KarakteristikKlasifikasi dan PemantuanTerapi P PasienTuberkulosisParu–Sensitif Obat di Salah Satu Puskesmas Kota Bandung

Majalah Farmasetika, 9 (Suppl 1) 2024, 58-72 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i7.58847

Artikel Penelitian

Download PDF

Alfi Nurul Islamiyah*1, Syarifuddin1, Morsalina Akhsa1, Iis Rukmawati2
1Departemen Farmakologi-Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Jawa Barat, Indonesia
2Program Studi Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Jawa Barat, Indonesia
3Instalasi Farmasi Puskesmas, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail : alfi.nurul@lecture.unjani.ac.id

(Submit 23/10/2024, Revisi 02/11/2024, Diterima 02/12/2024, Terbit 18/12/2024)

Abstrak

Tuberkulosis (TB) menjadi penyakit infeksi penyebab kematian nomor dua di dunia, dan Indonesia (10%) merupakan salah satu kontributor utama dalam peningkatan insiden TB di dunia pada tahun 2022. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kasus dan klasifikasi pasien TB paru. Pada proses penanganan TB, klasifikasi yang baik sangat diperlukan dalam menentukan paduan obat yang tepat dan mempermudah evaluasi keberhasilan terapi. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, dilakukan pada pasien rawat jalan yang baru terdiagnosis TB paru sensitif obat di salah satu Puskesmas di Kota Bandung pada periode Januari 2021 hingga Desember 2022. Klasifikasi kasus TB dilakukan berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan RI 2020. Total sampel yang diperoleh sebanyak 56 pasien. Sebanyak 40 pasien terkonfirmasi bakteriologis dan 16 pasien terkonfirmasi klinis. Pemeriksaan mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) dilakukan pada 30 pasien, pemeriksaan Tes Cepat Molekular (TCM) TB dilakukan pada 41 pasien, dan 2 pasien tidak mendapatkan kedua pemeriksaan bakteriologis tersebut. Pasien TB paru BTA (+) terdapat sebanyak 17, pasien TB paru hasil tes cepat Mycobacterium tuberculosis (MTB) (+) sebanyak 23, dan Pasien TB paru BTA (-) sebanyak 16. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan jumlah konfirmasi bakteriologis, cakupan tes diagnostik cepat, ketepatan sasaran dalam melakukan pemeriksaan bakteriologis, dan jumlah pemantauan mikroskopis BTA dalam pengobatan TB Paru. Meskipun demikian, keberhasilan pengobatan TB Paru pada penelitian ini cukup tinggi (87,50%) dengan angka kematian yang cukup rendah (6,25%).

Kata Kunci

klasifikasi, pemantauan, tuberkulosis,

Pendahuluan

TB paru adalah penyakit yang biasanya menyerang paru-paru, tetapi dapat pula menyerang bagian tubuh lainnya. Bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab tuberkulosis (TB) dapat menyebar ke udara ketika orang yang menderita penyakit ini batuk. TB dapat dicegah dan biasanya dapat disembuhkan (1,2). Pada tahun 2022, TB menjadi penyakit infeksi penyebab kematian nomor dua di dunia dengan tingkat kematian hampir dua kali lipat dibandingkan HIV/AIDS. Lebih dari 10 juta orang menderita TB setiap tahunnya, sehingga perlu dilakukan tindakan untuk mengakhiri epidemi TB baik secara nasional maupun global (3). Sekitar seperempat dari populasi dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (4). Setelah terinfeksi, risiko tertinggi seseorang untuk berkembang menjadi penyakit TB adalah pada 2 tahun pertama (sekitar 5%) (5). Pada tahun 2022, jumlah pasien yang baru didiagnosis TB dilaporkan sebanyak 7,5 juta, meningkat dibandingkan sebelum COVID-19 (7,1 juta pada 2019), 16% lebih tinggi dari tahun 2021, 28% lebih tinggi dari tahun 2020, dan merupakan angka tertinggi sejak WHO memulai pemantauan TB pada tahun 1995. Penurunan besar jumlah pasien yang baru didiagnosis dan dilaporkan TB secara global, baik pada tahun 2020 maupun 2021, merupakan salah satu dampak yang paling jelas dan langsung terlihat pada TB akibat pandemi COVID-19 (6,7).

Asumsi utama yang dapat disimpulkan dengan penurunan diagnosis TB pada tahun 2020 dan 2021 adalah bahwa semua atau sebagian besar penurunan jumlah orang yang baru didiagnosis mencerminkan penurunan diagnosis yang nyata (bukan karena pelaporan yang tidak tepat waktu atau karena penurunan insiden TB). Pembatasan selama pandemi COVID-19 (misalnya karantina wilayah) dan penyesuaian perilaku (misalnya penggunaan masker) diperkirakan telah mengurangi 50% (UI: 25-75%) penularan TB selama periode karantina wilayah resmi pada tahun 2020 dan 2021. Tingginya diagnosis TB pada tahun 2022 mencerminkan bahwa telah terjadi pemulihan yang baik dalam akses dan penyediaan layanan kesehatan setelah pandemi COVID-19. Hal ini pun diperkirakan menunjukkan bahwa diagnosis TB pada tahun 2022 mencakup sejumlah besar orang yang terkena TB pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi diagnosis dan pengobatannya tertunda karena pandemi COVID-19 yang membatasi akses dan penyediaan layanan kesehatan (8). Di Indonesia, tren notifikasi kasus sebelum, selama, dan setelah pandemi COVID-19 memiliki kecenderungan yang serupa dengan kasus TB dunia, mengalami penurunan besar pada tahun 2020 atau 2021, diikuti dengan peningkatan kembali pada tahun 2022, bahkan ke Tingkat yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2019.

Angka kejadian TB secara global diperkirakan meningkat 3,9% antara tahun 2020 dan 2022, meningkat dari 128 (95% UI: 120-137) pada tahun 2020 menjadi 133 (95% UI: 124-143) pada tahun 2022. Kondisi ini mencerminkan perkiraan dampak dari gangguan layanan tuberkulosis selama pandemi COVID-19. Secara geografis, pada tahun 2022, sebagian besar orang yang menderita TB berada di wilayah Asia Tenggara (46%) dan Indonesia (10%) berada pada urutan ke-2 tertinggi yang menyumbang dua pertiga dari semua kasus TB di seluruh dunia (8). Pencapaian dari Strategi Penanggulangan TB yang telah ditetapkan oleh WHO dalam menurunkan beban penyakit TB adalah 75% penurunan angka kematian akibat TB dan 50% penurunan angka kejadian TB pada tahun 2025, dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Secara global, penurunan jumlah kematian yang disebabkan oleh TB antara tahun 2015 dan 2022 adalah 19% dan penurunan beban TB dari tahun 2015 hingga 2022 hanya sebesar 8,7%, masih jauh dari target WHO. Menurunkan angka kematian dan angka kejadian TB merupakan tantangan besar. Indonesia, bersama India, merupakan dua negara yang memberikan kontribusi terbesar terhadap peningkatan global (56%) dalam jumlah orang yang baru didiagnosis TB pada tahun 2022 (8).

Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan yang turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan penurunan beban penyakit TB. Pada proses penanganan TB, klasifikasi yang baik sangat diperlukan dalam menentukan paduan obat yang tepat dan mempermudah evaluasi keberhasilan terapi. Pemantauan keberhasilan terapi yang baik diperlukan untuk mengurangi jumlah kasus baru (insiden) TB di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kasus dan klasifikasi pasien TB paru sebagai salah satu upaya meningkatkan peran apoteker dalam penurunan beban penyakit TB.

Metode

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi lembar pengumpulan data yang memuat informasi data demografi dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif menggunakan metode sampel non-probabilitas dengan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah data sekunder pasien yang meliputi data demografi dan pemeriksaan laboratorium yang diambil dari lembar kartu pasien dan rekam medis pasien rawat jalan yang baru didiagnosis TB paru – sensitif obat dan menjalani gobatan TB di salah satu Puskesmas di Kota Bandung pada periode Januari 2021 – Desember 2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berikut.

Kriteria Inklusi

a.   Pasien laki-laki dan perempuan berusia ≥15 tahun.

b.   Telah menjalani pengobatan lengkap selama 6 bulan.

c.   Lembar kartu pasien dan rekam medis pasien dengan data yang lengkap. Informasi   
      yang diperoleh meliputi demografi pasien (inisial nama pasien, jenis kelamin, usia, 
      dan berat badan), diagnosa, dan hasil pemeriksaan laboratorium

Kriteria Eksklusi

a.   Pasien yang disertai dengan diagnosis penyakit lain.

b.   Pasien yang dinyatakan meninggal, putus obat, atau rujuk keluar. Penelitian ini telah mendapatkan pembebasan etik dari Komite Etik Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung, dengan Nomor 381/UN6.KEP/EC/2023. Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitik, untuk mendeskripsikan kasus dan klasifikasi pasien TB paru – sensitif obat.  Klasifikasi kasus TB dilakukan berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan RI 2020. Melalui penentuan klasifikasi TB pasien, Apoteker dapat menggunakan informasi tersebut untuk menentukan parameter pemantauan yang diperlukan dalam mengevaluasi keberhasilan terapi pada setiap klasifikasi pasien TB.

Hasil

Gambar 1 Deskripsi pasien TB Paru – Sensitif Obat

 Pasien baru dengan diagnosis TB Paru – sensitif obat yang berusia ≥15 tahun pada periode 2021 hingga 2022 di salah satu Puskesmas di Kota Bandung adalah sebanyak 67 pasien. Sebanyak 11 pasien tidak diikutsertakan dalam penelitian karena memiliki komorbiditas diabetes melitus (2 pasien), meninggal dunia saat menjalani pengobatan (4 pasien), putus obat (2 pasien), dan dirujuk keluar (3 pasien). Sebanyak 56 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi diikutsertakan sebagai sampel penelitian, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Sebagian besar sampel penelitian ini berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 34 pasien (60,71%) dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22 pasien (39,29%). Berdasarkan kelompok usia, pasien TB Paru – sensitif obat sebagian bsesar merupakan remaja akhir dengan usia 15-24 tahun, sebanyak 19 pasien (33,93%), dan terdapat 3 pasien (5.36%) lansia dengan usia ≥65 tahun. Data demografi sampel penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data demografi pasien TB Paru – Sensitif Obat

Gambar 2. Karakteristik klasifikasi pasien TB paru – sensitif obat

Ket: ■ terkonfirmasi bakteriologis
■ terkonfirmasi klinis
Penegakkan diagnosis TB Paru pada penelitian ini sebagian besar terkonfirmasi secara bakteriologis, yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan pada 54 pasien (96,43%), berupa pemeriksaan Tes Cepat Molekular (TCM) yang dilakukan pada 41 pasien (73,21%) dan pemeriksaan mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) yang dilakukan pada 30 pasien (53,57%). Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan klinis, sebanyak 40 pasien (71,43%) terkonfirmasi TB Paru secara bakteriologis dan 16 pasien (28,57%) terkonfirmasi TB Paru secara klinis.
Pemantauan keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA (10), yang pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Rekomendasi pemantauan mikroskopis BTA pada pasien baru TB Paru sensitif – obat berdasarkan klasifikasi diagnosisnya dapat dilihat pada Tabel 3. Pemeriksaan mikroskopis BTA pada akhir fase intensif (bulan ke-2) seharusnya dilakukan pada seluruh pasien TB Paru. Namun, pada penelitian ini pemeriksaan tersebut hanya dilakukan pada 32 pasien (57,14%) dengan hasil sputum BTA tetap positif pada 2 pasien (6,25%). Pada penelitian ini, pemeriksaan mikroskopis BTA pada akhir bulan ke-3 hanya dilakukan pada kedua pasien tersebut sementara 24 pasien (42,86%) tidak melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA hingga akhir bulan ke-3. Pada akhir pengobatan, pemeriksaan mikroskopis BTA perlu dilakukan pada setidaknya 43 pasien (76,79%), namun hanya dilakukan pada 39 pasien (90,7%).

Gambar 3. Pemantauan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien TB Paru – sensitif obat

Tabel 3. Rekomendasi pemantauan mikroskopis BTA pada pasien baru TB Paru – sensitif obat

Penilaian keberhasilan terapi obat antituberkulosis lini pertama pada pasien TB Paru yang baru terdiagnosis disimpulkan pada akhir pengobatan, yang pada penelitian ini hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Keberhasilan terapi TB Paru pada penelitian ini adalah 87,50% (56 pasien) dengan angka kematian 6,25% (4 pasien). 

Tabel 2 Hasil pengobatan seluruh pasien TB Paru – sensitif obat

Pembahasan

Pada penelitian ini, cakupan pemeriksaan bakteriologis sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 96,43% (54 pasien). Penegakkan diagnosis TB Paru dapat dilakukan dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan klinis, sebanyak 40 pasien (71,43%) terkonfirmasi TB Paru secara bakteriologis dan 16 pasien (28,57%) terkonfirmasi TB Paru secara klinis. Capaian pemantauan mikroskopis BTA pasien TB Paru pada penelitian ini hanya sebesar 59,34%. Keberhasilan pengobatan TB Paru pada penelitian ini sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 87,50% dengan tingkat putus obat sebesar 3,13% dan angka kematian yang cukup rendah yaitu sebesar 6,25%.

TB merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia atau jenis kelamin. Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB Paru berada pada kelompok usia remaja akhir (15-24 tahun, 19 pasien, 33,93%), dan berjenis kelamin perempuan (34 pasien, 60,71%). Sementara itu, data Global Tuberculosis Report tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 90% jumlah total orang yang terkena penyakit TB adalah orang dewasa, dengan lebih banyak kasus pada laki-laki daripada perempuan. Pada tahun 2022, 55% penderita TB adalah laki-laki dewasa (usia ≥15 tahun) dengan perkiraan 5,8 juta kasus (95% UI: 5,4-6,2 juta), 33% perempuan dewasa (usia ≥15 tahun) dengan sekitar 3,5 juta kasus (95% UI: 3,3-3,8 juta), dan 12% anak-anak (usia 0-14 tahun) (8). Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis diantaranya adalah faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, status pendidikan, status perkawinan, pendapatan keluarga, jenis pekerjaan, BMI), faktor lingkungan (sinar matahari yang masuk kerumah, adanya ventilasi buatan, riwayat kontak orang penderita tuberkulosis, dan jumlah keluarga), host-related factor (kebiasaan merokok) dan faktor komorbid (HIV, Diabetes dan Asma) (9)

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa (usia ≥15 tahun) harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis berupa pemeriksaan mikroskopis BTA, TCM TB atau biakan. Pemeriksaan mikroskopis BTA adalah pemeriksaan apusan dari spesimen biologis (dahak atau spesimen lain) melalui pemeriksaan mikroskopis BTA secara langsung, dengan hasil BTA positif ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif minimal dari satu spesimen. Metode TCM merupakan pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis, dari dua spesimen dahak, yang saat ini merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia. Keunggulan lain dari metode TCM adalah kemampuannya dalam mendeteksi mutasi pada gen bakteri yang berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi resistensi bakteri terhadap rifampisin yang merupakan salah satu lini pertama terapi TB Paru (10).   Pada penelitian ini, seperti yang terlihat pada Gambar 2, cakupan pemeriksaan bakteriologis sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 96,43% (54 pasien). Penggunaan tes cepat terus berkembang, meskipun masih sangat terbatas, termasuk di Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI (10) menetapkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, seperti di salah satu Puskesmas Kota Bandung pada penelitian ini, penegakkan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan, penegakkan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA. Meskipun sudah memiliki fasilitas TCM, cakupan pemeriksaan TCM pada penelitian ini hanya 73,21% (41 pasien), diperkirakan karena alat TCM yang melampaui kapasitas pemeriksaan pada saat itu sehingga penegakkan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA pada 13 pasien (23,21%). Selain itu, pemeriksaan mikroskopis BTA pada penelitian ini dilakukan pula pada 5 pasien (8,93%) yang mendapatkan hasil TCM MTB negatif. Meskipun demikian, cakupan tes cepat pada penelitian ini sudah sangat tinggi jika dibandingkan dengan cakupan tes cepat di Wilayah Asia Tenggara (39%) maupun secara global di dunia (47%) pada tahun 2022. Cakupan tes diagnostik cepat yang ditetapkan oleh WHO yaitu 100% pada tahun 2027 (8). Dengan demikian, cakupan tes diagnostik cepat di salah satu Puskesmas Kota Bandung ini perlu ditingkatkan sebanyak 1,37 kali lipat untuk mencapai target.

Penegakkan diagnosis TB Paru dapat dilakukan dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis. Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan melalui pemeriksaan mikroskopis BTA, TCM TB, atau biakan (10). Pada penelitian ini, kelompok yang termasuk dalam pasien TB Paru yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB Paru BTA positif (5 pasien, 8,93%), pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif (22 pasien, 39,26%), pasien TB paru BTA positif dan hasil tes cepat MTB positif (11 pasien, 19,64%), pasien TB paru BTA positif dan hasil tes cepat MTB negatif (1 pasien, 1,79%), dan pasien TB paru BTA negatif dan hasil tes cepat MTB positif (1 pasien, 1,79%).

Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB (10). Pada penelitian ini, kelompok yang termasuk dalam pasien TB Paru yang terkonfirmasi klinis adalah pasien TB Paru BTA negatif (8 pasien, 14,29%), pasien TB Paru hasil tes cepat negatif (2 pasien, 3,57%), pasien TB Paru BTA negatif dan hasil tes cepat negatif (4 pasien, 7,14%), dan pasien yang tidak melakukan pemeriksaan bakteriologis (2 pasien, 3,57%).

Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan klinis, sebanyak 40 pasien (71,43%) terkonfirmasi TB Paru secara bakteriologis dan 16 pasien (28,57%) terkonfirmasi TB Paru secara klinis. Hasil ini selaras dengan data Global Tuberculosis Report tahun 2023 bahwa dari 6,2 juta orang yang didiagnosis TB paru di seluruh dunia pada tahun 2022, 63% dikonfirmasi secara bakteriologis. Angka ini sama dengan tahun 2021. Secara umum, tingkat konfirmasi paling rendah berada di negara-negara berpenghasilan rendah (median, 71%), dan paling tinggi berada di negara-negara berpenghasilan tinggi (median, 91%) di mana terdapat akses yang luas terhadap tes diagnostik yang paling sensitif (8). Dengan demikian, tingkat konfirmasi bakteriologis pada pasien TB Paru di salah satu Puskesmas Kota Bandung ini tergolong rendah. Keterbatasan dalam sistem klasifikasi dan pendekatan diagnostik yang ada menuntut kebutuhan akan pelaksanaan program dan pengembangan alat baru untuk menunjang keberhasilan manajemen TB (11). Saat ini, pengembangan alat bioinformatika dalam deteksi dan epidemiologi TB dapat menjadi sumber daya yang berharga untuk mencapai hal tersebut (12).

Diagnosis dan pengobatan TB membebankan biaya yang cukup besar pada rumah tangga yang terkena TB. Menghilangkan kerugian ekonomi ini sangat penting untuk menghilangkan hambatan dalam mengakses diagnosis tuberkulosis dan menyelesaikan pengobatan di antara rumah tangga yang terkena dampak dan mencapai target yang ditetapkan oleh WHO. Rata-rata biaya medis langsung yang dikeluarkan oleh pasien tuberkulosis di negara berpenghasilan rendah dan menengah diperkirakan sebesar US$211 (interval ketidakpastian 95% 154-302), biaya non-medis langsung sebesar $512 (428-620), dan biaya tidak langsung sebesar $530 (423-663) per episode tuberkulosis. Secara keseluruhan, biaya per pasien adalah $1253 (1127-1417). Perkiraan proporsi rumah tangga yang terkena dampak tuberkulosis yang mengalami total biaya katastropik secara keseluruhan berkisar antara 54-9% (47-0-63-2) (13). Jaminan kesehatan nasional dalam pengobatan TB Paru diperlukan untuk menjamin bahwa setiap orang dapat memperoleh layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa mengalami kesulitan keuangan.

Pada penelitian ini, penegakkan diagnosis TB Paru melalui pemeriksaan Tes Cepat Molekular (TCM) dilakukan pada 41 pasien (73,21%), dengan hasil MTB positif sebanyak 34 pasien, maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada 22 pasien lainnya untuk menegakkan diagnosis TB. Meskipun pemeriksaan mikroskopis BTA pada penelitian ini dilakukan pada 30 pasien (53,57%), namun hanya 18 pasien (60%) yang tepat sasaran, sementara 12 pasien (40%) lainnya adalah pasien dengan hasil MTB positif yang tidak memerlukan pemeriksaan mikroskopis dalam penegakkan diagnosis TB. Terdapat 2 pasien (3,57%) dengan hasil MTB negatif dan 2 (3,57%) pasien lainnya yang tidak melakukan pemeriksaan TCM, namun tidak melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA untuk menegakkan diagnosis TB.

Pemantauan keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA. Selain pemeriksaan mikroskopis BTA, berikut adalah pemantauan regular yang perlu dilakukan setiap bulan pada pasien TB Paru.

1.Gejala TB yang menetap atau muncul kembali

2.Gejala efek samping OAT

3.Ada/tidaknya penghentian obat

4.Berat badan pasien dan sesuaikan dosis jika diperlukan

Pada akhir fase intensif (bulan ke-2), bila hasil sputum BTA tetap positif maka pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA ulang pada akhir bulan ke-3. Pasien TB Paru dengan hasil pemeriksaan sputum BTA tetap positif pada bulan ke-5 atau pada akhir pengobatan, menandakan bahwa pengobatan “Gagal” dan perlu dilakukan uji kepekaan menggunakan TCM atau biakan untuk mendiagnosis TB – resisten obat. Pada pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan ke-2 pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut (10).

Pemeriksaan mikroskopis BTA pada akhir fase intensif (bulan ke-2) seharusnya dilakukan pada seluruh pasien TB Paru. Namun, pada penelitian ini pemeriksaan tersebut hanya dilakukan pada 32 pasien (57,14%) dengan hasil sputum BTA tetap positif pada 2 pasien (6,25%). Pada penelitian ini, pemeriksaan mikroskopis BTA pada akhir bulan ke-3 hanya dilakukan pada kedua pasien tersebut dengan hasil sputum BTA negatif. Sebanyak 24 pasien (42,86%) lainnya tidak melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA hingga akhir bulan ke-3. Pada akhir pengobatan, pemeriksaan mikroskopis BTA perlu dilakukan pada setudaknya 43 pasien (76,79%), namun hanya 39 pasien (90,7%) yang menlakukan dengan hasil BTA negatif. Pemeriksaan mikroskopis BTA tidak dilakukan pada sebagian pasien karena tidak berhasilnya mendapatkan sputum secara ekpektorasi spontan sementara tindakan induksi sputum atau prosedur invasif tidak dapat dilakukan. Capaian pemantauan mikroskopis BTA pasien TB Paru pada penelitian ini hanya sebesar 59,34%. Rendahnya capaian pemantauan mikroskopis BTA dapat pula dipengaruhi oleh minimnya sumber informasi kesehatan di masyarakat. Penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa hanya 32,1% responden yang mengetahui apa penyebab TB. Responden menyatakan bahwa radio dan petugas kesehatan adalah sumber utama dalam mendapatkan informasi kesehatan, sehingga pengembangan layanan informasi melalui siaran radio perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pemantauan TB (14). Di Amerika Serikat, program kampanye komunikasi kesehatan TB dengan tema Think. Test. Treat TB berhasil meningkatkan kesadaran akan TB pada 87,8% responden (15). Selain itu, keberhasilan pengobatan TB Paru dikaitkan pula dengan adanya dukungan keluarga terhadap pasien TB Paru (16).

Penilaian keberhasilan terapi obat antituberkulosis lini pertama pada pasien TB Paru yang baru terdiagnosis disimpulkan pada akhir pengobatan. Pasien dinyatakan sembuh jika sputum BTA negatif atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan memiliki hasil pemeriksaan negatif pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan tidak memiliki bukti gagal pengobatan tetapi juga tidak memiliki hasil sputum BTA atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan satu pemeriksaan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak ada, dinyatakan sebagai pasien dengan pengobatan lengkap. Dengan demikian, hasil pengobatan TB Paru – sensitif obat pada penelitian ini sebanyak 32 pasien (57,14%) dinyatakan sembuh dan 24 pasien (42,86%) dinyatakan pengobatan lengkap. 

Temuan yang sangat positif pada penelitian ini adalah tingginya keberhasilan pengobatan TB Paru yang dapat dilihat pada Tabel 3, yaitu sebesar 87,50% dengan tingkat putus obat sebesar 3,13%. Hasil ini selaras dengan data Global Tuberculosis Report tahun 2023 yang menyatakan bahwa keberhasilan pengobatan TB Paru pada tahun 2020 dan 2021 mengalami peningkatan, dengan tingkat keberhasilan pengobatan sebesar 86 – 88% (8). Angka kematian pasien TB Paru pada penelitian ini adalah 6,25%, terdapat 4 pasien yang meninggal dunia dari total 67 pasien yang terdiagnosis TB Paru pada tahun 2021 – 2022. Angka ini sudah mencapai Strategi Akhir TB pada tahun 2025, yaitu penurunan 75% jumlah kematian yang disebabkan oleh TB (dibandingkan dengan tahun 2015) yang ditandai dengan jumlah pasien TB Paru yang meninggal tidak lebih dari 6,5% (8). Keberhasilan pengobatan TB Paru pada penelitian ini terlihat pula dari nilainya yang jauh lebih rendah dibandingkan case fatality rate pada pasien TB BTA positif yang tidak diobati, yaitu sekitar 70% (17). Kualitas pengobatan TB paru pada penelitian ini pun lebih baik jika dibandingkan dengan di Yogyakarta (84,07%) (18). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak gangguan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, kualitas pengobatan TB di salah satu Puskesmas Kota Bandung ini tetap terjaga dengan baik.

Melalui penelitian ini, salah satu masalah yang ditemukan dalam pengendalian TB di Indonesia, terutama pada salah satu Puskesmas Kota Bandung ini adalah adanya kebutuhan untuk meningkatkan persentase kasus yang dikonfirmasi secara bakteriologis dengan meningkatkan penggunaan tes diagnostik cepat yang direkomendasikan, seperti TCM (19). Deteksi mikrobiologi TB dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO dan Kementerian Kesehatan RI sangat penting karena memungkinkan penegakkan diagnosis dengan benar dan diperlukan untuk menguji resistensi obat sehingga dapat memastikan rejimen pengobatan yang paling efektif (sesuai pada pola resistensi obat). Ketepatan sasaran dalam melakukan pemeriksaan bakteriologis dalam penegakkan diagnosis TB Paru pun perlu ditingkatkan supaya cakupan dan tingkat konfirmasi bakteriologis pun dapat meningkat. Salah satu laporan kasus pada pria usia 30 tahun di Spanyol menyatakan bahwa tidak spesifiknya gambaran klinis TB yang disertai dengan keterbatasan alat diagnostik yang tepat waktu diperkirakan berperan dalam penyebaran penyakit TB (20).

Masalah lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah adanya kebutuhan untuk meningkatkan jumlah pemantauan mikroskopis BTA pada pasien TB Paru yang sedang menjalani pengobatan. Tidak diketahuinya hasil pengobatan TB dapat mengakibatkan meningkatkan penularan infeksi, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi TB dan berisiko terkena penyakit TB dan akan meningkatkan beban penyakit TB. Dalam studi kohort retrospektif di China membuktikan bahwa tingkat kekambuhan TB Paru secara substansial lebih tinggi daripada insiden TB Paru, dan proporsi kasus yang kambuh meningkat. Hampir separuh dari kekambuhan terjadi dalam 2 tahun pertama. Sebanyak 413.936 pasien mengalami episode TB berulang setelah pengobatan berhasil, dengan angka kekambuhan 0,47 (95% CI, 0,47-0,48) per 100 orang-tahun. Angka kekambuhan untuk pasien dengan TB Paru primer adalah 0,24 (95% CI, 0,22-0,26) per 100 orang-tahun. Proporsi kumulatif kekambuhan dalam 2 tahun pertama mencapai 48,9% dari semua kasus kekambuhan. Hal ini menunjukkan bahwa tindak lanjut rutin pasca pengobatan dapat menjadi strategi penting untuk mempercepat eliminasi TB (21).

Penelitian lain yang dilakukan di Pakistan mengestimasi prevalensi keseluruhan TB Paru yang dikonfirmasi secara bakteriologis adalah 387 kasus per 100.000 penduduk (95% CI 276-498) dengan prevalensi 421 kasus [95% CI 276-567] per 100.000 pada zona dimana tidak dilakukan aktivitas penemuan kasus TB dan 279 kasus [95% CI 155-403] per 100.000 pada zona dimana dilakukan aktivitas penemuan kasus TB (22). Dengan demikian, aktivitas inisiatif penemuan kasus TB yang dilakukan secara berkala oleh tenaga kesehatan dapat menurunkan prevalensi TB Paru. Pengembangan sistem sederhana berbasis web dengan tingkat akurasi sebesar 85% pernah dikembangkan di Samarinda sebagai alat bantu bagi tenaga kesehatan dan masyarakat umum dalam mendiagnosa awal penyakit Tuberkulosis (23). Dalam lingkup tenaga kesehatan, wawancara yang dilakukan pada sembilan petugas kesehatan TB menunjukkan bahwa lingkungan yang buruk dapat menyebabkan tingginya tingkat penularan dan beban kerja yang berat dapat menyebabkan tekanan kerja yang berakibat pada menurunnya kinerja di kalangan tenaga kesehatan TB (24). Kemutakhiran alat diagnostik, pengawasan penderita TB Paru aktif, serta pemetaan galur patogen yang resisten terhadap obat merupakan strategi yang teruji dalam pengelolaan TB. Perlu peran serta seluruh komponen masyarakat dan pemerintah agar penurunan beban penyakit TB dapat terwujud dengan baik (25).

Target TB global untuk mengurangi beban penyakit TB hanya dapat dicapai jika layanan diagnostik, pengobatan dan pencegahan TB disediakan melalui jaminan kesehatan nasional, yang berarti bahwa setiap orang dapat memperoleh layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa mengalami kesulitan keuangan. Untuk mencapai jaminan kesehatan nasional, peningkatan substansial dalam investasi di bidang kesehatan sangat penting untuk mencapai target ketiga dalam strategi TB WHO, yaitu “Mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses ke layanan kesehatan dasar yang berkualitas, serta akses ke obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau untuk semua” (26). WHO dan Bank Dunia menetapkan bahwa pengeluaran medis langsung yang mencapai 10% atau lebih dari pengeluaran atau pendapatan rumah tangga diklasifikasikan sebagai “katastropik” (27). Untuk itu, WHO menetapkan target bahwa tidak ada pasien TB yang menghadapi pembayaran total biaya (terdiri dari biaya medis langsung, biaya nonmedis dan biaya tidak langsung seperti kehilangan pendapatan) yang bersifat katastropik (di atas 20% dari pendapatan rumah tangga tahunan) (3,28). Sebagai contoh, meskipun pendapatan nasional bruto per kapita di Thailand rendah, keputusan yang berani tetap dilakukan untuk menggunakan pajak umum dalam membiayai skema cakupan kesehatan nasional tanpa bergantung pada kontribusi dari setiap warga negara. Bukti empiris menunjukkan penurunan substansial dalam tingkat pembayaran pribadi, kejadian pengeluaran kesehatan katastropik, dan kemiskinan akibat medis (29). Dari tahun 2000 hingga 2020, terjadi tren peningkatan yang stabil dalam pengeluaran kesehatan (dari semua sumber) per kapita di Indonesia (30).

Kesimpulan

Pada penelitian ini, tingkat konfirmasi bakteriologis pada pasien TB Paru – sensitif obat masih tergolong rendah (71,43%). Cakupan tes diagnostik cepat perlu ditingkatkan sebanyak 1,37 kali lipat dan ketepatan sasaran dalam melakukan pemeriksaan bakteriologis dalam penegakkan diagnosis TB Paru pun perlu ditingkatkan untuk mencapai target yang direkomendasikan. Perlu dilakukan peningkatan jumlah pemantauan mikroskopis BTA pada pasien TB Paru yang sedang menjalani pengobatan sebagai salah satu upaya dalam menurunkan beban penyakit TB di Indonesia. Meskipun demikian, keberhasilan pengobatan TB Paru pada penelitian ini cukup tinggi yaitu sebesar 87,50% dengan angka kematian yang cukup rendah yaitu sebesar 6,25%.

Daftar Pustaka

  1. Behr MA, Edelstein PH, Ramakrishnan L. Is Mycobacterium tuberculosis infection life long? The BMJ. 2019;367.
  2. Emery JC, Richards AS, Dale KD, McQuaid CF, White RG, Denholm JT, et al. Self-clearance of Mycobacterium tuberculosis infection: Implications for lifetime risk and population at-risk of tuberculosis disease. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 2021;288(1943).
  3. Sixty-Seventh World Health Assembly WHA. 67.1 Agenda item 12.1 21 Global strategy and targets for tuberculosis prevention, care and control after 2015. 2014.
  4. Houben RMGJ, Dodd PJ. The Global Burden of Latent Tuberculosis Infection: A Re-estimation Using Mathematical Modelling. PLoS Med. 2016;13(10).
  5. Menzies NA, Wolf E, Connors D, Bellerose M, Sbarra AN, Cohen T, et al. Progression from latent infection to active disease in dynamic tuberculosis transmission models: a systematic review of the validity of modelling assumptions. Vol. 18, The Lancet Infectious Diseases. 2018.
  6. Global Tuberculosis Report 2022 [diunduh 16 Juni 2024]. 2022. Tersedia dari: http://apps.who.int/bookorders.
  7. Global Tuberculosis Report 2021 [diunduh 02 Juni 2024]. 2021. Tersedia dari: http://apps.who.int/bookorders.
  8. Global Tuberculosis Report 2023 [diunduh 30 Juni 2024]. 2023. Tersedia dari: https://iris.who.int/.
  9. Pralambang SD, Setiawan S. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, dan Informatika Kesehatan. 2021;2(1).
  10. Burhan E, Soeroto AY, Isbaniah F, Kaswandani N, Wahyuni, Uyainah A, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
  11. Denholm JT, Coussens A, Houben RMGJ, Horton KC, Wong EB, Kendall EA, et al. The International Consensus for Early TB framework (ICE-TB): Implications from a low-incidence setting. Int J Tuberc Lung Dis. 2024;28(8):381–6.
  12. 12.  Deb S, Basu J, Chowdhury M. An overview of next generation sequencing strategies and genomics tools used for tuberculosis research. J Appl Microbiol. 2024;
  13. 13.  Portnoy A, Yamanaka T, Nguhiu P, Nishikiori N, Garcia Baena I, Floyd K, et al. Costs incurred by people receiving tuberculosis treatment in low-income and middle-income countries: a meta-regression analysis. Lancet Glob Health. 2023;11(10).
  14. 14.  John S, Abdulkarim S, Katlholo T, Smyth C, Basason H, Rahman MdT, et al. Using a Knowledge and Awareness Survey to Engage and Inform a Community-Based Tuberculosis Intervention among Nomads in Adamawa State, Nigeria. Trop Med Infect Dis. 2024;9(8):167.
  15. 15.  Caruso E, Parmer J, Allen L, Maiuri A, Mangan J, Bouwkamp B, et al. Process and Outcome Evaluation of the Centers for Disease Control and Prevention’s Think. Test. Treat TB Health Communications Campaign, United States, March–September 2022. Public Health Reports® [diunduh 29 Agustus 2024]. 2024 Aug 27; Available from: https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/00333549241268644.
  16. 16.  Rismayanti EP, Romadhon YA, Faradisa N, Dewi LM. Hubungan dukungan keluarga dengan tingkat keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis paru. The 13 th University Research Colloqium. 2021;
  17. 17.  Tiemersma EW, van der Werf MJ, Borgdorff MW, Williams BG, Nagelkerke NJD. Natural history of tuberculosis: Duration and fatality of untreated pulmonary tuberculosis in HIV negative patients: A systematic review. Vol. 6, PLoS ONE. 2011.
  18. 18.  Sejati A, Sofiana L. Faktor-faktor terjadinya tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015;10(2).
  19. 19.  Module 3: Diagnosis WHO consolidated guidelines on tuberculosis Rapid diagnostics for tuberculosis detection.
  20. 20.  Rodriguez-Hidalgo LA, Ruiz-Caballero D, Vega-Fernandez A. Late diagnosis of disseminated tuberculosis: A case report. Medwave. 2024;24(07):e2917–e2917.
  21. 21.  Li T, Zhang B, Du X, Pei S, Jia Z, Zhao Y. Recurrent Pulmonary Tuberculosis in China, 2005 to 2021. JAMA Netw Open. 2024;7(8):e2427266.
  22. 22.  Khan PY, Paracha MS, Grundy C, Madhani F, Saeed S, Maniar L, et al. Insights into tuberculosis burden in Karachi, Pakistan: A concurrent adult tuberculosis prevalence and child Mycobacterium tuberculosis infection survey. Martinez L, editor. PLOS Global Public Health. 2024;4(8):e0002155.
  23. 23.  Aini N, Ramadiani R, Hatta HR. Sistem Pakar Pendiagnosa Penyakit Tuberkulosis. Informatika Mulawarman : Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer. 2017;12(1).
  24. 24.  Wang G, Yuan Q, Feng X, Zhang T, Wang Q, Huang Q, et al. The job burnout of tuberculosis healthcare workers and associated factors under integrated tuberculosis control model: a mixed-method study based on the two-factor theory. BMC Health Serv Res. 2024;24(1).
  25. 25.  Diantara LB, Hasyim H, Septeria IP, Sari DT, Wahyuni GT, Anliyanita R. Tuberkulosis masalah kesehatan dunia: tinjauan literatur. Jurnal ’Aisyiyah Medika. 2022;7(2).
  26. 26.  WHO. TB integrated health tool [diunduh 20 Juni 2024]. Tersedia dari: https://tb.integratedhealthtool.org/.
  27. 27.  WHO. Global monitoring report on financial protection in health 2021 [diunduh 08 Juni 2024]. Tersedia dari: http://apps.who.int/bookorders.
  28. 28.  Floyd K, Glaziou P, Houben RMGJ, Sumner T, White RG, Raviglione M. Global tuberculosis targets and milestones set for 2016-2035: Definition and rationale. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2018;22(7).
  29. 29.  Tangcharoensathien V, Witthayapipopsakul W, Panichkriangkrai W, Patcharanarumol W, Mills A. Health systems development in Thailand: a solid platform for successful implementation of universal health coverage. Vol. 391, The Lancet. 2018.
  30. 30.  Tracking Universal Health Coverage: 2017 Global Monitoring Report.

Cara mengutip artikel ini

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Formulasi Tablet Kunyah Kombinasi Tepung CangkangTelur dan Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera L.)

Majalah Farmasetika, 9 (Suppl 1) 2024, 83-96 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i7.58884Artikel PenelitianDownload PDFErni Rustiani*, Dea Muthia Zahara Zulkarnaen, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *