0,9 % gliserin 

F2   : 0,8 % gliserin  F4 : 1,0 % gliserin     F5 : 1,1 % gliserin

+  : kurang lembab/kesat/kental

++  : cukup lembab/kesat/kental

+++  : lembab/kesat/kental

++++  : sangat lembab/kesat/kental

Tabel 4. Parameter kimia sabun cair cuci piring pada berbagai formulasi

VariasiParameter Ukur
FFA (%)pH
Rata-rataRata-rata
Kontrol0,09 ± 0,005,85 ± 0,00
F10,09 ± 0,005,92 ± 0,01
F20,09 ± 0,005,73 ± 0,00
F30,09 ± 0,005,77 ± 0,01
F40,09 ± 0,005,71 ± 0,00
F50,09 ± 0,005,72 ± 0,00

Pembahasan

  Pada pembuatan sabun bahan-bahan yang ditambahkan sangat besar peranannya dalam menentukan kenampakan dan mutu sabun itu sendiri. Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan sabun akan mempengaruhi karakteristik sabun itu sendiri (18,19). Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sabun ini adalah texapon atau SLES dengan bentuk gel yang berfungsi sebagai pengangkat kotoran karena bahan utama dalam sabun ini adalah texapon atau dikenal dengan nama kimia sodium lauryl ether sulphate sehingga digolongkan dalam sabun hard oil. SLES bersifat sebagai surfaktan anionik yang dapat mengemulsikan zat berfase polar dan non polar (20). Sifatnya yang mudah larut dalam air bahkan pada temperatur ruangan memudahkan dalam proses produksi dalam penelitian ini. Pembuatan sabun  sendiri dapat dilakukan melalui proses pemanasan (21) maupun tanpa pemanasan (22,23). Namun metode ini baik digunakan jika kemurniaan bahan yang digunakan cukup tinggi. Selain itu stoikiometri dalam pembuatan sabun menggunakan metode dingin ini harus benar-benar diperhatikan agar tidak menyisakan bahan sisa dari reaktan (24). Contoh dari hasil samping dari reaksi esterifikasi adalah asam lemak bebas yang tidak tersaponifikasi dan gliserol (25).

Selain SLES, bahan lain yang digunakan juga sodium sulfat dan NaCl berbentuk butiran yang mempercepat pengangkatan kotoran dan sebagai pengental sabun cair. Sodium sulfat dapat menjaga pH yang seimbang dalam sediaan sabun selain itu, bahan ini akan mengentalkan sabun dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan asam lemak pada sabun. Senyawa kompleks yang terbentuk akan membantu meningkatkan viskositas sabun dan akan membantu membentuk busa yang lebih banyak.

Gambar 1. Sabun cair cuci piring pada berbagai konsentrasi

  Masyarakat saat ini masih cenderung lebih menyukai sabun dengan busa yang banyak untuk itu dalam pembuatan sabun ini digunakan juga amfitol. Keawetan atau stabilitas dalam penyimpanan sabun dilakukan melalui penambahan sejumlah EDTA selain itu komponen lain seperti essence sebagai pewangi untuk menarik minat konsumen juga menjadi bagian dari bahan tambahan yang dimasukan dalam pembuatan sabun ini. Pada proses pembuatannya akuades ditambahkan secara perlahan agar tidak terbentuk busa dalam prosesnya. Setelah semua bahan dihomogenkan, pendiaman selama 24 jam diperlukan guna menyempurnakan proses penyabunan sehingga akan diperoleh sabun yang transparan.

  Jika dilihat dari tabel 2 kelima formulasi parameter bau, kekesatan dan warna dengan penambahan gliserin tidak berpengaruh. Adapun pada tekstur terlihat pada F3 memiliki  tekstur yang paling kental dengan nilai tinggi busa yang paling besar. Hasil uji tinggi busa yang diperoleh tidak begitu signifikan antar satu formulasi dengan formulasi lainnya hal ini serupa dengan penelitian dari Sukmawati et al. (2019). Namun untuk parameter tekstur perlu dikonfirmasi kembali dengan viskometer untuk mengetahui seberapa kental sabun yang dihasilkan.

  Gliserin bersifat basa, tiga gugus hidroksil gliserin membuatnya larut dalam air dan higroskopis, sehingga memungkinkannya menarik air ke lapisan luar kulit dan bertindak sebagai pelembab (The Royal Society, 2014).  Hal ini akan membuat kulit terhidrasi. Hal tersebut tidak lepas dari peran gliserin sebagai pelembab. Gliserin memberikan larutan pembersih yang lembut namun efektif, tidak seperti pembersih kimia tradisional yang dapat mengeluarkan asap berbahaya dan mengiritasi kulit. Penggunaannya tidak hanya aman bagi kulit tapi juga aman bagi lingkungan. Uji fungsi gliserin sebagai agen pelembab tersebut sesuai dengan data pada Tabel 2 dimana F3 merupakan formulasi terbaik dalam memberikan kelembaban kuat ketika dipakai sementara pada F4 dan F5 tidak nampak penambahan kelembaban setelah gliserin ditambahkan. Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa penambahan gliserin telah mencapai titik optimumnya/kejenuhannya.

  Dari hasil yang didapatkan bahwa semakin tinggi penambahan gliserin pada sabun cair maka kemampuan produk dalam mempertahankan kelembabannya. Kemampuan ini juga masih terkait dengan parameter viskositas. Tingginya viskositas produk akan mempengaruhi kelembaban produk. Viskositas yang tinggi menandakan kuatnya ikatan antar molekul penyusunannya sehingga komponen yang ada di dalamnya tidak akan mudah menguap. Viskositas formulasi sabun cair juga dipengaruhi oleh keberadaan SLS. Penambahan SLS menghasilkan penurunan viskositas, menunjukkan bahwa SLS dapat membantu menciptakan aliran yang lebih lancar dalam sabun cair (26).

Konsentrasi pada kontrol F1-F2 penambahan gliserin tidak berpengaruh signifikan terhadap viskositas sabun cair seperti terlihat pada Tabel 3. Pada F3 viskositas mencapai kekentalan paling tinggi dibandingkan dengan variasi yang lain. Namun begitu, direkomendasikan untuk dilakukan pengujian kekentalan dengan menggunakan viskometer untuk melihat hubungan liniearitas antara kekentalan produk yang dihasilkan dengan penambahan gliserin.

Selain sebagai pelembab dalam obat-obatan dan kosmetik karena sifat emoliennya, viskositas krim, losion, dan salep berbahan dasar gliserin menentukan tekstur, daya sebar, dan laju penyerapannya. Produsen perlu mengontrol viskositas dengan hati-hati untuk memastikan kinerja produk yang optimal. Di sisi lain selain kelembaban kemampuan gliserin dalam menarik air memungkinkan ia menjadi agen pengental dalam sabun namun tidak sebaik jika menggunakan garam Hydroxyethylcellulose (HEC), Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC), Xanthan Gum. Adapun penggunaan bahan pengental sebaiknya tidak lebih dari 1%. Selain sebagai humectant gliserin sendiri juga memiliki sifat anti mikroba dan antivirusnya, gliserin digunakan dalam perawatan luka dan luka bakar. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan viskositas sabun pada berbagai formulasi bertambah seiring dengan penambahan gliserin pada tingkat tertentu. Kekentalan pada sabun paling tinggi pada F3 dan akhirnya turun kembali pada F4. Viskositas ini dipengaruhi oleh suhu viskositas gliserin menurun sehingga lebih mudah mengalir. Sebaliknya, seiring bertambahnya konsentrasi gliserin, viskositasnya juga meningkat sehingga lebih kental dan lebih tahan terhadap aliran.

Uji kemampuan sabun dalam membersihkan lemak pada penelitian ini dapat dilihat pada parameter kekesatan dan tinggi pH. Terlihat dari hasil uji pada Tabel 3 bahwa uji kekesatan untuk semua variasi relatif sama atau tidak terpengaruh terhadap penambahan gliserin dalam formulasi sabun meskipun hasil ini masih perlu diuji lebih lanjut secara kuantitatif. Pada umumnya konsumen lebih menyukai sabun dengan busa yang banyak karena dianggap sejalan dengan kemampuan sabun dalam mengangkat kotoran meskipun hal ini tidak selalu benar (26). Namun untuk kebutuhan komersialisasi, daya tinggi busa perlu diperhitungkan. Berdasarkan formulasi yang dibuat pembentukan busa sabun yang tertinggi pada F3 meskipun tidak ada persyaratan minimum tinggi busa sabun (27). Uji tinggi busa bertujuan untuk memberikan daya tarik bagi konsumen karena semakin banyak busa yang dihasilkan,maka konsumen akan semakin tertarik untuk menggunakan sabun tersebut. Berdasarkan hasil uji statistik One Way Anova menunjukan bahwa konsentrasi gliserin berpengaruh signifikan terhadap nilai tinggi busa sabun dengan nilai signifikasi pvalue = 0,005<0,05 hal ini sejalan dengan penelitian dari Supriadi et.al (2022) (28).

 Busa sabun yang semakin banyak yang terbentuk seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terangkatnya lemak. Menambahkan gliserin ke cairan pencuci piring dapat membantu membuat gelembung bertahan lebih lama. Gliserin adalah cairan kental yang menarik kelembaban, sehingga memperlambat cepatnya gelembung mengering dan meletus. Gliserin adalah cairan kental yang menarik kelembaban, sehingga memperlambat cepatnya gelembung mengering dan meletus. Menambahkan gliserin ke cairan pencuci piring dapat membantu membuat gelembung bertahan lebih lama. Busa pada sabun merupakan komponen yang penting karena busa yang dihasilkan terlalu banyak sehingga dapat membuat kulit kering dan mudah iritasi (29). Busa yang terbentuk akan membantu dalam mengikat kotoran yang akhirnya akan larut bersama air. Daya solvabilitasnya memungkinkannya melarutkan berbagai kontaminan. Kemampuannya dalam mengatasi noda membandel seperti noda minyak, lemak, dalam cuci piring menjadi pilihan yang baik sebagai salah satu bahan baku utama dalam pembuatan sabun.

Selain uji fisik parameter lain yang perlu diuji pada sabun adalah parameter kimia yakni pH dan FFA-nya. Menurut SNI 2588:2017 menyebutkan bahwa kualitas sabun cair yang baik berada pada rentang pH 4-10. Uji pH sabun cair dilakukan dengan menggunakan
pH meter untuk melihat tingkat keasaman/kebasaan sediaan sabun cair untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan tidak akan menyebabkan iritasi. pH meter sebelum digunakan terlebih dahulu perlu dikalibrasi dengan buffer sampai monitor menunjukkan nilai pH yang bersesuaian dengan nilai buffer. Uji pH merupakan salah satu syarat mutu sabun cair, dimana sabun cair bersentuhan langsung dengan kulit (30). Masalah dapat timbul apabila pH sabun tidak sesuai dengan pH kulit. Kulit bersifat elastis dan dapat beradaptasi dengan cepat terhadap produk yang mempunyai pH 8,0 sampai 11. Nilai pH sabun dapat dipengaruhi oleh komponen penyusun sabun yang mengandung asam atau basa dalam hal ini  SLES (31,32). Jika pH dibawah 4 akan membuat kulit menjadi iritasi sedangkan jika pH di atas 10 akan membuat kulit bersisik (33,34).

Berdasarkan data pada Tabel 4 bahwa keenam formulasi masih menunjukkan rentang pH berkisar 5,7-5,9 artinya pH masih berada salam ambang batas aman (D.P.Rahayu, 2015). pH yang dihasilkan relatif tidak berubah seiring dengan penambahan gliserin dengan pada pH netral sehingga sabun yang dihasilkan relatif aman dan tidak akan mengiritasi kulit dan tidak akan menyebabkan ketengikan pada sabun. pH yang tinggi akan memudahkan dalam pembentukan busa sabun namun dapat menyebabkan iritasi kulit (35).

Parameter FFA  seperti yang diungkapkan dalam Tabel 4 merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas mutu sabun. Sabun dengan nilai FFA yang tinggi akan mempengaruhi ketengikan pada sampel. Tingginya asam lemak bebas akan mempengaruhi keefektifan dalam daya angkat kotoran sabun. Asam lemak bebas merupakan salah satu standar mutu sabun karena jika sabun mengandung asam lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan bau sabun tidak sedap, daya tariknya berkurang, dan masa simpannya pendek (36). Pengujian FFA berdasarkan metode titrasi alkalimetri / asidimetri. Berdasarkan SNI 2588:2017 nilai FFA maksimal sebesar 1%. Penambahan gliserin pada keenam formulasi yang dibuat tidak mempengaruhi terhadap besaran nilai FFA yang diperoleh. Nilai FFA sendiri bergantung pada beberapa faktor antaranya adalah ratio antara basa yang ditambahkan, waktu pengadukan dan juga suhu pembuatan sabun (37,38). Pada hasil uji FFA 0,09% menunjukkan kualitas sabun yang dihasilkan memenuhi standar mutu sehingga aman untuk digunakan. Nilai FFA yang rendah mengindikasikan bahwa proses penyabunan berjalan sempurna. Jika dibandingkan dengan penelitian dari (31)kadar alkali bebas sabun cair yang dihasilkan berkisar antara 0,03 – 0,095%, nilai ini masih jauh di bawah ambang batas maksimum FFA yang diperbolehkan. Adapun pada penelitian selanjutnya diharapkan sabun yang diproduksi dapat dilanjutkan untuk diuji pada parameter lainnya sesuai dengan SNI.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan gliserin sebagai pelembab tangan dalam pembuatan sabun cuci piring memberikan pengaruh positif. Gliserin dalam
berbagai konsentrasi tidak terlalu berpengaruh dalam hal warna, bau, kekesatan,  FFA dan pH.  Namun pada uji viskositas/kekentalan nilainya semakin tinggi seiring dengan penambahan gliserin pada konsentrasi tertentu dan kembali menurun setelah mencapai titik jenuhnya begitupula gliserin mempengaruhi tinggi busa. Dari keseluruhan formulasi,  penambahan 0,9% gliserin merupakan formulasi yang direkomendasikan untuk diteliti lebih lanjut terutama pengujian kemampuannya dalam membunuh bakteri


Daftar Pustaka

 
1.  Kamaruddin MA, Ibrahim MH, Thung LM, Emmanuel MI, Niza NM, Shadi AMH,   et al. Sustainable synthesis of pectinolytic enzymes from citrus and Musa   acuminata peels for biochemical oxygen demand and grease removal by batch   protocol. Appl Water Sci. 2019 Jun;9(4):68.

2.  Pratamadina E, Wikaningrum T. Potensi Penggunaan Eco Enzyme pada Degradasi Deterjen dalam Air Limbah Domestik. Jurnal Serambi Engineering. 2022 Jan 18;7.

3.  Achaw OW, Danso-Boateng E. Soaps and Detergents. In: Achaw OW, Danso-Boateng E, editors. Chemical and Process Industries: With Examples of Industries in Ghana [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2021 [cited 2024 Sep 8]. p. 1–37. Available from: https://doi.org/10.1007/978-3-030-79139-1_1

4.  Chaudhari V. Studies on antimicrobial activity of antiseptic soaps and herbal soaps against selected human pathogens. Journal of Scientific and Innovative Research. 2016 Dec 25;5:201–4.

5.  Simms A Adu, Matthew S, Twigg, Patrick J, Naughton, Roger, et al. Characterization of cytotoxicity and immunomodulatory effects of glycolipid biosurfactants on human keratinocytes. 2022 [cited 2024 Aug 2]. Characterisation of cytotoxicity and immunomodulatory effects of glycolipid biosurfactants on human keratinocytes – PubMed. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36441210/

6.  Yanju L. Natural liquid soap.  Patent. 2014.

7.  Sabri H, Moein M, Barjoei D, Azarm A, Sadighnia N, Shakiba R, et al. The Yin and Yang of Sodium Lauryl Sulfate Use for Oral and Periodontal Health: A Literature Review. Journal of Dentistry. 2023 Aug 20;24.

8.  Cavalheiro N, Stadler J, Giusti E, Chendynski L, Gomes S. Ecological soap production using green chemistry principles. Acta Scientiarum Technology. 2023 Nov 6;46:e64409.

9.  Solihin TM, Mohamad M, Tahir M, Jusoh M, Zakaria Z. Production of eco-friendly soap from glycerine pitch and blend oil. In 2017 [cited 2024 Jul 30]. Available from: https://www.semanticscholar.org/paper/Production-of-eco-friendly-soap-from-glycerine-and-Solihin-Mohamad/073d1011e999dad48772d7d23f9ebf7d706e68fb

10.  Guo S, Sun X, Zou Q, Zhang J, Ni H. Antibacterial Activities of Five Cationic Gemini Surfactants with Ethylene Glycol Bisacetyl Spacers. Journal of Surfactants and Detergents. 2014 Nov 1;17:1089–97.

11.  Edmonds-Wilson SL, Nurinova NI, Zapka CA, Fierer N, Wilson M. Review of human hand microbiome research. Journal of Dermatological Science. 2015 Oct 1;80(1):3–12.

12.  Cole EC, Addison RM, Rubino JR, Leese KE, Dulaney PD, Newell MS, et al. Investigation of antibiotic and antibacterial agent cross-resistance in target bacteria from homes of antibacterial product users and nonusers. J Appl Microbiol. 2003;95(4):664–76.

13.  Medrano-Félix A, Martínez C, Campo N, León-Félix J, Peraza F, Chaidez-Quiroz C. Impact of prescribed cleaning and disinfectant use on microbial contamination in the home. Journal of applied microbiology. 2011 Feb 1;110:463–71.

14.  Taché J, Carpentier B. Hygiene in the home kitchen: Changes in behaviour and impact of key microbiological hazard control measures. Food Control. 2014 Jan 31;35:392–400.

15.  Grosso A. The everything soapmaking book : recipes and techniques for creating colorful and fragrant soaps [Internet]. Avon, Mass. : Adams Media; 2007 [cited 2024 Aug 2]. 326 p. Available from: http://archive.org/details/everythingsoapma0000gros

16.  Becker LC, Bergfeld WF, Belsito DV, Hill RA, Klaassen CD, Liebler DC, et al. Safety Assessment of Glycerin as Used in Cosmetics. Int J Toxicol. 2019 Nov;38(3_suppl):6S-22S.

17.  Sukmawati A, Laeha M, Suprapto S. Efek Gliserin sebagai Humectan Terhadap Sifat Fisik dan Stabilitas Vitamin C dalam Sabun Padat. Pharmacon: Jurnal Farmasi Indonesia. 2019 Mar 14;14:40.

18.  Klimaszewska E, Wieczorek D, Lewicki S, Stelmasiak M, Ogorzałek M, Szymanski L, et al. Effect of New Surfactants on Biological Properties of Liquid Soaps. Molecules. 2022 Aug 25;27:5425.

19.  Rambabu K, Edathil AA, Nirmala GS, Hasan SW, Yousef AF, Show PL, et al. Date-fruit syrup waste extract as a natural additive for soap production with enhanced antioxidant and antibacterial activity. Environmental Technology & Innovation. 2020 Nov;20:101153.

20.  Bondi CAM, Marks JL, Wroblewski LB, Raatikainen HS, Lenox SR, Gebhardt KE. Human and Environmental Toxicity of Sodium Lauryl Sulfate (SLS): Evidence for Safe Use in Household Cleaning Products. Environ�Health�Insights. 2015 Jan;9:EHI.S31765.

21.  Iriany I, Sukeksi L, Diana V, Taslim T. Preparation and Characterization of Coconut Oil Based Soap with Kaolin as Filler. Journal of Physics: Conference Series. 2020 May 1;1542:012046.

22.  Mela E, Ahadiyat Y. Pembuatan Sabun Mandi Alami VCO dengan Metode Cold Process. In: Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VIII. Purwekerto: Universitas Jenderal Sodirman; 2018. p. 135–42.

23.  Yuniati A, Roisnahadi D, Irawan D, Irawan S, Andreanto L, Cahya S, et al. Pembuatan Sabun dari Minyak Jelantah dan Eco Enzime. BUGUH: JURNAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT. 2022 Jun 12;2:24–30.

24.  Bhatane PB, Harangule Y, Bavage NB, Gali V. Investigation of Foaming Capacity of Different Washing Soap. 2020;6(12).

25.Prieto Vidal N, Adeseun Adigun O, Pham T, Mumtaz A, Manful C, Callahan G, et al. The Effects of Cold Saponification on the Unsaponified Fatty Acid Composition and Sensory Perception of Commercial Natural Herbal Soaps. Molecules. 2018 Sep 14;23(9):2356.

26.  M Aras N, Santi S, Riska Amaliah N, Isma I, Yusriadi Y. Antiseptic Liquid Soap 
           from  Corn Oil (Zea mays L) and Aloe Vera Extract with The Variation of SLS
           (Sodium Lauryl Sulfate). ICA. 2023 Aug 29;23–31.

27.  Rosi DH, Mulyani D, Deni R. Formulasi Sediaan Sabun Padat Transparan Minyak Atsiri Kulit Jeruk (Citrus Sinensis) (L.) Osbeck. Jurnal Farmasi Higea. 2021 Oct 14;13(2):124–30.

28.  Fatimah F, Jamilah J. Pembuatan Sabun Padat Madu dengan Penambahan Ekstrak Kunyit (Curcuma domestica). Jurnal Teknologi Agro-Industri. 2018 Nov 5;5:90.

29.  Supriadi Y, Cahyani BD. Formulation and Evaluation of Sappan Wood Extract Transparent Solid Soap with Variations in the Concentration of Glycerin as a Humectant. Journal of Health Sciences and Medical Development. 2022 Oct 17;1(02):58–67.

30.  Hutauruk H, Yamlean P, Wiyono W. Formulasi dan Uji Aktivitas Sabun Cair Ekstrak Etanol Herba Seledri (Apium graveolens L) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus. PHARMACON. 2020 Feb 28;9:73.

31.  Hardian K, Ali A. Quality Evaluation Of Solid Transparent Soap From Used Cooking Oil With The Addition Of SLS (Sodium Lauryl Sulfate) And Sucrose. Jom Faperta. 2014;1(2).

32.  Hasibuan R, Adventi F, Rtg RP. Pengaruh Suhu Reaksi, Kecepatan Pengadukan Dan Waktu Reaksi Pada Pembuatan Sabun Padat Dari Minyak Kelapa (Cocos nucifera L.). Jurnal Teknik Kimia USU. 2019 May 3;8(1):11–7.

33.  Meizalin AA, Paramita V. Quality Analysis of Liquid Soap Formulation Made from Virgin Coconut Oil with Addition of White Tea Extract. Journal of Vocational Studies on Applied Research. 2021 Oct 31;3(2):47–51.

34.  Elmitra E, Noviyanti Y. Uji Sifat Fisik Sabun Padat Transparan Dari Minyak Astiri Jeruk Kalamansi  (Citrus microcarpa). In 2020 [cited 2024 Aug 2]. Available from: https://www.semanticscholar.org/paper/UJI-SIFAT-FISIK-SABUN-PADAT-TRANSPARAN-DARI-MINYAK-Elmitra-Noviyanti/e1fcd9c6b3e8795d270cf76e1bba9fc7b423c780

35.  Eryani M, Nurmalasari D, Fadilah S. Pengaruh Variasi Konsentrasi Gliserin Terhadap Sifat Fisik Paper Soap Ekstrak Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.). Journal of Islamic Pharmacy. 2023 Jan 9;7:74–8.

36.  Surbakti Z, Bahri S, Dewi R, Nurlaila R, Mulyawan R. Pembuatan Sabun Transparan Berbasis Minyak Kelapa Dan Minyak Jarak Dengan Penambahan Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) Sebagai Bahan Antioksidan Alami. Chemical Engineering Journal Storage (CEJS). 2022 Oct 30;2:48.

37.  Nela YR. Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas dalam Sabun Mandi Sediaan Padat secara Titrimetri [Internet]. [Jakarta]: Jurusan Analisa Farmasi dan Makanan Kemenkes Jakarta II; 2020 [cited 2024 Aug 2]. Available from: //perpus.poltekkesjkt2.ac.id/respoy/index.php?p=show_detail&id=3799&keywords=

38.  Bidilah SA, Rumape O, Mohamad E. Optimasi Waktu Pengadukan dan Volume KOH Sabun Cair Berbahan Dasar Minyak Jelantah. JurnalEntropi. 12(6):55–60.

39.  Kurniawati Y, Paramita V. Optimization of Manufacturing liquid Soap Based on Virgin Coconut Oil with a Combination Potassium Hydroxide and Ammonium Hydroxide. Journal of Vocational Studies on Applied Research. 2022 Jun 22;3:61–7.



cara mengutip artikel

https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/56837/23731

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Optimasi Konsentrasi Lemak Tengkawang Dalam Sistem Nanostructured Lipid Carriers

Majalah Farmasetika, 9 (5) 2024, 518-525https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i5.50295Artikel PenelitianNabilah Arrohmah1, Qurrotul Lailiyah2, Yully Anugrahayu Harsart3, Fransisca Dita …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *