Review: Bentuk Sediaan dari Bahan Alam sebagai Suplemen Nutrisi dalam Pencegahan Stunting

Majalah Farmasetika, 9 (1) 2024, 56-75

https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i1.48810

Artikel Review

Raisya Rahmah*1, Aliya Nur Hasanah2

1Program Studi Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Indonesia

2Departemen Analisis Farmasi dan Kimia Medisinal, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Indonesia

*E-mail: raisya20005@mail.unpad.ac.id

(Submit 10/08/2023, Revisi 04/09/2023, Diterima 29/09/2023, Terbit 13/10/2023)

Abstrak

Stunting merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan pertumbuhan anak yang tidak sesuai dengan usianya. Tercatat pada tahun 2022 angka stunting di Indonesia mencapai 21,6 %.  Upaya pada pencegahan terhadap stunting salah satunya dengan pemberian suplemen nutrisi baik dalam bentuk sintetik maupun herbal. Suplemen nutrisi untuk pencegahan stunting di Indonesia sudah banyak diteliti dan beredar luas. Pemberian suplemen herbal beredar dalam berbagai bentuk sediaan diantaranya gummy candies, serbuk, tablet, sirup, suspensi,dan emulsi. Sampai saat ini belum pernah ada artikel yang mengulas berbagai bentuk sediaan yang dibuat untuk penunjang nutrisi tersebut. Artikel ini dibuat dengan tujuan memperoleh bentuk – bentuk sediaan dari natural resources sebagai suplemen nutrisi untuk mengoptimalkan upaya peningkatan nutrisi menjadi lebih efektif dan efisien. Artikel ulasan dilakukan dengan mencari artikel berkaitan yang diterbitkan 10 tahun terakhir dengan bantuan situs pencarian jurnal online yaitu Google Scholar dan Scopus menggunakan kata kunci “formulasi sediaan obat untuk stunting” “drug formulation for stunting” dan “natural resources drug for stunting”. Dari hasil tersebut didapatkan 12 artikel yang sesuai dengan tujuan penelitian yang terdiri dari beberapa bentuk sediaan obat menggunakan natural resources sebagai zat aktifnya. Berdasarkan penelusuran, bentuk sediaan serbuk tidak terbagi paling banyak digunakan dengan daun kelor dan rimpang temulawak sebagai bahan alam yang banyak dibuat menjadi sediaan untuk pencegahan stunting. Kedepannya diharapkan lebih banyak eksplorasi terkait natural resources yang dapat dimanfaatkan untuk stunting karena sampai saat ini penelitian tersebut masih sangat terbatas.

Kata kunci: Stunting, Natural Resources, Sediaan Obat

Teks Lengkap:

PDF

Pendahuluan

Pemenuhan gizi adalah faktor penting dalam proses perkembagan kecerdasaan manusia. Tidak tercukupinya gizi merupakan salah satu masalah yang banyak beredar di Indonesia yaitu stunting1. Stunting atau balita pendek adalah sebuah kondisi gagal tumbuh pada anak balita dimana terjadi gangguan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan usianya. Stunting menunjukkan kejadian jangka panjang dan merupakan dampak dari konsumsi gizi yang tidak mencukupi, kondisi kesehatan yang buruk, dan perawatan yang tidak memadai. Sedangkan definisi dari Kementerian Kesehatan adalah status gizi yang didasarkan pada nilai PB/U atau TB/U dimana pada standar antropometri status gizi anak, menunjukan ambang atas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted. Kekurangan gizi ini terjadi pada saat bayi masih berada pada kandungan dan dapat juga terjadi pada saat setelah bayi lahir tetapi akan terlihat pada saat bayi berusia 2 tahun2,3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yadika (2019) melaporkan bahwa stunting berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, dimana anak yang mengidap stunting akan mengalami gangguan dalam proses pematangan otak. Stunting juga dapat mempengaruhi IQ anak. Berdasarkan penelitian Yadika et al. (2019) menyatakan bahwa mengidap stunting memiliki IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengidap stunting4. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2022 secara global terdapat sekitar 149,2 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting. Jumlah anak dengan kasus stunting menurun di semua wilayah kecuali Afrika. Sedangkan di Indonesia angka stunting terbanyak di Nusa Tenggara Timur sebesar 35,3 % yang diikuti oleh Sulawesi Barat sebesar 35,0%, dan Papua sebesar 34,6%. Meskipun prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4% (2021) menjadi 21,6% (2022), hal tersebut masih menjadi masalah karena nilai prevalensinya masih lebih dari 20%. Stunting disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya yang tidak hanya karena asupan gizi yang kurang baik pada anak namun terdapat beberapa faktor lain yang menjadi penyebab dari stunting diantaranya buruknya nutrisi pada saat prekonsepsi,kehamilan, dan saat menyusui. Selain itu juga dipengaruhi oleh tinggi badan ibu yang pendek 5,6. Berdasarkan penelitian Rufaida et al. (2020) dikatakan bahwa ibu dengan tinggi badan  <147 cm sangat berpengaruh terhadap stunting, MPASI yang tidak adekuat, serta tidak diberikannya ASI eksklusif50. Berdasarkan penelitian Teshome, B et al. (2009) menyatakan bahwa anak dengan tidak adanya pemberian kolostrum memiliki resiko stunting yang tinggi. Hal tersebut karena kolostrum bermanfaat untuk perlindungan bagi bayi baru lahir serta berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi lahir7. Pemenuhan kebutuhan gizi pada balita dapat dilakukan dengan mengkonsumsi suplemen. Menurut Ekayanthi (2019) suplemen multivitamin yang mengandung vitamin A, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B12, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin E dan Zink yang diperlukan untuk pertumbuhan seorang anak dalam masa pertumbuhan. Pembuatan suplemen dapat dibuat dengan menggunakan sumber utama dari bahan sintetis maupun herbal 8. Pada pembuatan suplemen herbal membutuhkan natural resources sebagai bahan utama karena natural resources mengandung banyak mineral dan vitamin yang dapat memenuhi asupan gizi sehingga stunting dapat dicegah. Berdasarkan artikel penelitian yang sudah ada, diketahui bahwa terdapat beberapa natural resources yang memiliki

potensi sebagai suplemen nutrisi diantaranya adalah daun kelor,, minyak sawit merah, daun katuk, dan lain lain. Selain itu, terdapat beberapa artikel penelitian yang membahas mengenai bentuk – bentuk sediaan obat berbahan utama dari natural resources sebagai antistunting. Namun sampai saat ini, belum ada yang membahas mengenai review dari sediaan – sediaan tersebut. Review artikel ini bertujuan untuk memperoleh bentuk – bentuk sediaan dari natural resources sebagai suplemen antistunting untuk mengoptimalkan upaya peningkatan nutrisi menjadi lebih efektif dan efisien


Metode


Studi literatur dilakukan dengan menggunakan bantuan situs pencarian jurnal online yaitu Google Scholar dan Scopus dengan menggunakan kata kunci “formulasi sediaan obat untuk stunting” “drug formulation for stunting” dan “natural resources drug for stunting”. Pada awal pencarian didapatkan 196 artikel. Artikel yang dipilih untuk penelitian ini adalah artikel yang dipublikasi pada rentang tahun 2013 – 2023. Kriteria inklusi yang dijadikan bahan penelitian ini yaitu mengandung kata kunci pencarian dengan mencantumkan formulasi sediaan obat, tanaman sebagai bahan aktif formulasi, memiliki aktivitas antistunting, dan sediaan oral. Sedangkan kriteria ekslusi yaitu untuk artikel yang membahas suplemen sintetik, formulasi sediaan non obat, sediaan topikal, tidak mencantumkan formulasi, dll. Didapatkan 12 jurnal yang menjadi rujukan dalam penulisan artikel ini. Studi literatur secara lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Metode Pencarian Reviewrimpang temulawak

Hasil dan Pembahasan

Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik sangat berpengaruh pada terpenuhinya kebutuhan gizi untuk menjaga fungsi normal tubuh. Apabila makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak baik (kualitas maupun kuantitas), maka tubuh akan kekurangan zat – zat gizi esensial tertentu. Secara umum, makanan memiliki tiga fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai energi, (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur). Sebagai sumber energi, peranan karbohidrat, lemak, dan protein adalah menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh dalam aktivitas sehari – hari. Dalam hal ini, peranan lemak bagi tubuh juga dapat melarutkan vitamin sehingga akan lebih mudah diserap oleh usus. Sedangkan sebagai zat pembangun, makanan diperlukan bagi tubuh untuk membentuk sel baru, memelihara sel, dan menggantikan sel yang rusak.  Contohnya adalah protein, mineral, dan air. Dalam hal ini, protein memiliki peranan untuk membantu dan membangunkan sel tubuh sehingga peranannya penting pada tahapan pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai zat pengatur, peranannya bagi tubuh adalah untuk mengatur proses metabolisme dalam tubuh. Contohnya adalah mineral, vitamin, dan protein55.  Asupan mineral seperti zat besi berperan pada sistem kekebalan tubuh dan apabila tubuh kekurangan mineral zat besi maka fungsi kognitif dan pertumbuhan akan terganggu. Sedangkan kekurangan mineral zink pada tubuh akan menyebabkan terhambatnya metabolit hormon pertumbuhan sehingga proses sintesis dan sekresi IGF -1 (Insulin Like Growth Factor 1) akan berkurang dan stunting dapat terjadi56. Status gizi yang baik akan memungkinkan pertumbuhan fisik, otak, dan perkembangan psikomotorik bekerja secara optimal. Indonesia memiliki kekayaan alam yang tinggi sehingga terdapat keberagaman tanaman yang mengandung berbagai zat gizi mulai dari zat gizi mikro hingga makro sehingga dapat bermanfaat dalam pencegahan stunting57. Pada artikel ini dibahas beberapa natural resources yang memiliki vitamin dan mineral yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nutrisi pada anak – anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Natural Resources sebagai Antistunting

Daun Kelor

Daun kelor (moringa oleifera) tumbuh dengan cepat baik pada iklim kering maupun panas serat tahan pada kekeringan. Bagian daun dari tanaman ini merupakan bagian yang paling banyak memiliki  mengandung zat gizi. Daun kelor merupakan salah satu tanaman yang memiliki sumber gizi berkhasiat obat yang kandungannya berpotensi dalam penanganan kekurangan gizi, kelaparan, dan penyakit lainnya. Daun kelor memiliki kandungan karbohidrat, protein, zat besi, kalsium, vitamin C, vitamin A dan kalium yang tinggi9. Menurut Rockwood et al. (2013) menyatakan bahwa daun kelor memiliki kandungan vitamin C  7 kali lebih banyak daripada jeruk, kandungan vitamin A 10 kali lebih banyak  daripada wortel, kandungan kalsium 17 kali lebih banyak daripada susu, kandungan protein 9 kali lebih banyak daripada yoghurt, kandungan kalium 15 kali lebih banyak daripada pisang, dan kandungan zat besi 25 kali lebih banyak daripada bayam54. Sehingga kandungan daun kelor dijadikan sebagai

alternatif dalam penunjang nutrisi pada anak terutama pada masa tumbuh kembang. Kandungan berbagai mineral dan vitamin pada daun kelor dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Selain itu, daun kelor mengandung berbagai asam amino sehingga bubuk daun kelor dapat menjadi alternatif yang baik sebagai sumber protein terutama untuk asam amino esenssial10,11 Selain itu juga menurut penelitian Rahayu (2018) menyatakan bahwa pemberian daun kelor pada anak dapat meningkatkan nafsu makan balita terbukti dengan pemberian daun kelor selama 7 hari menunjukan adanya peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) dari 13,29 menjadi 14,19. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Muliawati, (2019) menyatakan bahwa dengan konsumsi ekstrak daun kelor di mana terdapat perbedaan rerata tinggi badan pada balita dengan nilai T 3,526 dengan signifikan 0,042; p value < 0,05. Saat ini, penggunaan daun kelor sebagai suplemen kesehatan sudah dibuat dalam berbagai macam sediaan diantaranya serbuk, tablet, dan sirup 1,12

Rimpang Temulawak 

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman yang berakar rimpang dan sering digunakan sebagai bahan dalam pembuatan jamu dan memiliki aktivitas farmakologi seperti antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, neuroprotektif, nefroprotektif, antitumor, dan aktivitas hepatoprotektif13. Penelitian menunjukan bahwa ekstrak temulawak memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 87,01 ppm dengan metode DPPH yang artinya dikategorikan ke dalam aktivitas yang relatif dan sumber antioksidan yang menguntungkan. Semakin rendah nilai IC50 suatu zat maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Sedangkan menurut Widyastuti (2021) aktivitas antioksidan temulawak bergantung dari lokasi panennya, dari berbagai tempat dilakukan pengujian antioksidanya dan hasilnya beragam bergantung pada area panennya14,15. Selain itu, temulawak dapat meningkatkan nafsu makan melalui fungsinya sebagai karminativum (antiflatulen). Rimpang pada temulawak mengandung senyawa kurkuminoid, protein, pati, dan minyak atsiri yang dapat membantu empedu dan pankreas dalam proses penyerapan makanan dalam usus sehingga meningkatkan proses pencernaan terutama dapat meningkatkan nafsu makan.16,17. Saat ini penggunaan rimpang temulawak sebagai suplemen kesehatan sudah dibuat dalam sediaan serbuk instan dan tablet hisap.

Minyak Sawit

Minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq)  juga menjadi salah satu alternatif pemenuhan vitamin A dalam tubuh. Minyak sawit merah dapat digunakan untuk menanggulangi kekurangan vitamin A pada anak-anak; meningkatkan status vitamin A ibu menyusui dan bayinya; pengurangan aterosklerosis; dan pencegahan kanker. Minyak sawit mengandung kadar karotenoid yang tinggi terutama kandungan beta karotenoid yang merupakan sumber provitamin A. Kandungan karotenoid pada minyak sawit merah terkandung setidaknya 12 komponen dengan komponen yang paling banyak adalah α- karoten (38,9%)dan β-karoten (48,2%) 18.19 Kelapa sawit merupakan sumber karoten alami terbesar , terdapat 500-700 ppm karoten dalam minyak kelapa sawit mentah dan 4.000-6.000 ppm dalam minyak yang diperoleh dari serat perasan

kelapa sawit.  Beta karoten yang terkandung pada minyak sawit memiliki ketersediaan hayati yang lebih baik dibandingkan dengan suplemen vitamin A20. Hal ini didukung dengan penelitian Soomerburg et al. (2015), terdapat peningkatan konsentrasi plasma karotenoid dengan adanya kadar beta karoten yang meningkat dengan penggunaan suplemen minyak sawit merah dengan dosis beta karoten sedikitnya 1,5 mg toral per hari . Karotenoid juga dapat bermanfaat untuk pertumbuhan janin, produksi air susu ibu (ASI) dan kebutuhan nutrisi bayi 21.

Tanaman Katuk

Tanaman katuk (Sauropus androgynus) juga sebagai alternatif pemenuhan gizi karena memiliki banyak nutrisi dan vitamin. Pada daun katuk terkandung karbohidrat, protein, glikosida, saponin, tannin, flavonoid, steroid, dan alkaloid. Daun katuk memiliki aktivitas sebagai antioksida, antiobesitas, dan antidiabetes. Daun katuk juga memiliki aktivitas dalam meningkatkan produksi ASI karena mengandung senyawa alkaloid dan sterol yang dapat meningkatkan metabolisme glukosa sehingga terjadi peningkatan produksi ASI22.  Berdasarkan penelitian Nurjanah (2017) bahwa dikonsumsinya daun katuk dengan dosis 2-3 kali sehari dapat memberikan pengaruh terhadap kadar hormon prolaktin pada darah 23. Daun katuk memiliki aktivitas antioksidan karena didalamnya terkandung senyawa flavonoid flavonol yaitu kaempferol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hartanto (2018), bahwa dilakukan pengujian antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 797,083 ppm. Pada penelitian Budiana et al., (2022), melakukan pengujian antioksidan daun katuk dengan metode DPPH dan didapatkan nilai IC50 27,07 ppm (daun katuk Sukabumi) dan 38,04 ppm (daun katuk Bandung) nilai yang dihasilkan beragam karena adanya perbedaan lokasi panen sehingga nilai IC50 yang dihasilkan berbeda24,25

Bentuk Sediaan dari Natural Resources

Keberlimpahan kandungan nutrisi pada natural resources menyebabkan dilakukannya pengembangan penelitian menjadi suplemen nutrisi. Suplemen nutrisi merupakan sediaan yang diproduksi untuk memenuhi atau melengkapi kebutuhan gizi tubuh yang di dalamnya terkandung satu atau lebih vitamin, mineral, asam amino, dan lain lain. Pembuatan suplemen nutrisi yang dibahas pada artikel ini adalah berupa natural resources yang dibuat menjadi beberapa bentuk sediaan yang disajikan pada tabel – tabel di bawah ini. Suplemen nutrisi dalam bentuk serbuk dapat dilihat pada Tabel 1; suplemen nutrisi dalam bentuk tablet dapat dilihat pada Tabel 2; suplemen nutrisi dalam bentuk emulsi dapat dilihat pada Tabel 3; sedangkan suplemen nutrisi dalam bentuk lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.

 Tabel 1. Sediaan Serbuk

Berdasarkan dari Tabel 1, dibuat sediaan serbuk pulvis dan effervescent dengan menggunakan metode yang berbeda. Pembuatan dengan metode tradisional maksudnya adalah proses pembuatannya dilakukan dengan metode yang sederhana

Berdasarkan dari Tabel 1, dibuat sediaan serbuk pulvis dan effervescent dengan menggunakan metode yang berbeda. Pembuatan dengan metode tradisional maksudnya adalah proses pembuatannya dilakukan dengan metode yang sederhana dan peralatan yang seadanya tanpa digunakan alat – alat khusus yang menunjang formulasi. Metode pembuatan yang dilakukan oleh Letrora et al. (2020) , Oktima et al.(2023), dan Muhammad et al. (2018) serbuk dibuat dengan cara menghaluskan tanaman yang sudah dikeringkan dengan menggunakan blender yang kemudian dari serbuk ini dibuat menjadi bubur. Dalam penggunaannya sediaan ini ditujukan untuk anak balita, ibu menyusui, dan ibu hamil.  Kekurangan metode tradisional adalah serbuk yang dibuat belum tentu benar – benar halus dan bahan baku mudah tercemar oleh mikroorganisme. Dari segi farmakologi juga tidak dilakukan uji klinis sehingga belum diketahui bagaimana efektivitas pada sediaan tersebut. Sedangkan pembuatan serbuk yang dilakukan oleh Rusita et al. (2019) dibuat serbuk effervescent dengan metode kering atau peleburan dimana sampel diekstraksi terlebih dahulu dengan metode maserasi kemudian sampel ditambahkan eksipien – eksipien tanpa ditambahkannya air. Bentuk sediaan serbuk effervescent dianggap sebagai bentuk sediaan yang lebih baik dibandingkan dengan sediaan lainnya yang terdapat pada Tabel 1. Berdasarkan dari pertimbangan pada bagaimana serbuk ini melarut pada air, pada serbuk effervesent proses pelarutan sediaan akan lebih cepat dan lebih sempurna dibandingkan dengan serbuk biasa sehingga serbuk effervescent lebih efektif diserap oleh tubuh dan dapat bekerja lebih cepat pada tubuh. Sediaan ini penggunaannya ditujukan bagi anak- anak dalam masa pertumbuhan. Pada pembuatan serbuk effervercent digunakan asam sitrat dan asam tartrat yang dapat menimbulkan kesukaran dalam pembuaatan buih. Kandungan natrium bikarbonat dalam serbuk effervescent digunakan untuk menetralisir asam sitrat dan asam tartrat sehingga menghasilkan buih dan mengeluarkan  karbondioksida sehingga sediaan dapat larut sempurna di dalam air. Gas karbondioksida yang dihasilkan tersebut dapat menutupi rasa kurang enak pada mulut. Selain itu, komponen – komponen tersebut dapat meningkatkan kelarutan sediaan tiga kali lipat dibandingkan dengan pengadukan manual. Pembuatan sediaan effervescent juga lebih mudah dikonsumsi dan cara penyajian yang praktis, dapat larut sempurna pada air, dan memberikan sensasi sparkle seperti soda29,30. Namun  dari bahan alam ini dapat dibuat juga sediaan tablet, dimana kelebihan dari sediaan tablet adalah sediaannya lebih kompak, adanya ketetapan dosis dan lebih stabil pada saat penyimpanan. Suplemen nutrisi berbentuk tablet dengan menggunakan bahan alam dijelaskan pada Tabel 2.

 Tabel 2. Sediaan Tablet

Berdasarkan dari tabel 2, dilakukan pembuatan dua jenis tablet yaitu tablet effervescent yang dilakukan oleh Zubaydah et al. (2019) dan tablet hisap yang dilakukan oleh Dzakwan et al. (2014). Metode pembuatan tablet yang dilakukan oleh keduanya adalah dengan metode granulasi basah. Granulasi basah adalah teknik yang banyak digunakan dan granul diproduksi dengan massa basah eksipien dan API dengan cairan granulasi dengan atau tanpa pengikat. Proses granulasi basah ini dilakukan untuk zat aktif yang tahan terhadap lembab dan panas. Tujuan dari granulasi basah adalah granulasi digunakan untuk meningkatkan sifat formulasi seperti kemampuan mengalir, kompresibilitas, dan sebagainya untuk pembuatan sediaan. Kekurangan dari metode ini adalah memerlukan waktu yang lebih lama karena tahapan dalam pembuatan yang cukup panjang serta digunakan untuk zat aktif yang tahan terhadap panas dan lembab. Pada zat aktif sensitif terhadap dua aspek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode granulasi kering dimana tujuan dari metode ini adalah untuk meningkatkan sifat alir dan kemampuan kempa massa cetak tablet. Pembuatan tablet dengan metode granulasi kering dilakukan dengan dibuat terlebih dahulu massa padat yang tipis atau slugging kemudian diayak atau digiling hingga diperoleh granul  dengan ukuran tertentu dan dicetak menjadi tablet. Namun kelemahan dari metode granulasi kering adalah dibutuhkannya peralatan yang khusus untuk slugging. Meskipun metode pembuatannya sama, zat – zat penyusunnya berbeda. Ditinjau dari sifat kandungan zat aktif pada daun kelor yang tahan terhadap panas dan stabil dengan adanya air, menyebabkan proses pembuatan tablet pada penelitian Zubaydah et al. (2019) dan Dzakwa et al. (2014) dibuat dengan metode granulasi basah51. Penggunaan metode granulasi basah akan memperbaiki sifat alir granul dan kompaktibilitas bahan juga akan meningkat sehingga tablet akan lebih mudah dibuat. ketahanannya, tablet hisap selama 28 hari penyimpanan menunjukan tidak adanya perubahan bentuk, warna, aroma dan rasa.  Sedangkan menurut Zubaydah et al., (2018) menyatakan bahwa bentuk sediaan tablet effervescent daun kelor dapat meningkatkan tingkat kesukaan bag konsumen33.34 Bentuk sediaan lainnya yang sudah dibuat dan diteliti sebagai suplemen nutrisi dari natural resources adalah dibuat menjadi sediaan emulsi. Pembuatan sediaan dalam bentuk emulsi dapat menutup rasa serta bau yang kurang enak dari sediaan dan dapat meningkat absorpsinya. Suplemen nutrisi berbentuk emulsi dengan menggunakan bahan alam dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sediaan Emulsi

Berdasarkan Tabel 3, terdapat sediaan emulsi yang dibuat dengan metode yang berbeda. Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair, terdispersi pada cairan pembawa dan dapat stabil dengan penambahan zat pengemulsi atau surfaktan. Tujuan dibuatnya sediaan emulsi adalah untuk memperbaiki kelarutan dan mudah untuk dikonsumsi oleh bayi maupun anak – anak. Pada penelitian yang dilakukan Rahmadi et al.(2014) serta penelitian Agustina et al. (2021) dibuat sediaan emulsi dengan metode gom basah yaitu pada urutan pencampuran terlebih dahulu menambahkan emulsifying agent ke dalam air untuk membentuk mucilago dan perlahan lahan minyak akan bergabung membentuk emulsi. Apabila emulsifying agent yang digunakan adalah gom kering, maka metode yang dilakukan adalah dengan metode gom kering yaitu pada urutan pencampuran emulsifying agent ke minyak dilakukan sebelum ditambahkan air. Serta apabila emulsi dibuat dari minyak dengan sifat mudah menguap dan kurang kental dapat dilakukan dengan metode botol. Tipe emulsi pada penelitian dilakukan Rahmadi et al. (2014) serta penelitian Agustina et al. (2021) adalah tipe oil-in-water. Tipe tersebut adalah dimana fase minyak sebagai terdispersi dan air sebagai pendispersi. Beberapa tipe emulsi lainnya adalah water in oil (w/o); oil in water in oil (o/w/o) ; dan water in oil in water. Pada penentuan tipe emulsi bergantung pada perbandingan volume fasa dimana fasa yang volumenya lebih kecil biasanya sebagai  fasa terdispersi51.

Pembuatan emulsi Rahmadi et al. (2014) dilakukan dengan penambahan stabilizer yaitu CMC dan emulsifier yaitu gum. Penggunaan kedua bahan tersebut dianggap penting pada pembuatan sediaan emulsi karena dengan penambahan stabilizer dapat meningkatkan viskositas fase kontinyu emulsi sehingga dapat meningkatkan stabilitas emulsi dengan pencegahan droplet emulsi. Sedangkan dengan penggunaan emulsifier adalah agar tidak terjadinya penggabungan irreversible droplet – droplet emulsi menjadi bentuk yang lebih besar, jika tidak ditambahkan emulsifier maka emulsi akan cepat pecah dan terpisah menjadi fase terdispersi dan medium pendispersi yang ringan akan mengapung di atas medium pendispersi yang berat 37,38. Pada penelitian Agustina et al. (2021) dilakukan pembuatan emulsi yang juga ditambahkan emulgator yaitu  Tween 80 dan stabilizer yaitu CMC. Namun pada penelitian tersebut sediaan emulsi dilakukan pengujian untuk memastikan keefektifan sediaan dengan menguji antioksidan menggunakan metode DPPH IC50. IC50 menggambarkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat radikal bebas mewakili DPPH pada konsentrasi 50%. Oleh karena itu, semakin rendah nilai IC50, maka semakin baik

aktivitas antioksidannya. Selain itu uji antioksidan dapat dilakukan dengan Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) yang menggambarkan kandungan antioksidan yang dibandingkan dengan asam askorbat atau vitamin C sebagai standar. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai aktivitas antioksidan pada penelitian Agustina et al. (2021), didapat nilai IC50 205.95 mg/ml yang artinya merah kelapa sawit memiliki potensi aktivitas antioksidan dan nilai AEAC 27.02 mg Vit. C/100 g sample yang artinya bahwa semakin tinggi nilai AEAC, maka semakin baik kandungan antioksidannya. Namun pada penelitian Purwandari et al. (2022), dibuat sediaan emulsi yang dimodifikasi dengan metode enkapsulasi. Metode enkapsulasi adalah suatu metode penyalutan bahan inti dari senyawa bioaktif dengan bahan penyalut sehingga dapat terlindungi dari kerusakan dan meningkatkan stabilitas senyawa – senyawa bioaktif. Tujuannya adalah  untuk menjaga aktivitas antioksidan dimana antioksidan bersifat sangat mudah mengalami reaksi oksidasi yang dapat menurunkan manfaat dari antioksidan sehingga butuh dilindungi dengan metode nanoenkapsulasi. Selain itu, penggunaan metode enkapsulasi memberikan dampak positif terhadap senyawa bioaktif, meningkatkan aktivitas antioksidan serta meningkatkan stabilitas bioaktif. Pada pembuatannya digunakan kitosan yang merupakan enkapsulat yang bersifat spesifik yang dapat bertindak sebagai pengemulsi dan penstabil emulsi melalui adsorpsi lapisan pelindung pada antarmuka minyak-air, peningkatan viskositas, dan interaksi dengan agen aktif permukaan (misalnya, surfaktan, protein, dan polisakarida). Kitosan yang diikat silang secara ionik menunjukkan derajat swelling yang rendah serta digunakan NaTPP yang bertujuan sebagai agen pengikat silang,  Peningkatan antioksidan ini terbukti dengan menggunakan komposisi kitosan: NaTPP 2:1 menunjukan adanya peningkatan yang aktivitas antioksidan yang signifikan yaitu 81,2 %. Hal tersebut karena pada kitosan-NaTPP sendiri sudah memiliki aktivitas antioksidan 39,40 .

Pada anak dengan keadaan stunting dapat terjadi peningkatan stress oksidatif dan sistem pertahanan antioksidan yang menurun. Antioksidan bekerja dengan cara menetralkan radikal bebas dengan melepaskan sebagian elektronnya sendiri sehingga dapat mengurangi kerusakan sel akibat oksidasi. Pemberian zat antioksidan juga digunakan untuk mencegah terjadinya stress oksidatif yang berperan dalam terjadinya beberapa penyakit degeneratif dan dapat menjaga sistem imun dalam tubuh. Namun metode enkapsulasi ini memerlukan biaya yang cukup mahal, sehingga alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan metode gom kering, metode gom basah, dan metode botol. Sediaan lain yang dapat sudah dibuat dan diteliti sebagai suplemen nutrisi adalah sediaan gummy candies, sirup, dan suspensi. Ketiganya dibuat dengan metode yang berbeda – beda. Suplemen nutrisi berbentuk sediaan gummy candies, sirup, dan suspensi dengan menggunakan bahan alam dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sediaan Gummy Candies, Suspensi, dan Nanosuspensi


  Berdasarkan pada Tabel 4, dibuat sediaan gummy candies yang dilakukan oleh Eryani et al. (2023). Pembuatan gummy candies ini dilakukan dengan metode tradisional yaitu digunakan alat yang seadanya dan metode yang sederhana. Pembuatannya dilakukan dengan merebus daun kelor kemudian diambil sarinya dan dicampurkan dengan gula dan gelatin. Lalu ditambahkan pewarna dan pengaroma dan dituangkan pada wadah cetakan.  Pada pembuatan sediaan ini hanya dilakukan evaluasi berupa uji hedonik dan disukai oleh anak -anak karena bentuknya yang menarik dan rasa yang beraneka ragam yang dapat menutupi rasa pahit sediaan. Kestabilan dari gummy candies  tidak dijelaskan pada artikel, Namun pada penelitian Ginting (2023) dijelaskan bahwa dalam

pengujian stabilitas gummy candies dapat dilakukan dengan menguji kandungan senyawa metabolitnya 44. Kekurangan dari formulasi yang dilakukan oleh Eryani et al. (2023) adalah tidak dilakukannya pengujian efektivitas sediaan sehingga tidak diketahui bagaimana efektivitas dari gummy candies tersebut. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya melakukan uji efektivitas sebagai bukti bahwa sediaan tersebut efektif sebagai suplemen nutrisi pencegahan stunting. Pengujian yang dapat dilakukan adalah dengan evaluasi lengkap sediaan yang dilanjutkan dengan uji aktivitas bahan aktif misalnya uji antioksidan.

Terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Yuniritha et al. (2015) yaitu pembuatan sediaan suspensi dengan menggunakan metode dispersi yaitu penambahan bahan aktif dilakukan pada mucilago yang sudah terbentuk, kemudian baru diencerkan. Pada proses ini terkadang terjadi kesulitan dalam mendispersikan serbuk ke dalam pembawa karena pengaruh lemak dan kontaminan pada serbuk/ekstrak. Untuk menurunkan tegangan permukaan maka dapat ditambahkan wetting agent atau zat pembasah. Metode lain yang dapat digunakan adalah metode presipitasi yaitu melarutkan terlebih dahulu zat aktif pada pelarut organik yang akan dicampur dengan air46. Pemilihan metode yang digunakan adalah berdasarkan pada keadaan partikel yaitu partikel benar – benar terdispersi baik dalam air. Pada penelitian Yuniritha (2015) suspensi dibuat dengan menambahkan beberapa eksipien seperti Na-CMC sebagai pengental sirup, nifagin sebagai antimikroba, pewarna, perasa, dan aquades. Pada formulasi ini juga dilakukan uji toksisitas pada mencit selama 14 hari, tidak menimbulkan kematian  sehingga sediaan tersebut tidak toksik. Berdasarkan aspek bentuk sediaannya, sirup lebih cepat diabsorbsi tubuh dan yang cocok untuk bayi, anak – anak, dan lansia karena mudah untuk ditelan dan biasanya ditambahkan dengan perasa yang dapat menyamarkan rasa pahit.

Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2022) dilakukan pembuatan sediaan nanosuspensi dengan metode Bottom-Up. Nanosuspensi adalah sistem dispersi koloid sub-mikron yang distabilkan dengan surfaktan. Metode ini dilakukan untuk pada sediaan yang memiliki kelarutan yang rendah sehingga dapat meningkatkan kelarutan bioaktifnya. Komponen aktif yang berasal dari ekstrak herbal sebagian besar sulit untuk menembus membran lipid karena ukuran molekul yang besar dan kelarutan yang rendah sehingga bioavailabilitasnya rendah. Pada pembuatan nanosuspensi yang dilakukan Arifin (2022) digunakan metode bottom-up didasarkan pada kejenuhan larutan yang diikuti oleh pengendapan nanopartikel. Metode ini menggunakan metode presipitasi dimana bahan aktif dilarutkan terlebih dahulu pada pelarut organik dan kemudian ditambahkan larutan bukan pelarut yang dapat bercampur. Kesulitan pada metode ini adalah pada pengendapan, perlu dikontrolnya pengembangan kristal dengan ditambahkannya surfaktan agar tidak terbentuk mikropartikel. Metode nanosuspensi lain yang dapat digunakan adalah Top-Down yang merupakan rentang ukuran

nanosuspensi didapatkan dari pengurangan ukuran partikel besar 52.53 Formulasi nanosuspensi yang dilakukan oleh Arifin et al. (2022)  ini menggunakan kitosan 0,2% sebagai peningkat kelarutan dan bioavailabilitas kurkumin dan Na-TPP 0,4% sebagai penaut silang sehingga terbentuk nanosuspensi yang stabil. Formulasi ini menunjukan adanya peningkatan aktivitas antioksidan nanopartikel ekstrak kering temulawak dengan nilai rata-rata IC50 sebesar 30,22 bpj. Nanosuspensi juga dilakukan oleh Dzakwan (2020) mengenai formulasi, karakterisasi dan aktivitas antioksidan nanosuspensi morin, dengan  digunakannya stabilizer SLS – Plluronic F68 (0,5:1). Terjadi peningkatan aktivitas antioksidan nanosuspensi morin sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan serbuk murninya. Selain meningkatkan kelarutan dan stabilitas, penggunaan nanosuspensi pada obat oral dapat mempercepat onset kerja, mengurangi rasio fed/fasted, dan memperbaiki bioavailabilitas45.

Pada semua artikel tidak dituliskan mengenai efek samping, namun setiap bentuk sediaan memiliki kekurangannya masing – masing. Pada sediaan serbuk kekurangannya adalah tidak bisa menutupi bau dan rasa yang mengganggu dan pada penyimpanannya juga terkadang jadi lembab. Sedangkan tablet effervescent memiliki kekurangan yaitu tablet yang terbentuk kadang bersifat rapuh sehingga gampang rusak atau terlalu keras sehingga tablet sulit larut serta biaya produksi yang relatif mahal. Tablet hisap memiliki kekurangan yaitu sering dikenali sebagai permen oleh anak – anak sehingga perlu berhati-hati dalam penggunaannya terlebih pada anak – anak. Sediaan suspensi memiliki kekurangan adalah jika terjadi “cacking” maka homogenitas akan menurun karena sediaan sulit untuk terdispersi kembali. Serta sediaan emulsi secara termodinamik tidak stabil sehingga harus diformulasikan agar emulsi dapat stabil dari pemisahan dua fase. Eksplorasi terhadap bentuk sediaan lain yang terkini untuk mempercepat proses penyerapan zat aktif seperti nanoemulsion dan nanoliposome dibutuhkan dalam menangani stunting karena  metode tersebut dapat meningkatkan kelarutan, stabilitas, dan bioavailabilitas dari natural resources sebagai zat aktif dalam sediaan. Selain itu, diharapkan kedepannya setiap sediaan dilakukan evaluasi lengkap sesuai sediaan yang dibuat sehingga dapat menjamin stabilitas, keamanan dan keefektivitasan sediaan46,47,48,49.

Kesimpulan

Terdapat beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan aktif utama pada pembuatan suplemen nutrisi untuk pencegahan stunting karena pada tanaman tersebut mengandung banyak vitamin dan mineral yang tinggi. Berdasarkan 12 artikel yang ditemukan menyatakan bahwa semua suplemen nutrisi yang dibuat didesain sedemikian rupa untuk memudahkan dan menarik perhatian anak – anak dalam mengonsumsinya karena target utama pada pencegahan stunting adalah pada anak – anak. Bahan alam yang paling banyak dibuat menjadi sediaan suplemen nutrisi untuk

pencegahan stunting berasal dari daun kelor dan rimpang temulawak dengan bentuk sediaan yang paling banyak dibuat adalah serbuk.

Daftar Pustaka

1.Rahayu, T. B., Nurindahsari, Y. A. W. Peningkatan status gizi balita melalui pemberian daun kelor (Moringa oleifera). Jurnal Kesehatan Madani Medika. 2018; 9(2).

2.Kirana, R., Aprianti, A., Hariati, N. W. Pengaruh Media Promosi Kesehatan Terhadap Perilaku Ibu Dalam Pencegahan Stunting Di Masa Pandemi Covid-19 (Pada Anak Sekolah TK Kuncup Harapan Banjarbaru). Jurnal Inovasi Penelitian. 2022; 2(9): 2899-2906.

3.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Balita Pendek. ACM SIGAPL APL Quote Quad, 2016;  29(2): 63–76.

4.Yadika, A. D. N., Berawi, K. N., Nasution, S. H. Pengaruh stunting terhadap perkembangan kognitif dan prestasi belajar. Jurnal Majority. 2019; 8(2), 273-282.

5.World Health Organization. Global nutrition targets 2025: stunting policy brief. [diunduh 24 Mei 2023]. Tersedia dari https://www.who.int/publications/i/item/WHO-NMH-NHD-14.3.

6.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Jakarta: Kemenkes RI; 2022.

7.Teshome, B., Kogi-Makau W., Getahun Z., Taye, G.  Magnitude and determinants of stunting in children underfive years of age in food surplus region of Ethiopia: The case of West Gojam Zone. Ethiop. J. Health. 2009; 23(2): 98—106.

8.Ekayanthi, N. W. D., Suryani, P. Edukasi Gizi pada Ibu Hamil Mencegah Stunting pada Kelas Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan.2019; 10(3): 312.

9.Krisnandi, A.D. Kelor Super Nutrisi. Blora: Pusat Informasi Dan Pengembangan Tanaman Kelor Indonesia; 2015.

10.Rockwood J. L., Anderson B. G., Casamatta D. A. Potential Uses Of Moringa Oleifera And An Examination Of Antibiotic Efficacy Conferred By M. Oleifera Seed And Leaf Extracts Using Crude Extraction Techniques Available To Under-Served Indigenous Populations. International Journal of Phytothearpy Research. 2013;3(2):61–71.

11.Busani M., Patrick J. M., Arnold H., Voster M. Nutritional characterization of Moringa (Moringa oleifera Lam) leaves. African Journal of Biotechnology. 2011;10(60):12925–12933.

12.Muliawati, D., Sulistyawati, N.,  Utami, F. Manfaat ekstrak Moringa oleifera terhadap peningkatan tinggi badan balita. In Prosiding Seminar Nasional: Pertemuan Ilmiah Tahunan Politeknik Kesehatan Karya Husada Yogyakarta. 2019; 1 (1): 46-55.

13.Salleh, N. A.M., Ismail, S., Al Halim, M. R. Effects of Curcuma xanthorrhiza Extracts and Their Constituents on Phase II Drug-metabolizing Enzymes Activity. Pharmacognosy Research. 2016; 8 (4): 309-315.

14.  Rosidi, A., Setiawan, B., Riyadi. H., Briawan, D. Antioxidant Potential of   Temulawak (Curcuma xanthorriza roxb). Journal of Nutritions. 2016; 15 (6): 556-  560.

15.  Widyastuti,I., Luhfah, H.Z., Hartono, Y. I., Islamadina, R., Can, A.T., Rohman, A.   Aktivitas Antioksi dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Profil   Pengelompokannya dengan Kemometrik. J. Chemom. Pharm. Anal. 2021; 1(1):   28-41.

16.  Marni, M., Ambarwati, R. Khasiat jamu cekok terhadap peningkatan berat badan   pada anak. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015;11(1): 102-111.

17.  Oktima, W., Reubun, Y.T.A. Uji Hedonik Sediaan Kombinasi Daun Kelor dan   Temulawak Sebagai Formula Makanan Balita pada Model Penyakit Stunting.   Jurnal Gizi dan Kesehatan. 2023; 15 (1).

18.  Budiyanto, D. S.,  Napitupulu, A. Alternative Fortification Vitamin A For Lactating   Mother Using Siomay Sauce Enriched With Red Palm Oil. Agritropica: Journal of   Agricultural Science. 2019; 2(1): 13-25.

19.  Cassiday, L. Red Palm Oil. Inform. 2017; 28 (2): 6-10.

20.  Ooi C.K., Choo Y.M., Yap S.C., Basiron Y., Ong A.S.H.; Recovery of carotenoids   from palm oil; Journal of American Oil Chemists Society. 1994; 71(4): 423–426.

21.  Sommerburg, O., S.D. Spirt, A. Mattern, C. Joachim, C.D. Langhans, K.   Nesaretnam, W. Siems, W. Stahl, and M.A. Mall. Supplementation with Red   Palm Oil Increases β-Carotene and Vitamin A Blood Levels in Patients with   Cystic Fibrosis. Mediators of Inflammation. 2015; 6.

22.  Rahmanisa, S.,  Aulianova, T. Efektivitas ekstraksi alkaloid dan sterol daun katuk   (Sauropus androgynus) terhadap produksi ASI. Jurnal Majority. 2016; 5(1): 117-  121.

23.  Nurjanah, S., Kamariyah, N.,  Soleha, U. Pengaruh konsumsi ekstrak daun   Sauropus androgynus (L) Meer (Katu) dengan peningkatan hormon prolaktin ibu   menyusui dan perkembangan bayi di Kelurahan Wonokromo Surabaya. The   Journal Of Health Sciences: Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2017;  10(1): 24-35.

24.  Hartono. H., Sutriningsih, S. Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode Dpph   Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Serta Uji Stabilitas   Pengaruh Konsentrasi Emulgator Asam Stearat Dan Trietanolamin Terhadap   Formulasi Krim. Indonesia Natural Research Pharmaceutical Journal. 2018;    3(1): 119-130.

25.  Budiana, W., Nuryana, E. F., Suhardiman, A.,  Kusriani, H. Antioxidant Activity Of   Katuk (Breynia Androgyna L.) Leaves Extract With DPPH Method And   Determination Of Phenolate And Flavonoid Levels. Jurnal Agrotek Ummat,  2022;    9(4): 275-286.

26.  Letlora, J. A., Sineke, J., Purba, R. B. Tingkat Kesukaan Bubuk Daun Kelor untuk   Formula Makanan Balita Stunting. Jurnal GIZIDO. 2020; 12(2): 105-112.

27.  Muhammad, G., Djamaluddin, A., Farhan, F. Pembuatan Dan Uji Organoleptik   Sediaan Serbuk Instan Daun Katuk (Sauropus Androgynus-(l) Merr) Dan   Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb). Journal of Holistic and Health   Sciences (Jurnal Ilmu Holistik dan Kesehatan). 2018;  2(2): 56-59.

28.  Rusita, Y. D., Rakhmayanti, R. D. Formulasi sediaan serbuk effervescent ekstrak   daun kelor (Moringa oleifera L.). In Prosiding Seminar Nasional Unimus. 2019; 2.

29.  Pulungan, M., Suprayogi.,  Yudha. Tanaman Obat Effervescent. Surabaya:   Trubus Agrisarana. 2004

30.  Harahap, R. A., Efendi, R.,  Ayu, D. F. Konsentrasi effervescent mix dalam   pembuatan serbuk effervescent ekstrak kulit buah manggis (Garcinia   mangostana L.). Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Pertanian. 2017; 4(1):   1-14.

31.  Zubaydah, W. O. S., Fia, W., Adawia, S., Novitasari, N., Rahmasari, R., dan   Hasanuddin, D. D. Formulasi Minuman Effervescent Mix Serbuk Daun Kelor   (Moringa oleifera). Pharmauho: Jurnal Farmasi, Sains, Dan Kesehatan. 2019; 4   (2): 2–4.

32.  Dzakwan, M.,  Aisiyah, S. Formulasi tablet hisap ekstrak daun kelor sebagai   sumber vitamin A. Biomedika, 2014; 7(1):  19-25.

33.  Putri, Y. D., Tristiyanti, D., Teresia, M. Formulasi dan Evaluasi Tablet Hisap   Triamsinolon Asetonida dengan Variasi Pengikat Maltodekstrin dan PVP. Jurnal   Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia. 2019; 7(2).

34.  KuntiMulangsri, D. A., Setianingsih, W.,  Mufrod, M. Formulasi Kombinasi   Pemanis Sukrosa Dan Aspartam Terhadap Sifat Fisik Tablet Hisap Ekstrak   Etanol Daun Pare (Momordica Charantina L.). Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi   Klinik. 2016; 13(2): 39-45.

35.  Rahmadi, A., Ilyas, S. A., Rohmah, M., Saragih, B. Desain Produk Suplemen   Labu dan Minyak Sawit Merah untuk Pencegahan Kekurangan Vitamin A.   Indonesian Scholars Journal. 2014.

36.  Agustina, S., Oktarina, E., Aidha, N. N.,  Hutomo, J. Antioxidant of beta-carotene   emulsion from red virgin palm oil (RVPO). In AIP Conference Proceedings.   2021;2349 (1): 020055.

37.  Purwandari, V., Isnaeni, I., Rahmi, R., Akbari, A. Z., Akbari, M. Z. Formulasi   Nanoekapsulasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera)/Kitosan-Natrium   Tripoliposfat (NaTPP). Journal of Science and Applicative Technology. 2022;   6(2): 77-84.

38.  Sidik, S. L., Fatimah, F.,  Sangi, M. S. Pengaruh Penambahan Emulsifier Dan   Stabilizer Terhadap Kualitas Santan Kelapa. Jurnal Mipa, 2012; 2(2): 79-83.

39.  Silsia, D., Electrika, F., Surawan, D.,  Meiriska, I. Karakteristik Emulsifier Mono-  Diasil Gliserol (MDAG) dari Crude Palm Oil (CPO) yang berasal dari Fat Pit pada   Berbagai Konsentrasi Katalis NaOH. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian   Indonesia. 2017; 9(2): 82-88.

40.  Mahmoud, K. F., Ali, H. S., Amin, A. A. Nanoencapsulation of bioactive   compounds extracted from Egyptian prickly pears peel fruit: Antioxidant and their   application in Guava juice. Asian J. Sci. Res. 2018; 11: 574-586.

41.  Eryani, M. C., Paramita, D. R. A., Aditama, A. P. R.,  Handojo, K. J. Penyuluhan   Pembuatan Gummy Candies Daun Kelor untuk Pencegahan Stunting di Desa   Slateng Kabupaten Jember. Jurnal Pengabdian UNDIKMA. 2023; 4(2).

42.  Yuniritha, E., Juffrie, M., Ismail, D., Pramono, S. Pengembangan Formula Sirup   Zink Dari Ekstrak Ikan Bilih (Mystacoleucus-Padangensis) Sebagai Alternatif   Suplementasi Zink Organik Pada Anak Pendek (Stunted) Usia 12-36 Bulan. Gizi   Indonesia. 2015; 38(1): 49-62.

43.  Arifin, M. F., Noviani, Y., Budiati, A., Hidayanti, I. Formulasi Nanosuspensi   Ekstrak Kering Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) dengan   Metode Gelasi Ionik Dan Uji Aktivitas Antioksidan. Jurnal Farmamedika   (Pharmamedika Journal). 2022; 7(2): 126-135.

44.  Ginting, M. Formulasi dan Evaluasi Sediaan Gummy Candies dari Sari   Ganggang Hydrilla (Hydrilla Verticillata L.) yang Tumbuh di Perairan Danau Toba.   Majalah Farmasetika,Vol  2023; 8(1).

45.  Dzakwan, M., Priyanto, W. Formulasi, karakterisasi dan aktivitas antioksidan   nanosuspensi morin. J Ilm Farm Farmasyifa, 2020; 3(2): 121-131.

46.  Syamsuni, H.A. Ilmu Resep. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2007.

47.  Ansar, A., Rahardjo, B., Noor, Z., Rochmadi, R. Optimasi Teknik Pembuatan   Tablet Effervescent Sari Buah dengan Response Surface Method [Optimization   of Processing Technique of the Fruit Juice Effervescent Tablet with Response   Surface Method]. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 2009;  20(1): 25-25.

48.  Deva, I. G. S., Juniarta, P. P.  Kualitas Sirup Berbahan Dasar Daun Pandan   Wangi. Jurnal Ilmiah Pariwisata dan Bisnis. 2023; 2(1): 40-5.

49.  Tungadi, R.  Teknologi Nano Sediaan Liquida dan Semisolida. Jakarta: Sagung   Seto; 2020

50.  Rufaida, F. D. Hubungan faktor keluarga dan rumah tangga dengan kejadian   stunting pada balita di tiga Desa Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Jember.   Journal of Agromedicine and Medical Sciences. 2020; 6 (1).

51.  Banker, S.G., Anderson R.N. Tablet In Theory and Practice of Industrial   Pharmacy. Jakarta: UI Pres; 1986.

52.  Purkayastha, H. D., Hossian, S. K. I. Nanosuspension: A Modern Technology   Used In Drug Delivery System. International Journal of Current Pharmaceutical   Research, 2019; 1–3.

53.  Malakar, J. Nanosuspension: A NanoHeterogeneous Carrier for Drug Delivery   System. International Journal of Pharmaceutical & Biological Archive. 2012; 3(1).

54.     J.L.Rockwood,B.G. Anderson, D.A.Casamatta, Potential uses of Moringa oleifera   and an examination of antibiotic efficacy conferred by M. oleifera seed and leaf   extracts using crude extraction techniques available to underserved indigenous   populations, Int. J. Phytothearpy Res. 2013; 3 (2): 61–71.

55.  Hidayati, M. N., Perdani, R. R. W., Karima, N. Peran zink terhadap pertumbuhan   anak. Jurnal Majority. 2018; 8(1): 168-171.

56.  Azmy, U., Mundiastuti, L. Konsumsi Zat Gizi pada Balita Stunting dan Non-  Stunting di Kabupaten Bangkalan Nutrients Consumption of Stunted and Non-  Stunted Children in Bangkalan. Amerta Nutr. 2018; 292-298.

cara mengutip artikel

https://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika/rt/captureCite/48810/0

About Majalah Farmasetika

Majalah Farmasetika (ISSN : 2686-2506) di situs ini adalah Majalah Farmasetika Edisi Jurnal Ilmiah yang merupakan jurnal farmasi di Indonesia SINTA 3 berbentuk artikel penelitian, artikel review, laporan kasus, komentar, dan komunikasi penelitian singkat di bidang farmasetika. Edisi jurnal ilmiah ini dibuat untuk kepentingan informasi, edukasi dan penelitian kefarmasian.

Check Also

Uji Sifat Fisik Sediaan Lulur Ekstrak Bayam Merah (Amaranthus tricolor L.) Serta Uji EfektivitasKelembaban(Moisture) Dan Kehalusan(Evenness) Pada Kulit

Majalah Farmasetika, 9 (1) 2024, 104-124 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v9i1.49230 Artikel Penelitian Benni Iskandar1,2*,Jacub Tarigan3, Leny3, Widia Hanum3 …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *